Space Iklan

Selasa, 27 Maret 2012

Cerpen : Kisah Rokayah

 
Ini cerita tentang Rokayah. Dia adalah perempuan setengah baya yang memiliki dua orang anak yang masih kecil-kecil dari suaminya Ma’un yang kini sudah meninggal dunia karena penyakit typhus. Rokayah tinggal di bantaran kali. Sebab tidak punya rumah tetap dan juga kartu keluarga, maka oleh pemerintah, ia diakui bukan sebagai warga Negara Indonesia. Oleh sebab itulah, satpol PP tidak pernah segan-segan menendang wajahnya ketika mereka membongkar rumah liar Rokayah yang seringkali berpindah-pindah dengan paksa.

Rokayah bukan orang yang mudah menyerah. Pikirnya ia punya hak sebagai anak bangsa yang lahir di negri yang baru 66 tahun merdeka ini untuk tidur di atas tanah dan di bawah langitnya. Ia mendirikan rumah di manapun ia bisa mendirikannya, meski cuma dari kardus-kardus bekas. Tidak masalah, asal dua anaknya tidak dijahili angin ketika mereka terlelap. Tidak masalah, meskipun berapa kali ia mendirikannya, berapa kali itu pula satpol PP juga akan membongkarnya. Tapi ia akan tetap mendirikan rumah kardus lagi. Terus mendirikan. Dan terus.

Masalah Rokayah sebenarnya tidak berkutat hanya pada seputar bongkar pasang rumah saja, untuk bisa makan sehari-hari pun ia juga harus keras berjuang—membanting tulang hingga remuk redam. Kamu pikir, menghidupi dua anak dengan tanpa pekerjaan yang tetap itu mudah?

Setiap hari ia mencari barang-barang bekas di sampah-sampah perumahan. Menggandeng satu anaknya yang baru berusia 6 tahun, dan satu yang masih di gendongan. Baginya itu pekerjaan mulia, jika dibanding dengan harus cari makan dengan mengemis atau korupsi. Begitulah ia. Rokayah lebih senang menyebut dirinya sendiri sebagai kaum yang berjuang dari pada menyebut dirinya sebagai fakir yang harus dikasihani.

Selama beberapa tahun ia mampu bertahan dengan keadaan itu. Tapi tidak saat ini. Ia menjadi tiba-tiba pesimis begitu mendengar pemerintah akan kembali menaikkan harga BBM. Tak bisa ia bayangkan harus seberapa keras lagi ia harus menempa dirinya. Bahan pangan akan naik, meskipun dengan menaikkan harga BBM itu pemerintah juga berjanji akan memberikan dana BLT kepada setiap warga miskin. Tapi siapa dia? Siapa Rokayah? Kartu identitas saja ia tak punya. Maka setelah berpikir pendek, jadilah Rokayah memutuskan untuk mengakhiri kehidupannya. Kasihan sekali, Rokayah yang konon adalah seorang pejuang sejati bagi anak-anaknya itu, kini memilih untuk mati di ujung harga BBM.

Ia membeli beberapa racun tikus untuk meracuni dirinya—dan yang menyedihkan—juga  beserta dua anaknya.

Di bawah langit malam yang dingin itu, Rokayah berjalan ke tepi kali, ia berteriak keras dikuasai amarah, “Bajingan kalian! Pemerintah asu! genjek! kirek! tak sepatani kere pitung turunan!

Ia pun kemudian kembali ke gubug kardus, menghampiri dua anaknya dengan membawa secangkir besar teh yang telah dicampurinya dengan racun tikus. Bergiliran mereka meminumnya kemudian. Anak-anaknya tersenyum, merasakan betapa manis rasa teh yang diberikan ibunya. Tapi Rokayah malah menangis. Apalagi setelah melihat dua buah hatinya itu muntah-muntah di depannya. Ia jadi tak kuasa, ia berlari, meminta pertolongan kepada siapa saja. Berteriak. Dan sesekali berhenti membuang muntah dari mulutnya di rumput-rumput yang mendingin. Di matanya cahaya-cahaya mengular. Lantas dunia menjadi gulita tiba-tiba di hadapannya.

***

Di tempat itu udara terkadang begitu dingin. Rokayah sering menemui dirinya berperan sebagai seorang presiden wanita yang membagi beras dan minyak—yang ia petik dan pompa sendiri dari negrinya yang gemah ripah loh jinawi—gratis kepada rakyatnya. Kadang ia menemui dirinya tertidur di balik jeruji besi. Kali lain ia menemukan dirinya menangis resah seperti seorang ibu yang menunggu kepulangan dua anaknya dari pergi mencari kunang-kunang di kebun di pojok pintu.


Kediaman Hujan, 26 maret 2012


*terimakasih buat Gus Teja, atas alunan instrument Whispering of Hopes-nya yang merdu.

