Space Iklan

Minggu, 05 Februari 2012

Exploring Batu

Teks & Foto : jenararibowo@ymail.com

Nasi pecel dengan sebutir telor asin dan rempeyek kacang menjadi sarapan yang sangat nikmat untuk mengawali hari yang indah di kota Batu pagi itu. Tidak jauh dari hotel tempat saya dan seorang teman saya menginap, saya menemukan warung nasi pecel yang dijajakan oleh seorang perempuan tua ini di tepi jalan. Udara masih sangat terasa dingin. Bunga-bunga flamboyan juga terlihat rekah memerah di antara tanaman-tanaman jagung di sebrang jalan. Sungguh membuat saya begitu tak sabar untuk segera mengeksplorasi keindahan kota yang sangat identik dengan buah apelnya ini.
Sembari menikmati nasi pecel yang dihidangkan di atas piring yang terbuat dari anyaman rotan itu, saya bertanya pada nenek penjualnya tentang tempat wisata yang paling ramai dikunjungi masyarakat setempat ketika hari libur tiba. Nenek itu pun sambil tersenyum malu-malu, menunjuk ke arah gunung Arjuna yang terlihat gagah menjulang biru di ujung jalan. “Cangar, nak,” kata beliau, “Di sana ada pemandian air panas dengan pemandangan alam yang sangat indah.”
            Tidak menunggu lama, kami pun lantas menuju ke sana.



Saya masih teringat akan gurauan seorang sopir angkot yang kami tumpangi semalam. Bapak yang memiliki karakter sanguinis sangat kental itu berkata pada kami bahwa kami sungguh tidak pantas untuk memasuki komplek argo wisata di mana orang-orang biasa memetik apel sepuas hatinya, ketika saya menanyakan perihal tempat tersebut padanya. Memang benar, gurauan itu sama sekali bisa dibenarkan lantaran penampilan saya yang terlihat super gembel, sementara argo wisata yang kami bicarakan merupakan satu kesatuan dari sebuah hotel berbintang.
Sebagai seorang Low Cost Traveler alias Backpacker, akhirnya kami pun mengurungkan niat kami untuk bisa melihat apel yang tumbuh langsung dari pohonnya demi pencegahan terjadinya penipisan dompet kembali setelah sebelumnya sudah ‘terabrasi’ oleh budget perjalanan ke Pulau Sempu. Tapi untunglah, di jalan menuju ke arah Cangar ternyata kami menemukan pohon apel yang berbuah merah banyak tumbuh di tepi-tepi jalan. Maka ketika itu juga jadilah kami dua orang katrok yang paling bahagia sedunia :D





            Perjalanan dari alun-alun kota Batu menuju cangar sungguh menakjubkan. Rumah-rumah di bawah kaki gunung yang acap kali terlihat dilamun kabut, petani-petani yang memanen wortel dan kembang kol, wangi buah apel yang senantiasa mengharum di sepanjang perjalanan. Seluruhnya menjadi akrab di mata dalam perjalanan itu.                       


Sampai di Cangar, kami sama sekali tidak punya niat untuk melepas baju dan basah-basahan, kendati tempatnya memang cukup asik untuk melakukan hal itu. Terlalu ramai, kalau menurut saya. Walau begitu, duduk diam di pinggir kolam sambil menikmati tape ketan yang banyak dijajakan di sana saja sudah membuat hati kami tentram lantaran pemandangannya yang sungguh memanjakan mata. Selain kolam alami, Cangar juga memiliki gua-gua peninggalan Jepang. Kami juga tentu saja tak mau melewatkan kesempatan untuk menjelajahi gua-gua itu.

Puas di Cangar, kami pun beralih ke objek wisata sebelahnya, setelah sebelumnya saya iseng-iseng bertanya ke penduduk setempat apa ada air terjun di daerah situ. Tak sampai satu kilometer dari tempat itu, ternyata memang ada air terjun yang dinamai Cuban Watu Ondo. Dan di sanalah saya selanjutnya kembali memanjakan mata. Pemandangan Cuban Watu Ondo lumayan eksotis (saya bilang lumayan karena saya sering melihat yang lebih luar biasa dari ini). Di sekitar Cuban Watu Ondo ini, saya banyak menemukan semacam lutung hitam yang oleh penduduk setempat diberi nama “Budheng”. Tapi jangan takut, walau bebas berkeliaran di alam liar, monyet-monyet ini sama sekali tidak mengganggu pengunjung.

Puas memanjakan mata, kami kembali ke alun-alun Batu. Di malam hari, tempat ini luar biasa ramai. Bukan hanya udaranya yang sejuk yang membikin saya betah berlama-lama di sini, tapi juga orang-orangnya yang ramah. Pusat keramaian kota Batu ini sangat bersih dan rapi, dilengkapi dengan berbagai fasilitas tempat duduk eksklusif stanlish beratap glosy transparan yang berfungsi sebagai smoking area, ada juga patung-patung apel raksasa, air mancur, dan yang paling membuat saya terkagum-kagum, adalah ferish wheel raksasa yang tak pernah berhenti berputar perlahan selama wahana itu dioperasikan. Bagi yang ingin melihat keelokan kota malang di malam hari dari atas, anda bisa menaikinya dengan tiket hanya Rp.3000,- saja untuk sekali putaran. Saya saja bahkan sampai 2 kali menaikinya :D (childish!). 




Semakin malam udara di alun-alun Batu semakin dingin. Maka, dari alun-alun itu, beralihlah kami ke Pos Ketan Legenda yang berada di seberangnya untuk menikmati secangkir kopi dan sepiring kecil ketan bubuk guna menghangatkan tubuh. Dan akhirnya, perjalanan panjang hari itu pun kami akhiri dengan ngobrol ngalor-ngidul di tempat itu. []




Jumat, 03 Februari 2012

Cibodas's Cherry Blossoms

Tidak banyak dari kita yang tahu bahwa ternyata di tanah air tercinta kita ini bunga sakura juga bisa tumbuh subur. Bahkan, mungkin ada di antara anda yang tidak akan percaya mengenai fakta bahwa bunga sakura sudah ditanam dan tumbuh subur di negri ini sejak jaman penjajahan belanda.

Tidak perlu bermipi lagi bisa pergi ke Jepang atau Korea untuk hanya sekedar ingin melihat bunga merah muda yang cantik ini ketika mekar. Anda cukup pergi saja ke kebun Raya Cibodas yang terletak di Kompleks Hutan Gunung Gede Pangrango, Desa Cimacan, Pacet, Cianjur, pada bulan Januari-Februari atau Agustus-September. Bunga sakura bisa anda temui di sana. Ada tempat-tempat yang khusus ditanami bunga ini, diantaranya adalah lembah Bogo dan kolam Besar. Sakura yang tumbuh di kebun ini adalah jenis Prunus Cerasoides, Prunus Jamasakura, Prunus Lannesia dan Prunus Spp.

Di bawah ini adalah beberapa foto bunga sakura yang saya ambil ketika bulan lalu saya berkunjung ke sana :














 

Kamis, 02 Februari 2012

Yang Sebenarnya Ingin Kutulis Diam-Diam

pada akhirnya aku pulang lagi pada sepi. pada kenangan-kenangan yang menyisakan hanya aroma peluhmu yang kering. ah, berapa kali lagi, manis. berapa kali lagi harus kukaji sandi pada sidik jarimu yang melindap sekujur tubuhku.


Kediaman Hujan, Jan '12

Cerpen : Paijem Mbabu

Senang sekali Si Paijem kalau dipanggil guru ngaji dan teman-teman sepengajiannya dengan kata “Ukhti Paijem”, rasanya Islam banget. Tenang dihati, menurutnya. Ia berasa jadi seperti orang Arab, tempat di mana pertama kali agama yang dianutnya ini diturunkan. Paijem sudah tiga bulan ini ikut pengajian ibu-ibu di kampungnya, ia adalah janda yang memiliki satu anak lelaki yang masih berusia 8 tahun. Melihat anak ustdzahnya memanggil guru ngajinya itu dengan sebutan “Ummi”, maka Paijempun ikut-ikutan supaya terkesan lebih islami. Dan mulai sekarang, ia menyuruh satu-satunya anak laki-lakinya yang tadinya memanggil dia dengan sebutan “Emak” untuk memanggil dia dengan sebutan “Ummi”. Demi membahagiakan hati emaknya, anaknyapun nurut begitu saja. Betapa senang hati Paijem ketika mendengarnya.

       Paijem yang sehari-harinya cuma bekerja sebagai buruh tani kini mulai merasa resah dengan harga sembako yang semakin hari semakin melonjak tinggi, sementara gajinya sebagai buruh tani tak pernah mencukupi untuk kebutuhan hidup dia dan anaknya. Paijempun putar otak. Ia akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang TKW seperti Martini, teman sepengajiannya yang dulu pernah menjalani profesi itu. Martini pernah bekerja sebagai pembantu di Saudi Arabia. Ia kini kaya raya, dengan gaji yang ia kumpulkan selama empat tahun ketika menjadi pembantu dulu, ia kini membangun banyak usaha dagang di kampungnya. Maka, kini Paijem menghampiri Martini untuk bertanya panjang lebar perihal kerja di luar negri.
       “Mar, aku arep menyang Arab. (Mar, aku mau pergi ke Arab)” Katanya kepada Martini.
       “Arep nopo, Jem? (Mau ngapain, Jem?)”
       “Arep mbabu, ben cepet sugeh. (Mau jadi pembantu, biar cepat kaya)”
       “Tapi kerjo neng kono ki bejo-bejonan, lho.(Tapi bekerja di sana tuh tergantung sama keberuntungan, lho)”
       “Maksudte opo? (Maksudnya apa?)”
       “Yo, kerjo neng kono ki rak mesti intok majikan seng apek, nek intok majikan seng watak’e elek iso modiar kowe. (yah, kerja di sana itu tidak pasti dapat majikan yang baik, kalau dapat majikan yang wataknya buruk bisa mampus kamu)”
       “Lhoh, tapi neng kono kan wonge mayoritas Islam kabeh? (Lhoh tapi di sana kan orangnya mayoritas Islam semua?)”
       “Sopo kondo, arep Islam, arep Kresten, arep Yahudi, arep wong Arab, arep wong Amerika, arep wong Indonesia, podo wae! Kabeh ki kari wonge. (Siapa bilang, mau Islam, mau Kristen, mau Yahudi, mau orang Arab, mau orang Amerika, mau orang Indonesia, sama saja! Semua itu tergantung orangnya)”
       “Maksodmu, opo? (Maksud kamu, apa?)”
       “Yo, agama iku rak iso didadekno patok’an, kabeh tergantung seng melok. Lan kabeh seng melok iku rak mesti watak’e apek. Wong sejatine menungso urep neng ndonyo kuwi ono seng apek lan ono seng elek. Neng agama ndi wae mesti nduwe loro-lorone. (Ya, agama itu tidak bisa dijadiin patokan, semua tergantung pemeluknya. Dan semua yang memeluk itu tidak mesti sifatnya baik. Orang sejatinya manusia hidup di dunia itu ada yang baik dan ada yang buruk. Di agama manapun juga pasti punya dua-duanya)”
       “Mmm..”
       Paijem mulai berpikir.
       “Rak popolah, daripada anakku mati kaliren. (Tak apalah, daripada anakku mati kelaparan)”

       Paijem mendaftar. Tiga bulan setelah pelatihan di penampungan, Paijempun akhirnya diberangkatkan ke Saudi Arabia oleh penyalur tenaga kerja Indonesia. Ia merasa senang karena cita-citanya tercapai, namun tidak setelah bertemu majikannya. Benar kata Martini kalau bekerja di sana itu tergantung keberuntungan. Paijem mendapat majikan yang wataknya buruk, ia sering disiksa, dipukul, ditendang, disetrika dan bahkan digunduli. Setiap hari Paijem kenyang dengan kata “Kofi, ah!” oleh majikannya, kata yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “Bodoh Kamu!”
       Di Indonesia, kabar penyiksaan Paijempun santer terdengar. Di televisi, di Koran-koran, hal itu menjadi topik pembicaraan yang hangat. Akhirnya banyak mahasiswa dan lembaga-lembaga yang bergerak dibidang kemanusiaan melakukan unjuk rasa besar-besaran agar Paijem diselamatkan dan dipulangkan ke tanah air Indonesia.
       Paijempun akhirnya dapat dipulangkan dengan kondisi yang mengenaskan. Hanya sesuatu yang dapat menghibur hatinya saat dia pulang, oleh masyarakat ia diberi gelar Pahlawan Devisa. Walau tak ada hadiah atau embel-embel apapun untuk melegitimasi hal itu, Paijem sudah cukup senang, paling tidak karena kata “Pahlawan” itu. Barangkali.

       Setengah tahun dibutuhkan Paijem untuk menyembuhkan traumanya. Begitu kondisi psikologisnya pulih total, ia mulai mengaji kembali. Karena pengajian adalah sesuatu yang bisa menentramkan hatinya.
       “Ajeng ten pundi, Ummi? (Mau kemana, Ummi?)” tanya anaknya.
       “Ojo undang 'Ummi' meneh, saiki undang ibu “Emak” wae. Mak’e arep pengajian. (Jangan panggil “Ummi” lagi, sekarang panggil ibu 'Emak' saja. Emak mau pergi ke pengajian)”
       “Injeh, Mak. (Baik, Mak)”

       Martini menghampiri Paijem untuk berangkat mengaji bersama. Ia mungkin adalah sahabat baik Paijem yang tidak bisa dipisahkan kecuali oleh kematian.
       “Paijem, ente arep mangkat ‘ra?. (Paijem, ente mau berangkat tidak?)” Kata Martini menghampiri Paijem.
       “Tak kandani ya, Mar. Aku dudu wong Arab, aku luweh seneng mbok undang  “Kowe” daripada mbok undang “Ente” .” (Kuberitahu ya, Mar. Aku bukan orang Arab, aku lebih suka kau panggil “Kamu” daripada kau panggil “Ente”)
       “Lho, ono opo mbek kowe, Jem? Biasane mesam-mesem yen tak undang ngono. (Lho, ada apa dengan kamu, Jem? Biasanya senyam-senyum kalau kupanggil seperti itu)”
       “Aku wes ngerti nek kuwi budaya Arab! Ojo teros dianggep ajaran Islam! Aku wong jowo, ojo sampek ilang jowone*! Mboh nopo saiki nek aku mbok undang 'Ente' aku malah koyok diundang karo penjajah ik (Aku sudah tahu kalau itu budaya Arab! Jangan terus dianggap ajaran Islam! Aku orang jawa, jangan sampai hilang jawanya! Entah kenapa ketika sekarang aku kau panggil 'Ente' aku jadi merasa seperti dipanggil oleh seorang penjajah nih)”
       “Heh?”
       “Yo, ojo padakke ajaran Islam karo ajaran Arab! Salah kaprah kowe! Wong agomo Islam iku ditekakke nggo menyempurnakan akhlak, ora kanggo ngrubah kebiasaan nenek moyang seng rak ngrusak moral lan iman! (Ya, jangan samakan ajaran Islam dengan ajaran Arab! Salah kaprah kamu! Orang agama Islam itu diturunkan untuk menyempurnakan akhlak, bukan untuk mengubah kebiasaan nenek moyang yang tidak merusak moral dan iman!)”
       “Jem, jem, wes tak kandani, mending mbiyen kowe ojo lungo neng Arab! (Jem, jem, sudah kubilang, mending dulu kamu jangan pergi ke Arab!)”
       “Aku rep mrono meneh, sopo ngerti intok majikan seng apek. (Aku mau ke sana lagi, siapa tahu dapat majikan yang baik)”
       “Opo?! Rak kapok kowe, yo? (Apa?! Tidak kapok kamu, ya?)”
       “Lha wes piye, aku memang iso bali neng Indonesia, tapi pemerentah ora iso njamen aku intok kerjaan seng mapan ngene ik, opo rak podo karo bunuh diri? (Lha habis gimana, aku memang bisa pulang ke Indonesia, tapi pemerintah tidak bisa menjamin aku dapat pekerjaan yang mapan begini nih, apa tidak sama dengan bunuh diri?)”
       “Edhian kowe, Jem!”. []


*Salah satu dari arti kata “Jawa” adalah “Nyawa”, maka orang jawa yang kehilangan jawanya bisa dibilang ia kehilangan nyawanya.