Tiba-tiba saja dia menelpon ketika bulan puasa hampir habis, setelah berbulan-bulan tidak kirim kabar. “Gue mau pulang ke Jawa lebaran ini. Posisi di mana sekarang?” katanya lewat telepon malam itu. Herman. Sialan satu itu masih hidup, ternyata. Kawan karib waktu masih jaman kuliah dulu
“Magelang.”
“Mau bekpekeran ke tempat gue ga, Nyuk (baca:kunyuk)?
“Oke. Kangen juga keliling Wonosari. Kapan emang lo turun dari Bekasi, Ndut (baca:gendut)?”
“Lebaran H-3, keknya.”
“Bagus. Tunggu kabar dari gue. Nungggu THR turun dulu. He he..”
“Oke, ntar kabarin gue ya, kalo jadi.”
“Iye, ga janji ya, tapi.”
Dua hari kemudian akhirnya muncul juga hari yang ditunggu itu. Dia menghubungi saya lagi, dan saya langung deal ketemuan dengannya begitu dia kembali menawarkan paket perjalanan super murah.
“Keliling Wonosari pake motor gue, tidur di tempat granny gue, biaya suka rela, gratis juga ga papa, yang penting bensin lo yang ngisi.”
“Et, yang begini mananya yang disebut gratis, Ndut. But okelah, mumpung gue lagi tajir.”
Kami akhirnya ketemuan di Malioboro, hari sudah sore banget ketika itu, meski saya berangkatnya siang. Efek dari budaya mudik, jalanan jadi macet. Saya ke Jogja naik bus ketika itu, jadi sampai di sana agak lamaan karena faktor tadi.
Seperti biasa, bukan saya namanya kalo tidak dadakan membikin plan perjalanan. Sebab bagi saya, petualangan itu adalah bukan tujuan, tapi perjalanan. Cerita-cerita pencapaiannyalah yang saya lebih cintai dari perjalanan saya selama ini, ketimbang ketika saya sudah sampai tujuan.
“Well, Ndut. First destination. Sebab hari udah sore banget, kita langsung ke Bukit Bintang saja nikmatin senja. Liat kota Jogja dari atas ketika lampu-lampu rumah yang ada di sana satu-per satu menyala keknya asyik nih, apalagi sembari ngopi dan jajan jagung bakar.”
“Ide brilliant, nyuk. Okelah kita langsung ke sana.”
“Tau jalannya? Kita barangkali bisa ngebut supaya bisa sampe sana senja tet! (‘tet’ adalah bunyi suara bell, ia masuk dalam kamus kami sebagai sinonim dari ‘pas’ atau ‘tepat’. Dan kami lebih suka memakai kata ini ketimbang dua yang baku tadi.)
“Wah, lupa….”
“As always. Bukan kamu namanya kalo ga gitu. Baiklah kita jalan saja dulu. Ini akan menjadi perjalanan yang membuat mulut kita akan lebih sering bertanya. (-3-)”
“Woyo! (^3^)”
Tapi, eh, ini tidak bisa disebut dugaan yang terjadi, tapi prediksi tepat yang memang tiba waktunya terjadi : kami kesasar!
Serendipity, begitulah banyak orang sering, menyebutnya. Karena kesasar itu kami bisa sampai di Tamansari akhirnya—Reruntuhan kuno yang ada di Jogja dan tersohor namanya itu. Melihat reruntuhan yang menjulang tersebut, plan kami pun seketika langsung kami ubah.
“Masuk, Ndut. Belum tentu besok-besok kita bisa nyasar sampe sini lagi. Gue juga dah lama ngelirik tempat ini.”
“Okelah, cari tempat parkir kita.”
Kemudian kami pun masuk area wisata yang ternyata ga dipungut biaya. Hunting foto di reruntuhan bekas istana bagi saya rasa senang yang didapat setara dengan ketika karaoke di sebuah ruangan dan ditemani oleh tujuh wanita yang intensitas kecantikannya setara dengan Kimberly Ryder dan Marchela Zalianti. Nah, inilah anehnya saya; bisa mendapatkan kebahagiaan besar dari hal yang disebut orang sederhana.
Usai di sana, kami lantas menuju masjid bawah tanah. Sayang ketika itu tepat waktunya tutup. Semua pengunjung pun juga sudah pada digiring keluar oleh sang juru kunci. Tapi, kawan. Bukan perjalanan saya namanya jika tidak punya kisah ajaib di dalamnya. Seorang perempuan setengah baya yang manis mendadak lari ke arah kami ketika kami sempat putus asa. Ia memperkenalkan diri sebagai Mbak Ning. Tepat ketika juru kunci memutar gembok gerbang masjid bawah tanah itu satu kali.
“Mau masuk, Mas?”
“Iya, Mbak. Mau ngambil gambar saja sih.”
“Masnya dari mana?”
“Semarang, Mbakyu.”
“Bisa diijinkan masuk, Pak?” kata Mbak Ning kepada juru kunci.
“Emh, boleh, boleh. Tapi jangan lebih dari sepuluh menit, ya?” jawab bapak itu.
“IYA, JANJI. (^o^)” Kata kami serentak dengan memasang wajah innocence.
Mbak Ning kemudian jadi guide kami. Mengantar kami kelilingWater Castle dan galeri-galeri seni yang ada di sana hingga menjelang senja.
Kami lanjutkan perjalanan hingga Bukit Bintang ketika hari sudah petang. Ngopi-ngopi di sana, makan jagung bakar, dan udud plempas-plempus, tentu saja.
Menjelang pukul Sembilan, kami pulang ke rumah Mbahnya Herman. Di sebuah desa yang gelap, tapi sungguh tenang, di pelosok Gunung Kidul. Di tempat seperti itu, saya jelas tidak bisa tidur lebih cepat. Kami berdua akhirnya ngobrol di atas tandon air tentang masa depan. Langit sungguh gulita, desa hanya punya sedikit cahaya, itulah kenapa di malam bulan Agustus itu, bintang jadi tampak demikian terang. Beberapa ekor kunang-kunang sesekali melintas di antara kami. Cara ngobrol kami tetap seakrab dulu. Itulah yang pada akhirnya membuat kami mengerti, bahwa orang lain bisa gampang berubah tentang pikiran mereka kepada kita, tapi kawan karib akan memberi nilai yang selalu sama.
“Ndut.”
“Apa?”
“Lihat bintang di langit itu.”
“Banyak banget, ya.”
“Bukan itu.”
“Apa memangnya?”
“Mereka terlihat tampak lebih terang jika dilihat dari tempat yang sangat gelap seperti ini.”
-Bersambung-