Selasa, 23 April 2013

Semesta di Tubuhmu


Di tubuhmu kutemukan tubir laut
Tempat perahu kayu tertambat tenang
Tempat anak-anak udang berenang riang

Di tubuhmu kutemukan bibir fajar
Tempat capung merah hinggap sunyi di kembang sawi
Tempat kabut-kabut mencair bundar di duri nangka

Di tubuhmu kutemukan bulan desember
Tempat hujan putih jatuh dengan dingin
Tempat lili darah bermekaran cerah

; Di tubuhmu kutemukan semesta
Tempat segala kemungkinan yang meneduhkan
Berdiam diri dengan rapi



Gedung Berlian, April 2013

Senin, 11 Maret 2013

[BUKAN] SEBUAH HIPERBOLA


“We make a living by what we get, but we make a life by what we give.” – Winston Churchill


Sebuah kisah yang dibuat-buat, tapi benar adanya..

             Saya akan benar-benar berciuman dengan seorang Kristen Steward seandainya saja SMS itu tidak datang, mengirim getar dan denging yang bikin merinding di kasur tempat saya tidur secara tiba-tiba, sehingga menjadikan buruk mimpi saya yang seharusnya indah itu. Salah saya sendiri juga, lupa mengganti nada dering suara kuntilanak di HP saya dengan nada dering percakapan absurd Spongebobs Squarepants  bersama teman karibnya—Pattrick—seperti biasanya.

            Tapi setelah melihat siapa yang mengirim SMS dengan bunyi “Woiiiiii, bangun! Aku sudah sampai Semarang.” itu, saya jadi mendadak merasa geli sendiri, dan paling tidak, saya  merasa tidak menyesal mimpi saya yang indah itu menjadi tiba-tiba buruk karenanya. Ternyata Mbak Ikha Ismawati yang mengirim pesan singkat tersebut. Nada dering kuntilanak memang cocok bagi sesuatu yang dikirim oleh seorang dia, pikir saya.

            Saya benar-benar lupa bahwa sehari sebelumnya kami sudah janjian akan pergi ke rumah Nyai Mberok untuk kopdar Baltyra (Global Comunity Nusantara) bersama-sama Mbak Dewi Murni juga. Maklum, lupa janji itu memang jenis penyakit yang mudah menjangkit orang ganteng, baik hati, dan punya sepeda baru seperti saya ini. Seperti kata Newton, bahwa intensitas kegantengan seorang pria berbanding terbalik dengan daya ingatnya akan janji. Maka tanpa pikir panjang, langsung saya suruh saja Mbak Ikha menunggu saya di gramedia Pandanaran. Itu tempat yang menurut saya paling pantas untuk menunggu saya, mengingat bahwa semua orang di Baltyra saya pikir adalah orang-orang yang mudah membunuh kejenuhan dengan membaca. Tentulah menyuruh Mbak Ikha—yang juga merupakan salah satu keluarga Green House itu—menunggu saya di tempat penuh buku adalah sebuah tindakan yang sungguh bijaksana, sebab jelas bahwa saya akan bisa menemui dia lebih dari sejam kemudian nantinya.

2 jam kemudian..

           Sungguh hal yang di luar perkiraan saya bisa sampai ke gramedia 2 jam kemudian karena hari itu turun gerimis yang membuat saya beberapakali harus berteduh hingga bisa sampai ke halte. Maka dari itu, keterlambatan saya hari itu wajib sekali dimaafkan. (padahal sebenarnya memang sengaja terlambat, karena saya sudah memperkirakan waktu kedatangan Mbak Dewi setelah beliau memberitahukan kepada saya sudah sampai mana mobilnya yang berangkat dari Jogja itu lewat telefon. Singkatnya, I don’t wanna wasting my time to ‘kongkow’ with Mbak Ikha yang galak dan menthel-nya melebihi tetangga saya itu ßdari hati yang terdalam) :p

           Kendati ini merupakan perjumpaan pertama saya dengan Mbak Ikha, saya tidak memerlukan fasilitas pada HP saya untuk mencari dia—telefon atau SMS sekalipun—sehingga saya biarkan saja HP saya anteng di dalam saku celana. Barangkali beda ceritanya jika saya menginstal software Ghost Radar” di HP saya. Mungkin saya akan melakukan dowsing  untuk menemukan Mbak Ikha, yang notabene merupakan reinkarnasi dari kapal selam tersohor NAZI U-Boat yang tenggelam di sungai Churchill, 100 kilometer dari Laut Atlantik pada saat Perang Dunia II itu.

           Merujuk pada foto profil yang ada di akun facebook Mbak Ikha, maka menemukan dia tentulah pekerjaan yang lebih mudah dari metik’i bayem. Ukurannya yang XL, atau jika meminjam bahasa ayam goreng adalah Super Jumbo,  membuat dia langsung terlihat oleh kedua mata saya yang sipit dan penuh kharisma seperti mata Jay Chow ini. Herannya, meski kami baru pertama kali itu bertemu, dia tidak segan-segan me-ngampleng dan njiwiti saya (saya ini memang unyu dan ngegemesin, tapi ndak perlu menggitukan saya di depan umum juga kalee, secara saya ketika itu ‘kan memakai hem batik, biar ndak terlihat unyu-unyu banget dan lebih gampang menyamakan frekuensi pada saat ‘kopi darat’ nantinya).

            Akhirnya, sembari menunggu Mbak Dewi sampai di Semarang, kami berdua pergi ke lantai dua gramedia untuk membaca apa saja yang kira-kira bisa membunuh kejenuhan, saya titipkan jaket dan tas ke tempat penitipan barang, namun sungguh sayang, karena Mbak Ikha Ismawati tidak bisa dititipkan bersama tas dan jaket saya itu sekalian.

Setelah sekitar 15 menit kemudian..

            HP saya berdering ketika saya baru sampai membuka halaman 17 buku “Cara Mudah Menjadi Kaya Raya dengan Ngepet” (ini jelas fiktif!). Mbak Dewi ternyata yang telefon, beliau bilang bahwa dirinya sudah sampai di Semarang, saya langsung melakukan sujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa lantaran akhirnya bisa selamat juga dari belenggu takdir yang sungguh menyiksa, sebab waktu 15 menit bersama Mbak Ikha terasa bagai 15 abad lamanya.

             Kami kemudian saling mencari, saling menghubungi, dan saling silang. Serba saling inilah yang pada akhirnya tanpa saya sadari membuat hati saya benar-benar tersentuh. Dari sebrang entah, suara-suara yang menghubungi saya adalah bukan suara yang sama, suara orang-orang yang sama sekali tidak pernah saya jumpai, namun terdengar begitu familiar. Suara-suara yang membikin degup jantung saya menjadi absurd. Suara-suara yang membuat saya mendadak merasakan Deja Vu. Tuhan memang paling ahli membuat cerita. Sungguh. Saya sering tidak menyadari, bahwa hidup ini ternyata tak lebih dari sebuah kotak berisi kumpulan kejutan-kejutan.




Usai perjumpaan..

           Saya tidak lupa saat itu, mobil kami harus berputar-putar dulu untuk mencari Pak Lik Anung, yang konon kegantengannya melebihi saya itu, hingga akhirnya kami bisa menemukan beliau. Sebelumnya saya sempat berfikir, bahwa Pak Lik membawa mobil yang lain lagi untuk menuju ke rumah Nyai Mberok nantinya, mengingat bahwa mobil yang kami tumpangi ketika itu sudah penuh sesak. Tapi ternyata tidak.

          Jika pada hari itu ada salah satu orang yang harus turun dari mobil yang sudah overload tersebut agar bisa berjalan ke rumah Nyai Mberok, maka orang itu tentulah saya, sebab saya ternyata adalah “pasien” terakhir yang masuk mobil tersebut. Pak Lik Anung—jika saya boleh menebak-nebak—ternyata turun dari mobil untuk mencari saya dan Mbak Ikha. Saya sempat dengan tahu diri berfikir untuk turun dari mobil dan memanggil taksi saja ketika Lik Anung mulai membuka pintu mobil. Tapi tidak jadi, karena mobil yang kami tumpangi ternyata masih bisa menampung seorang “pasien” lagi dengan syarat seluruh pasien harus rela “bertekuk badan”. Berapa jumlah orang yang ada dalam mobil itu saya lupa, saya hanya ingat bahwa seluruh yang ada di sana berada pada “frekuensi” yang sama kecuali saya, sebab memang sudah merupakan ciri khas saya untuk menjaga image ketika berjumpa dengan seseorang yang pertama kali saya temui. Jadi mohon dimaklumi, inilah alasannya.

        Dan inilah, jika ada istilah Kios Pulsa Keliling, Internet Keliling, dan Perpustakaan Keliling oleh sebab aktifitas ketiganya dilakukan dengan bermobil, maka saya menamakan mobil yang kami tumpangi itu dengan “Rumah Sakit Jiwa Keliling”, sebab disadari atau tidak, orang-orang yang ada di dalam mobil tersebut adalah orang-orang yang menurut saya “Koplak” semua (maaf sebelumnya :D )

Di Padepokan Suplak.

            Bahkan hingga sampai di perum tlogosari itu, saya sebenarnya masih tidak tahu siapa sebenarnya sosok yang dipanggil dengan sebutan Nyai Mberok. Jujur, saya memang sangat jarang pulang ke Baltyra karena kegemaran saya yang suka klayapan kesana kemari. Jadi siapa yang punya julukan siapa, benar-benar sesuatu yang saya tidak mengerti.

            Salah satu hal di dunia ini yang kesulitannya setara dengan pelajaran matematika—bagi saya—adalah menghapal nama-nama orang yang baru saya temui. Sungguh, hal tersebut merupakan pelajaran yang saya tidak pernah bisa tamatkan selama ini. Namun orang-orang di Baltyra sungguh unik-unik dan ajaib. Beliau-beliau ini adalah orang-orang yang pertama kalinya dalam sepanjang sejarah hidup saya yang akhirnya bisa membuat sulitnya pelajaran menghapal nama-nama orang baru dalam kamus saya, memiliki pengecualian—ternyata saya bisa dengan mudah menghapal nama orang yang baru saya temui dengan syarat orang tersebut adalah orang ajaib (sepertinya istilah ini lebih halus daripada menyebut beliau-beliau ini orang-orang aneh).

            Begitu turun dari mobil, saya baru sempat bersalaman dengan beliau satu per satu, Lik Anung, Mbak Dewi, Kang Juawandi, Mbak Tia, Bu Probo, Mbak Sekar, Mbak Wesiati, dan kemudian  Mastok, juga Mas Bambang, kemudian inilah sosok tuan rumah yang konon kesaktiannya tidak ada tandingannya : Nyai Mberok yang ternyata adalah Mbak Meita. Lantas menyusul Pak Jonathan yang gagah perkasa bersama anaknya yang imut dan lemah lembut seperti Cinderella.

            Tulisan “PADEPOKAN SUPLAK” yang merupakan akronim dari Padepokan Sudrun dan Koplak yang ditempel begitu saja di depan pintu rumah Mbak Meita semakin membuat saya yakin bahwa kekoplakan yang cetar membahana badai di dalam mobil di sepanjang perjalanan tadi adalah bukan sesuatu yang diada-ada. Dan bukannya takut ketularan koplak, saya justru merasa gembira, berada di antara beliau-beliau ini sungguh sesuatu sekali bagi saya. Sungguh suatu anugerah yang menurut saya teramat luar biasa. Jika diuumpamakan, kegembiraan dalam hati saya ketika itu begitu setara dengan kegembiraan seorang kakek ketika mendapat cucu pertama.

            Menjelma Tyrano Saurus Rex, saya dengan nggragas menyantap seluruh hidangan yang disediakan Mbak Meita sekeluarga, dilanjut dengan keliling Lawang Sewu dan berakhir dengan ngopi-ngopi di Bukit Gombel. Gelapnya malam, dinginnya hujan yang seolah dijatuhkan Tuhan dengan sengaja hari itu, membuat saya menyadari bahwa kehangatan hati beliau-beliau ini sungguhlah nyata.

Saya jadi belajar satu hal dari pertemuan kami hari itu. Di antara banyaknya hal di dunia ini yang bisa memberikan kehangatan kepada manusia; matahari, kompor, knalpot, rice cooker, setrika areng, dan sebagainya, yang paling bisa memberikan kehangatan yang abadi ternyata adalah yang justru paling dekat dengan kita, yaitu hati. Karena jujur, kehangatan dari pertemuan kami hari itu, dalam hati saya hingga saat ini masih terasa. Untuk itulah, atas hal ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya.



Hari yang mendung, ditemani secangkir teh dan alunan gitar As The Deer dari Jeem Greeninger
Magelang, 09 Maret 2013