Dari rombongannya di belakang, bapak itu datang dan duduk tiba-tiba ke bangku kosong yang tepat berada di depan saya. Butuh waktu sekitar lima detik bagi saya untuk bisa memperhatikan penampilan bapak itu dari ujung kepala hingga ujung kaki sebelum akhirnya beliau menyapa saya dengan senyum dan kata-kata yang ramah.
Kumal, dengan handuk kecil yang diserampangkan begitu saja di pundaknya, celana bahan yang congkrang, juga sandal jepit karet yang beliau kenakan, membuat saya berasumsi kalau bapak ini adalah tukang becak miskin yang sebelum berangkat naik kereta ini telah terlebih dahulu mendapat kabar dari kampung halaman, kabar mengejutkan yang membuat ia harus bisa sampai ke sana di pukul sekian tanpa boleh melakukan sedikitpun persiapan. Begitulah. Wajah yang hitam dan berminyak beliau itu juga sekaligus melegitimasi apa yang tergambar di benak saya ketika itu. Namun ternyata tidak seperti itu kenyataannya..
Saya mengenal beliau baru setelah setengah perjalanan, karena memang di ketika itulah beliau pindah dari bangku sesuai tiket kereta miliknya di belakang ke bangku kosong di depan saya.
"Sumpek," Begitulah katanya, menanggapi anak-anaknya yang seluruhnya adalah perempuan.
"Kenapa sumpek, Pak?" Tanya saya.
"Nggak bisa ngrokok."
Sebagai seorang laki-laki, saya tentu paham dengan apa yang dari tadi beliau rasakan. Karena memang, dunia dari laki-laki semacam beliau ini haruslah kombinasi dari kopi, rokok, dan teman untuk bisa nyambung diajak bicara. Tidak ada salah satunya, maka fatal akibatnya; bisa jadi sesak napas atau kebosanan tingkat tinggi.
Pak Parmin, nama beliau. Mengaku berasal dari kota Solo. Liburan sekolah anak-anaknya membuat beliau berinisiatif untuk mempertemukan ketiga anaknya tersebut dengan neneknya setelah sekian tahun mereka tidak pernah berjumpa lantaran jarak. Tadinya saya sempat berfikir kalau beliau ini memang benar-benar jenis manusia yang dianugrahi kesusahan, sehingga untuk bisa mempertemukan anak-anaknya dari Jakarta ke Solo saja harus memakai hitungan tahun untuk mencapai hari H. Namun saya menjadi malu sendiri setelah mendengar cerita kalau ternyata sebelum naik kereta ini, beliau telah terlebih dahulu naik pesawat dari Irian Jaya. Dan turun ke Jakarta, beliau hanya ingin menjenguk saudara-saudaranya. Dengan apa yang dikenakannya, siapapun tak akan bisa percaya pada apa yang Pak Parmin ini lakukan. Namun anda akan berpikir berbeda setelah berbincang dengannya sambil minum kopi di sepanjang perjalanan seraya mendengar suara ribut anak-anaknya yang berada tepat di bangku belakang.
Berbagai cerita tentang tanah Papua dan muasal petani coklat ini ikut program transmigrasi pemerintah dari berpuluh-puluh tahun lalu yang saya dengar dari beliau, ternyata mampu memberi banyak motivasi bagi saya untuk tak lagi mau kalah dalam hidup. Saya jadi tak perlu kurang kerjaan mengali-ngalikan angka ongkos naik pesawat sekaligus biaya makan bagi beliau dan tiga anaknya dari Papua hingga ke Solo nanti. Dari cara beliau bertutur, saya dituntut untuk mengerti kalau angka itu tak akan pernah lebih berharga untuk diceritakan dari pada pertemuan antara nenek dengan cucu-cucunya.
Dari beliau pula, saya belajar satu hal yang sangat berharga. Ternyata, dalam hidup, kita tak membutuhkan suara tepuk tangan sebagai pujian atas sebuah penampilan, demikian pula dengan sebuah isi. Sebab hidup berjalan tak untuk ajang bangga diri, melainkan sekedar untuk ibadah dan "menghidupi".
Memang, dengan kesederhanaan seperti demikianlah hidup itu seharusnya dijalani.
Semarang, April 2011
Kumal, dengan handuk kecil yang diserampangkan begitu saja di pundaknya, celana bahan yang congkrang, juga sandal jepit karet yang beliau kenakan, membuat saya berasumsi kalau bapak ini adalah tukang becak miskin yang sebelum berangkat naik kereta ini telah terlebih dahulu mendapat kabar dari kampung halaman, kabar mengejutkan yang membuat ia harus bisa sampai ke sana di pukul sekian tanpa boleh melakukan sedikitpun persiapan. Begitulah. Wajah yang hitam dan berminyak beliau itu juga sekaligus melegitimasi apa yang tergambar di benak saya ketika itu. Namun ternyata tidak seperti itu kenyataannya..
Saya mengenal beliau baru setelah setengah perjalanan, karena memang di ketika itulah beliau pindah dari bangku sesuai tiket kereta miliknya di belakang ke bangku kosong di depan saya.
"Sumpek," Begitulah katanya, menanggapi anak-anaknya yang seluruhnya adalah perempuan.
"Kenapa sumpek, Pak?" Tanya saya.
"Nggak bisa ngrokok."
Sebagai seorang laki-laki, saya tentu paham dengan apa yang dari tadi beliau rasakan. Karena memang, dunia dari laki-laki semacam beliau ini haruslah kombinasi dari kopi, rokok, dan teman untuk bisa nyambung diajak bicara. Tidak ada salah satunya, maka fatal akibatnya; bisa jadi sesak napas atau kebosanan tingkat tinggi.
Pak Parmin, nama beliau. Mengaku berasal dari kota Solo. Liburan sekolah anak-anaknya membuat beliau berinisiatif untuk mempertemukan ketiga anaknya tersebut dengan neneknya setelah sekian tahun mereka tidak pernah berjumpa lantaran jarak. Tadinya saya sempat berfikir kalau beliau ini memang benar-benar jenis manusia yang dianugrahi kesusahan, sehingga untuk bisa mempertemukan anak-anaknya dari Jakarta ke Solo saja harus memakai hitungan tahun untuk mencapai hari H. Namun saya menjadi malu sendiri setelah mendengar cerita kalau ternyata sebelum naik kereta ini, beliau telah terlebih dahulu naik pesawat dari Irian Jaya. Dan turun ke Jakarta, beliau hanya ingin menjenguk saudara-saudaranya. Dengan apa yang dikenakannya, siapapun tak akan bisa percaya pada apa yang Pak Parmin ini lakukan. Namun anda akan berpikir berbeda setelah berbincang dengannya sambil minum kopi di sepanjang perjalanan seraya mendengar suara ribut anak-anaknya yang berada tepat di bangku belakang.
Berbagai cerita tentang tanah Papua dan muasal petani coklat ini ikut program transmigrasi pemerintah dari berpuluh-puluh tahun lalu yang saya dengar dari beliau, ternyata mampu memberi banyak motivasi bagi saya untuk tak lagi mau kalah dalam hidup. Saya jadi tak perlu kurang kerjaan mengali-ngalikan angka ongkos naik pesawat sekaligus biaya makan bagi beliau dan tiga anaknya dari Papua hingga ke Solo nanti. Dari cara beliau bertutur, saya dituntut untuk mengerti kalau angka itu tak akan pernah lebih berharga untuk diceritakan dari pada pertemuan antara nenek dengan cucu-cucunya.
Dari beliau pula, saya belajar satu hal yang sangat berharga. Ternyata, dalam hidup, kita tak membutuhkan suara tepuk tangan sebagai pujian atas sebuah penampilan, demikian pula dengan sebuah isi. Sebab hidup berjalan tak untuk ajang bangga diri, melainkan sekedar untuk ibadah dan "menghidupi".
Memang, dengan kesederhanaan seperti demikianlah hidup itu seharusnya dijalani.
Semarang, April 2011
kesederhanaan bisa mengajak kita untuk lebih "down to earth" ... sekedar berbagi mas awan ... kalo saya sedang punya masalah, saya suka berjalan sendiri (bener beneran jalan maksudnya) ... menyusuri jalan, hanya sekedar untuk memandang lingkungan, melihat lihat orang orang ... memandang ke bawah dan ke atas ... memikirkan perbedaan, melihat kesulitan orang lain ... (^_^) ... hehe, jadi panjang lebar ... yahh pokoknya nice story deh
BalasHapusmakasih Senja. maap jarang update blog akhir2 ini ^^
BalasHapus