Jumat, 18 Februari 2011

Cerpen : Kisah Ponirah dan Pizza Impiannya


Begitu melihat iklan pizza di tv tetangganya, Ponirah, gadis berumur sebelas tahun itu tergiur dan langsung menempatkan "makan pizza" ke dalam daftar mimpi di buku hariannya. Tak ayal setiap hari ia mengumpulkan uang dari hasil mengupas bawang—kerja sambilan yang selalu ia lakukan usai pulang sekolah demi mewujudkan mimpinya itu. Maklum, bapaknya sudah tak ada dan ia hanya tinggal bersama ibu yang bekerja di sebuah perkebunan apel dengan gaji tak seberapa beserta tujuh orang adiknya yang masih kecil-kecil. Oleh sebab itu, untuk uang saku, Ponirah sering mencarinya sendiri dari kerja sambilannya mengupas bawang atau mencuci baju di tetangganya.

       Ia begitu sabar mengumpulkan uang lembar demi lembar di celengannya tiap hari dan tak pernah alpa menghitung-hitung harga Pizza dengan biaya transportasinya sekalian, karena Pizza hanya bisa dibeli di kota.

       Di ketika ia merasa bahwa uang yang ada di celengannya sudah cukup untuk membeli mimpi makan Pizzanya, ia memecah celengan ayamnya dan langsung pergi ke kota untuk mewujudkan mimpinya itu
.
       Setelah menempuh berjam-jam perjalanan ke kota, sampailah dia pada sebuah restoran Pizza di mall yang alamatnya ia tahu dari bertanya pada tetangganya. Ponirah tersenyum, ia melangkah masuk dengan pakaiannya yang sudah ketinggalan trend kota. Ia hanya memakai daster kembang-kembang dan sandal jepit swallow berwarna hijau yang selipannya bermotif retak-retak, bukan karena bawaan dari pabrik, tapi karena terlalu sering terkena panas dan hujan. Ia pikir itulah kostumnya yang paling indah. Waiters restoran Pizza sontak melihatnya dengan dingin saat melihat gadis kecil itu masuk restoran, tak pernah ada orang dengan gaya seudik Ponirah masuk ke sana. Apa yang mau dia lakukan di sini, mengemis? Batinnya.

       Walau setelah masuk ke restoran Pizza itu dan melihat orang-orang yang makan Pizza di dalam membuatnya sadar kalau pakaiannya sudah tidak sesuai jaman, Ponirah tetap tak ambil pusing dengan gayanya. Tanpa basa-basi gadis desa itu bertanya kepada seorang petugas kasir.

       “Mbak, berapa harga Pizza yang itu?”
       “Tiga puluh tiga rrribu.” Petugas itu menjawabnya dengan dingin. Ia pikir gadis itu hanya sekedar bertanya untuk kemudian pergi lagi.
       Ponirah tersenyum. Barangkali karena sebentar lagi mimpi kecilnya untuk makan Pizza akan terwujud.
       “Saya mau beli satu, mbak. Dibungkus saja.”
       “Yang itu?”
       “Ya.”
       Setelah menunggu beberapa saat, pesanan Ponirahpun datang, ia mulai menghitung uangnya yang bergambar kapiten patimura semua sebanyak 33 lembar. Petugas kasir memandangnya dengan sinis, baru kali ini ia dapat costumer yang membayar dengan uang seribuan semua.
       “Ini, mbak. Uangnya.”
       "Terimakasih." Petugas kasir itu tersenyum kecil—senyum yang jelas sekali dipaksakan.

       Pizza sudah di tangan Ponirah, namun gadis itu tak lekas pergi. Ia masih berdiri di dalam sana mengobok-ngobok tasnya yang kumal. Mencari ruang untuk menempatkan Pizzanya? Rasanya tidak. Tak heran petugas kasir itu semakin menatapnya dingin, berharap gadis itu segera berlalu dari hadapannya karena penampilannya yang notabene sangat merusak pemandangan mata orang-orang kota.
       Setelah beberapa saat, Ponirah mengeluarkan sebuah bungkusan plastik dari tas kumalnya itu.

       “Ini, mbak. Untuk mbak dan teman-teman.” Ponirah tersenyum sambil memberikan bungkusan itu kepada petugas kasir. “Ini sekilo apel, oleh-oleh dari kampung.”

       Ponirah berlalu dari tempat itu, ia tampak riang sekali berjalan membawa sekardus mimpi yang berhasil ia beli, mimpi yang sebentar lagi ia bagi-bagi dengan ibu dan tujuh orang adiknya. Sementara petugas kasir berdiri terpaku dengan sebungkus apel di tangannya dan menatap Ponirah yang berjalan polos dengan sangat haru. Beberapa saat ia menunduk. Barangkali, ia menyesal atas perlakuan yang ia berikan terhadap Ponirah tadi. Barangkali juga, ia malu karena dirinya tak tumbuh sebagai pribadi yang baik sebaik gadis yang terus ia perhatikan sampai hilang itu. Semoga.

Feb, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar