Space Iklan

Minggu, 03 Oktober 2010

Cerpen : Sutirah Ingin Sekolah


Diangkat dari sebuah kisah nyata.

; “di negri ini, kalau kau tidak punya uang, maka kau tidak boleh menjadi pandai!”

3 Maret 1994, hari itu Intan tengah merayakan ulang tahunnya yang ke-11 di rumahnya yang megah, semua teman sekolahnya hadir pada acara itu, demikian pula saudara-saudara dekatnya. pesta malam itu sungguhlah meriah, wajar, Intan adalah anak orang kaya, ayahnya punya banyak perusahaan yang tersebar di mana-mana.

“Setelah tiup lilin, sekarang potong kuenya, sayang. beri potongan pertamanya pada orang yang paling Intan sayangi.” kata Ibunya yang sejak acara itu dimulai sudah duduk di sampingnya.

“Baiklah, Bunda.” Intan menuruti perkataan ibunya dengan senyum manis khas miliknya. sebelum memotong, Intan melihat ke arah ibu, ayah dan kakeknya, kemudian ke teman-temannya. gadis itu berhenti sejenak sebelum benar-benar memotong kuenya. Seperti ada sesuatu yang sedang ia tunggu.

“Assalamualaikum.” tiba-tiba seorang gadis kecil masuk ke ruangan pesta itu, dialah Sutirah, sahabat dekat Intan di sekolah. Ia menggenggam sebuah kado yang ia bungkus mirip seperti sebuah permen di tangannya, dua buah buku tulis, itulah isinya.

ketika melihatnya, Intan tersenyum bahagia, seperti menemukan sesuatu yang tadi ia cari. dan iapun melanjutkan memotong kue ulang tahunnya.

“Baiklah, siapa ya yang akan mendapat potongan kue pertama dariku ini..” kata Intan menggoda, lagi-lagi ia menatap pelan-pelan ibu, ayah, kakek dan teman-temannya.

“Maafkan intan bila hal ini tidak berkenan di hati, tapi Intan ingin memberikan kue pertama ini pada sahabat baik Intan, Sutirah.”

Ibu, Ayah dan Kakek Intan cemburu, tapi mereka juga bahagia karena ternyata Intan punya seorang sahabat baik. “Berikan tepuk tangan yang meriah.” kata mereka serentak memberikan semangat.

Sutirah kaget, ia yang datang paling terlambat malah diberi kue pertama oleh Intan, sungguh ia bahagia. sambil menukarkan kadonya dengan kue Intan, mereka saling berpelukan dan saling berciuman pipi.

Sutirah adalah sahabat baik Intan, ialah orang yang harus bertanggung jawab atas kenapa di sekolahan Intan selalu mendapat ranking dua, Sutirah benar-benar adalah tembok yang sulit dilalui oleh Intan, juara bertahan tak tertandingi. Walau begitu Intan tak pernah menganggapnya sebagai saingan ataupun musuh, berteman dengan Sutirah, Intan begitu bahagia karena Sutirah adalah anak yang baik dan tidak pelit dalam berbagi ilmu. Meskipun ia hanya gadis yatim anak seorang penjual gorengan.

“Mungkin ini acara ulang tahunku yang terakhir di kota ini, karena setelah lulus nanti aku bersama ayah dan ibu akan pindah rumah ke Jakarta, kau jaga diri baik-baik ya, Rah. Jangan lupa, kau harus tetap menjadi juara! Raihlah penghargaan-penghargaan yang banyak.” Kata Intan kepada sutirah.

“Siyaaaap, komandan!” seperti biasa, sutirah selalu menanggapi apa kata Intan dengan riang dan bercanda.

***

“Anak-anak, sekarang ibu akan menjelaskan pasal-pasal yang menyangkut kesejahteraan bangsa dalam isi undang-undang dasar 45, sebelum ibu menjelaskannya, ibu akan mendikte kalian, jadi siapkan kertas dan pulpen sekarang juga, kalian harus mencatatnya.” demikianlah perintah guru dalam kelas yang saat itu tengah mengajar pelajaran Pancasila, di samping kelas, pada sebuah sisa ruang antara kelas dan tembok yang membatasi halaman sekolah dengan rumah penduduk, seorang gadis kecil mencuri ilmu diam-diam, ia selalu jongkok di tempat itu setiap hari untuk mendengarkan dengan teliti apa yang diajarkan guru di dalam kelas. Pelajaran Pancasila, itulah yang paling ia sukai, di mana ada kelas Pancasila, di samping ruang kelas itulah ia akan jongkok sambil memegang pensil dan sebuah buku tulis kumal–Mencatat apa saja yang ia dengar.

Gadis itu tak masuk kelas bukan lantaran ia terkena skors, tapi memang dia tak pernah mendaftar sebagai seorang murid di sekolahan itu, dialah Sutirah, ia hanya tinggal bersama ibunya yang hanya seorang penjual gorengan. Sutirah menamatkan sekolahnya hanya sampai pada bangku SD saja. Maklum, karena ibunya tak lagi kuat membiayainya.

Pasal 23 ayat 1, Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sutirah mencatatnya.

Pasal 27 ayat 2, Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sutirah mencatatnya.

Pasal 31, ayat 1, Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Sutirah mencatatnya lagi

Pasal 34, ayat 1, Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh nega…

Belum sempat merampungkan catatannya, seorang lelaki tambun berkumis memergokinya, dia adalah kepala sekolah yang bengis, di sekolahan itu ia terkenal suka memukul tangan muridnya dengan penjalin ketika tidak mengerjakan PR, juga suka mencabut jambang muridnya apabila terlambat. Sutirah begitu ketakutan menatap wajahnya..

“hey! Apa yang kamu lakukan di sini, Anak nakal!? Kamu bolos sekolah ya?! Mana rumahmu?!!” lelaki itu membentak Sutirah sambil menjewer telinganya. Sutirah hanya diam, ia kemudian mencoba meloloskan diri dan lari dengan gesit melewati lubang pada tembok tempat ia biasa masuk, lubang itu juga merupakan jalan pintas yang kerap dimanfaatkan murid-murid nakal ketika membolos dari pelajaran. Sutirah lari, sandal jepitnya yang lain warna lepas satu, tapi ia tidak mempedulikannya karena saking takutnya, ia benar-benar terlihat seperti baru saja bertemu dengan makhluk dari neraka. Betapa sial dia.

Sampai di rumah Sutirah menangis, ia hanya sendirian karena ibunya belum pulang dari menjual gorengan di stasiun. Tak ada harapan lagi, pikirnya. Telah berulangkali ia meminta pada ibunya agar bisa menyekolahkannya, tapi ibunya tak pernah menjawab ‘iya’. jelas saja, uang laba hasil penjualan gorengan hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari, itupun hanya dengan lauk secukupnya. Kasihan Sutirah, sejak hari itu ia tak pernah kembali lagi ke samping kelas untuk mencuri ilmu. Ia takut, benar-benar takut. Dan ia kini hanya bisa menghabiskan hari-harinya dengan merenung.

***

“Juara satu lomba cerdas cermat, juara satu lomba bahasa inggris tingkat SMP sekabupaten, juara…, ah, Intan jadi ingin tahu juga prestasi-prestasi apa yang telah diraih oleh sahabat Intan yang dulu selalu mendapat rangking satu di kelas, bunda. Bolehkah Intan ke semarang untuk menengoknya? Sudah dua tahun, rasanya benar-benar rindu…” Kata Intan kepada ibunya sambil berkeliling kamar membaca piagam-piagam penghargaan miliknya yang banyak terdapat di sana.

Ibunya tersenyum sambil tetap membenarkan sprei tempat tidur Intan, “besok ‘kan tanggal 17 agustus, kau libur ‘kan? bunda akan meminta ijin ke sekolah dua hari tambahan untuk liburmu agar kau bisa pergi ke semarang, kakekmu juga rindu. Baiklah, nanti malam akan bunda belikan Intan tiket kereta.” kata ibunya.

“Asyik, terimakasih, bunda.” Intan meloncat girang, gadis yang sekarang sudah duduk di bangku kelas tiga SMP itu langsung menyiapkan ransel dan memasukkan apa saja yang ia butuhkan untuk perjalanan tiga hari di semarang.

Ibunya percaya saja, Intan mandiri, ia sudah belajar taekwondo sejak kelas 3 SD, jadi tak perlu khawatir jika Intan melakukan perjalanan dari Jakarta-Semarang seorang diri dengan kereta api.

***

Semarang pagi itu mendung, Intan memilih jalan kaki dari stasiun tawang ke rumah kakeknya untuk menuntaskan rasa rindunya pada setiap sudut kota tempat ia pernah dilahirkan itu. Sampai di sebuah tikungan di mana dia dulu biasa melewatinya ketika berangkat sekolah bersama teman-temannya, Intan tersenyum. “Ah, rindunya..” katanya sembari menghela nafas panjang.

Gerimis tiba-tiba datang, membuat Intan terpaksa harus berteduh di sebuah warung yang sudah tidak dimanfaatkan untuk berjualan lagi oleh pemiliknya. Pada jarak beberapa meter darinya di tempat ia berteduh itu, seorang gadis dekil tersenyum-senyum dengan tatapan mata yang kosong menatap sudut jalan. Intan memperhatikan gadis itu dengan seksama, betapa kaget dirinya ketika tahu bahwa gadis itu ternyata adalah sahabatnya, Sutirah! Intan langsung memeluknya tak peduli seperti apa kondisi Sutirah, namun Sutirah malah mendorongnya dan berbicara pada Intan dengan bahasa yang tak pernah terdengar pada bahasa manusia atau binatang manapun Intan menangis dan terus mencoba membuat sutirah mengenalnya, tapi sutirah tetap mendorongnya dan mendorongnya. Terus seperti itu.

“Rah, ini aku! Ini aku sahabatmu, Rah! Rah! Ini aku, Intan!”

Gerimis reda, Intan masih saja duduk di depan sahabatnya itu dan memandanginya lama-lama, namun sutirah hanya tersenyum-senyum dengan tatapan mata yang kosong. Oh betapa malang gadis itu, ia dulu adalah anak yang sungguh cerdas, semangat belajarnya yang begitu tinggi dan ketidakmampuan ekonomi orangtuanya untuk menyekolahkannya malah membuat ia depresi. Betapa ironis, ia adalah bibit cemerlang yang tidak diijinkan tumbuh menjadi bunga yang wangi untuk bangsanya sendiri, gadis miskin yang menjadi korban dari pendidikan yang marak diperjualbelikan di negrinya.

Burung-burung gereja turun ke jalan-jalan untuk mematuki buah-buah merah kecil yang jatuh berguguran dari pohon beringin yang tumbuh di samping warung kosong tempat Intan dan Sutirah berteduh. Dan di seberang jalan itu seorang lelaki tua diam-diam memperhatikan mereka dengan haru dari atas becak miliknya. Di radio yang ia kalungkan pada lehernya siang itu, sayup-sayup terdengar sebuah lagu berjudul ‘Padamu Negri’ yang diputar oleh RRI.

-End of Note-

; SELAMAT MEMPERINGATI HARI KESAKTIAN PANCASILA

Bekasi, 01-03 Oktober 2010