Rabu, 07 Desember 2011

Menjelajah Sisi Hijau Gunung Kidul

Teks dan Foto : jenararibowo@ymail.com

Gunung Kidul ternyata tidak setandus seperti yang dibicarakan kebanyakan orang. Tempat ini memiliki sisi hijau yang bergelimangan air dan juga memiliki potensi wisata gua yang tak kalah indah dengan wisata pantai-pantainya. Objek wisata Gua Pindul adalah salah satunya.



Setelah menempuh perjalanan ke arah utara sekitar 7 kilometer dari kota Wonosari, akhirnya sampai juga saya bersama seorang teman saya, Herman Santoso, di Dusun Gelaran I, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul. Tujuan kami berdua datang kemari tentulah untuk merasakan sensasi cave tubing di objek wisata Gua Pindul yang baru satu tahun didirikan itu.

Kami langsung disambut dengan hangat oleh ketua karang taruna yang mengelola objek wisata tersebut dan dibawa ke balai penerimaan tamu begitu tiba di sana. Sembari menikmati segelas wedang jahe yang disediakan untuk kami, kami diajak berbincang-bincang sejenak terlebih dahulu, dan disuguhi foto-foto tentang area yang akan kami telusuri tersebut sebelum melakukan penjelajahan. Setelah penyambutan tamu yang berlangsung hangat dan familiar itu, kami berdua lantas diberi masing-masing sebuah pelampung, sepasang sepatu dan juga sebuah ban karet sebagai fasilitas yang diberikan untuk keamanan dari paket wisata Gua Pindul.


Semua peralatan tersebut memang sangat dibutuhkan dalam melakukan penjelajahan lantaran kondisi lantai gua pindul yang tidak seperti gua-gua kebanyakan. Ia memiliki lantai gua berupa sungai bawah tanah dengan panjang sekitar 300-400 meter dan kedalaman sekitar 2-5 meter dari pintu masuk hingga pintu keluar gua. Maka dari itulah, wisata caving gua pindul yang menggunakan ban karet sebagai sarana penjelajahan ini sering juga disebut dengan wisata cavetubing.

Dengan didampingi guide, kami berdua mulai melakukan penelusuran gua siang itu. Biasanya, seorang guide diberikan hanya untuk rombongan yang berisi 5-10 orang, namun karena kedatangan kami berdua ke sana adalah juga untuk tujuan peliputan, maka kami pun mendapat paket spesial dengan didampingi oleh masing-masing seorang guide untuk kami. Hmm, baik ya :)


It's time to 'Ngowoh' 
                                                                                                                                             
Belum memasuki mulut gua, kami berdua sudah dibuat takjub dengan apa yang kami lihat di sana. Banyak ikan lele dan nila berenang dengan tenang di depan pintu masuk gua itu. Saat saya bertanya apakah ikan-ikan itu sengaja dipelihara, guide yang memandu saya menjelaskan kepada saya bahwa ikan-ikan itu adalah ikan-ikan liar yang sudah lama menghuni tempat itu. Maka, saya pun hanya bisa ngowoh mendengarnya. Apalagi saat mulai memasuki mulut gua, saya kembali dibuat ngowoh dengan keindahan stalagmit dan stalaktit yang terukir alami di dinding dan langit-langit gua.

Dengan diterangi hanya oleh cahaya dari lampu senter yang ada di atas helm yang kami gunakan, guide kami menjelaskan kepada kami tentang letak-letak ornament unik yang kami temui di sepanjang pengarungan itu; dari batu kristal yang konon terbentuk dari tetesan air yang berasal dari akar pohon yang tumbuh tepat di atas gua, batu gong yang ketika dipukul mengeluarkan bunyi gema, sarang walet, hingga beberapa titik di langit-langit gua yang dijadikan sebagai markas oleh sekumpulan kelelawar.


Beberapa meter sebelum sampai ke pintu keluar gua, kami lagi-lagi kembali dibuat takjub oleh pemandangan semacam kolam raksasa yang kaya akan cahaya karena langit-langit gua yang berlubang. