Space Iklan

Selasa, 05 Juli 2011

TIDAK UNTUK UMUM

Sore itu di depan sebuah rumah yang ada di sebuah kota yang ketika itu saya kunjungi, saya dibuat kaget oleh sebuah tulisan yang ditulis dengan huruf kapital dan warna yang mencolok di tempat sampahnya. Begini bunyinya : “TIDAK UNTUK UMUM”

Setelah memperhatikan letak geografis rumah itu, saya membaca kalau letak tempat sampah yang ada di rumah itu bukanlah letak yang sering diisengin orang lain dengan membuang berplastik-plastik sampah ke sana. Sebab rumah itu ada tepat di tepi jalan raya. Jadi, seandainya ada sampah yang akan masuk ke tempat sampah rumah itu selain milik empunya rumah, paling-paling hanya sampah minuman kaleng atau bungkus rokok dari orang yang lewat saja.

Begitu membaca tulisan “TIDAK UNTUK UMUM” tersebut, saya jadi mengantongi kembali bungkus permen saya—yang ketika itu akan saya buang ke sana—untuk saya buang ke tempat sampah yang lain. Sebab, saya tidak suka dengan ketidak ikhlasan yang ditawarkan penghuni rumah itu melalui warning yang ditulis di tempat sampah miliknya. Komitmen yang merepotkan, memang.

Bicara tentang “sesuatu” di depan rumah, saya jadi kembali teringat masa-masa kecil saya. Ketika itu, tempat sampah atau pun taman di depan rumah bukanlah sesuatu yang lebih akan diperhatikan orang lain dibanding sesuatu yang lain, yang pada masa itu juga sering ada di depan-depan rumah. Sesuatu itu adalah “Kendi”.

Siapa yang tidak tahu kendi? Kendi adalah tempat air minum yang terbuat dari tanah liat. Ketika kendi diletakkan bukan di dapur ataupun di atas meja makan, melainkan di depan rumah oleh tuan rumah, siapa saja yang melihat pasti tahu kalau kendi itu ada diletakkan di sana adalah untuk disuguhkan kepada orang-orang yang lewat.

Kita mungkin sering tidak memperhatikan hal kecil semacam itu. Padahal melihat begitu banyaknya musafir—walaupun cuma pengemis atau pengamen—yang lalu lalang. Menaruh kendi berisi air minum di depan rumah seperti itu tentu adalah hal yang mulia. Dulu di kampung saya, hal semacam itu merupakan sebuah budaya. Namun entah karena faktor apa—entah karena tontonan televisi macam apa, kurikulum pendidikan macam apa, dan jenis makanan entah apa yang kita makan—yang membuat budaya seperti itu bisa punah dengan sempurna. Bahkan sebuah rumah saja, kini ada yang mengganti budaya kendi dengan budaya sampah yang saya ceritakan di atas tadi. Pernahkah anda bertanya apa yang terjadi?

Bersosialisasi sudah bukan lagi hal yang sangat penting untuk dilakukan di Negara ini, rupanya. Hey, siapa yang mengajarkan? Adakah di negri ini orang yang dengan bangga mengabarkan kepada orang lain betapa tidak punya hatinya dirinya? Olala, alangkah tidak tahu malunya!

Solo,  2011

Lelaki yang Berdiri di Pintu Kereta

Kereta penuh. Sudah biasa, kereta kelas ekonomi memang selalu seperti ini. Saya selalu memilih menyandarkan ransel besar saya ke dinding toilet dan duduk di atasnya ketika saya tidak kebagian bangku. Sembilan jam perjalanan akan menjadi waktu yang sangat membosankan tentunya. Tapi itu bagi mereka yang memang ingin lekas sampai dengan segera—Dan tidak bagi saya.

Memilih untuk menumpang kereta rakyat memang adalah pilihan saya. Namun hal tersebut tidak sekaligus membenarkan bahwa saya kurang mampu untuk membeli tiket kereta dengan kelas di atasnya. Dari pada di kelas bisnis, saya memang selalu suka menumpang kereta kelas ekonomi karena banyaknya inspirasi-inspirasi yang bisa saya tangkap di dalamnya. Seperti kisah kereta yang pernah saya ceritakan sebelumnya, dan juga seperti apa yang akan saya ceritakan berikut ini :

Saya melihat lelaki dengan penampilan kumal itu berdiri tepat di depan pintu sembari memberikan sebuah surat berwarna putih kepada petugas pemeriksa karcis. Setelah petugas berlalu darinya dan usai memeriksa karcis saya, saya buru-buru menghampiri lelaki itu karena rasa penasaran saya terhadap surat putih yang tadi ia berikan ke petugas. Enak sekali, nggak beli karcis. Surat khusus apa itu?, pikir saya.

Saya melakukan pendekatan perlahan dengan berdiri di sampingnya, menikmati semilir, melihat eloknya kembang-kembang tebu yang bergoyang ditingkahi angin kereta. Lantas saya mulai perlahan bertanya padanya. Dan belum ada sepuluh menit berbincang dengannya, mata saya langsung dipaksa berkaca-kaca. Hai! Siapa sangka.

Ada sekitar empat belas surat putih yang sama yang ia tunjukkan pada saya. Semuanya adalah surat pengantar dari dinas orang terlantar. Saya sedang bicara dengan orang terlantar, bukan dengan gembel. Maka saya pun berusaha untuk sesopan mungkin ketika bicara dengannya.

Kalau tidak salah, namanya Rokhim. Ia berasal dari kota yang sama dengan saya—Semarang. Rokhim telah sepuluh hari menjelajahi pulau Sumatra untuk mencari ayahnya. Paling tidak, itulah yang ia ceritakan kepada saya.

“Kenapa harus mencari, memang tidak tahu dengan persis alamatnya?” Tanya saya.

“Tahu, mas. Tapi bapak sudah pindah.”

“Kenapa tidak mengabari orang di kampung alamat barunya?”

“Keluarga kami broken, bapak menikah lagi. Ibu pergi ke Arab Saudi. Saya di rumah bersama nenek. Bertani setiap hari. Namanya anak, pasti ada lah rasa kangen sama bapak. Apalagi saya ini kan anak tunggal.”

“Sudah berapa lama bapak meninggalkan rumah?”

“Sejak bercerai dengan ibu. Lima belas tahun yang lalu, saat saya masih duduk di bangku kelas empat SD.”

“Sejak hari itu, kamu sama sekali tidak pernah bertemu?”

“Tidak. Sebab itulah saya berusaha mencarinya. Walau jauh ke seberang pulau. Dan.. ternyata saya malah tidak menemukannya.”

“Pasti kangen, ya..” saya menatap langit. “Kalau ketemu, akan kamu apakan?”

“Tentu saja kangen. Mungkin saya akan memeluknya.” Ia mengusap sesuatu pada matanya.

Ah, saya tidak bisa membayangkan seandainya saya adalah dirinya. Belasan tahun berpisah dengan orang tua, mencari ke luar pulau hingga kehabisan dana, tapi tak dapat bertemu juga. Betapa menyedihkannya. Kalau anda adalah dia, bagaimana?


Semarang, 2011