Minggu, 25 Maret 2012

Yang Memberi Dalam Kekurangannya


Beberapa hari lalu ada acara hajatan di rumah saya. Para Ibu berjibaku dengan segala macam aroma bumbu anu di dapur pada tengah malam dan—sayangnya tepat—pada  musim langka LPG. Saya terpaksa repot keliling mencari mini market 24 jam yang ada di kota untuk membeli gas. Sebab, seluruh penjual gas tabung di sekitar tempat saya tinggal tidak bisa memenuhi permintaan saya. Bukan karena ketika itu tengah malam dan toko sudah tutup, melainkan memang karena stok gas tabung telah kosong.
Saya beruntung. Sebuah mini market di dekat perumahan Tanah Mas masih ada yang buka dan menjual gas tabung yang saya cari di waktu yang kira-kira sudah lewat pukul 12 malam itu. Sudah membeli, saya pun lekas keluar toko.

Seorang nenek tiba-tiba mendekati saya dan menawarkan sabun sereh dagangannya—yang sama sekali tidak saya butuhkan—di sana. “Untuk perawatan kulit,” katanya. Tapi saya tetap berlalu saja karena saya benar memang tidak membutuhkan barang-barang seperti yang nenek itu tawarkan.

Di parkiran, sebelum memutar kunci kontak motor saya, saya menyuruh keponakan saya yang ketika itu ikut untuk memberikan selembar uang seribu rupiah sisa kembalian gas kepada nenek itu lantaran iba. Tapi usai memberikannya, keponakan saya malah kembali dengan dua sachet lotion anti nyamuk di tangannya.

“Dari mana lotion itu?” Tanya saya.
“Nenek tadi yang memberikannya.”
“Kubilang berikan saja uang itu, bukan kusuruh kamu membeli barangnya.”
“Tapi nenek itu memaksa saya agar mau menerima ini.”

Ya sudah. Niat saya beramal malah tidak jadi. Mau saya kembalikan lotion itu saya malah takut dikira menghina. Akhirnya saya pulang saja. Sampai di rumah lotion nyamuk itu ternyata malah sangat dibutuhkan ibu-ibu. Pada kekurangan, malah. Sayapun akhirnya terpaksa kembali ke depan mini market tadi untuk membeli lotion itu lagi.

“Dua sachet, nek.” Kata saya sembari menunjuk salah satu merek lotion anti nyamuk dan memberikan selembar uang seribu rupiah kepada nenek tadi.
“Dua ratus lagi, dek.” Kata sang nenek.
“Lhoh, berapa harga satuannya?”
“Enam ratus.”
“Oh, maaf.”

Mengingat yang terjadi sebelumnya, saya jadi mengerti bahwa tujuan saya yang ketika itu ingin menempatkan diri saya sebagai “tangan yang di atas” justru malah menjadi orang yang diberi. Harga dua sachet lotion itulah yang akhirnya memberi tahu saya. Tidak saya sangka, di negri yang banyak bajingan ini, masih ada juga orang yang tak segan memberi dalam kekurangannya.

Karena tidak punya receh, sayapun meminta uang saya dan kembali memberikan uang padanya dengan nominal lebih besar yang notabene memiliki sisa kembalian lebih. Dan belum sempat beliau mengembalikan uang sisa kembalian itu, saya sudah tiba-tiba hilang dari hadapannya. Alasannya, saya rasa anda tahu sendiri apa.

Semarang, maret ’12

Minggu, 04 Maret 2012

Serunya Berenang di Atas Awan dan Menyebrangi Jurang Dengan Tali

Teks & Foto ; jenararibowo@ymail.com

Berkendaralah sekitar 1-1,5 jam dari pusat kota Semarang menuju ke arah Bandungan. Anda akan menemukan tempat wisata asyik yang sejuk dan indah ini. Desa Wisata Umbul Sidomukti, namanya. Tempat ini berjarak sekitar kurang lebih 5-6 kilometer dari pasar Jimbaran. Jika anda naik bus jurusan bandungan dari terminal terboyo Semarang, maka mintalah turun di pasar Jimbaran ini. Sebab satu-satunya akses menuju ke Umbul Sidomukti adalah sebuah jalan yang terletak sekitar 50 meter di depan pasar ini. Dari jalan itu, anda kemudian boleh memilih untuk jalan kaki atau naik ojek, sebab tidak ada angkot yang akan mengantar anda menuju desa wisata tersebut.

Mungkin akan terasa sangat melelahkan--dan kedengarannya gila--melewati jalan sepanjang 5-6 kilometer yang terus menanjak dengan berjalan kaki. Tapi saya menjamin bahwa anda akan lebih puas jika mau melakukannya. Sebab, pemandangan di sepanjang jalan itu akan dapat memanjakan mata anda dan tentu saja memuaskan hati anda, jika anda memiliki jiwa petualang.  Ramahnya penduduk desa, rumah-rumah yang lotengnya ditumbuhi lumut, pohon-pohon kelengkeng yang berbuah lebat ketika musimnya, kebun mawar, sesawi, kembang kol, tomat, cabai, wangi kotoran sapi (wangiiii??? :p), semua akan menemani perjalanan anda menuju surga di atas awan yang bernama Umbul Sidomukti itu.




Umbul Sidomukti terletak di lereng gunung Ungaran pada ketinggian 1200 dpl. Jika musim kabut, tempat ini akan terlihat seolah-olah mengambang di atas awan. Dan yang membuat tempat ini unik adalah adanya kolam bertingkat dengan kedalaman tak sama yang airnya bersumber langsung dari mata air ngetihan. Bahkan, konon kolam ini dinobatkan sebagai kolam pemandian tertinggi se-Indonesia. Di kolam ini anda bisa melihat langsung pemandangan kota Semarang dari atas.
Selain kolam, masih ada banyak wahana yang bisa anda coba nikmati, dari yang ringan sampai menantang. Seperti; berkuda, memetik buah strawberry langsung dari kebunnya, menaiki Flying Fox atau berjalan di atas Marine Bridge menyeberangi jurang yang berketinggian 70 meter, dan masih banyak lagi. Semua itu saya jamin akan menjadi pengalaman yang tak akan bisa anda lupakan jika mencobanya.  Saking indahnya tempat ini, saya bahkan hampir tiap bulan 'bermeditasi' di sana. Tempat ini memang asyik untuk mencari inspirasi.Sangat cocok bagi mereka yang mencintai ketenangan.Tidak percaya? coba saja :)



KAWASAN WISATA UMBUL SIDOMUKTI
Desa Sidomukti Kecamatan Bandungan Kab. Semarang, Jawa Tengah
PT. PANORAMA AGRO SIDOMUKTI
Nomor Telepon. 024 70128686 Fax. 024 70128787
Email : marketing@umbulsidomukti.com
Website : www.umbulsidomukti.com
Facebook : umbul sidomukti

Jumat, 02 Maret 2012

Puisi : Di Dalam Bis


            : Zidni Arfia Rahman


Selamat malam, Padalarang!
Lampu-lampu mengular, yang sepasang dan yang tunggal.
Kendaraan dari dan entah ke mana tujuannya.
Jalanan sedikit basah, baru turun hujan ‘kah?

Di dalam bis aku ngelangut melamun,
di smoking area, asap rokok diam serupa petapa waskita.
Kepulangan, adakah selalu jadi kerinduan dua titik yang berbeda?
Kita cuma manusia-manusia yang gemar merentang jarak.
Di kubus ruang kau pecahkan satu-satu detik yang mengganggu.

Ada kunyanyikan pelan lagu bagimu, Sepanjang Jalan Kenangan
dan tiba-tiba saja aku jadi teringat ibu. Di luar mulai gelap
meranggas petang. Pulas gigil AC sedikit menekan tulang iga,
hingga ke paru. Ditaruhnya lagi bertumpukan, ceritamu
tentang anak kecil yang minta dibuatkan langit di atap kamarnya.
Atau tentang kaleng kosong yang jadi kandang kunang-kunang.

Betapa menyenangkan masa kanak itu.
Selamat malam, kuucapkan bagi lampu-lampu.
Senang berkenalan denganmu,
walau dalam kecepatan bis yang tidak pernah tentu.
Kadang melesat ia, kadang melenguh di tengah macet
yang membikin jenuh.

Selamat malam, Padalarang!
Garis terakhir batasmu sudah lewat jauh.
Baiknya kuakhiri sajak ini dengan
sepotong tanda titik yang likat. Nah, sudah kutaruh.


Bandung – Sukabumi, 3/2/2012


 Tentang Penyair :

Lutfi Mardiansyah, lahir di Sukabumi tanggal 4 Juli 1991. Tengah menempuh program S1 di Universitas Padjadjaran (UNPAD) jurusan Sastra Indonesia, angkatan 2009. Menulis puisi, cerpen dan novel. Pendengar setia John Coltrane dan Miles Davis. Pembaca setia novel-novel Milan Kundera dan Ayu Utami, juga babon epik Mahabharata Ramayana. Aktif di Komunitas Sastra Langkah. Menjadi pembimbing di Forsa5 (Forum Sastra Remaja SMPN 5) di Kota Sukabumi. Puisi-puisinya terdapat antara lain di antologi puisi kolektif Langkah, Dari Dasar Jurang (2011), dan Dari Senja Ke Malam (2011). Saat ini sedang berusaha mewujudkan impiannya memiliki perpustakaan.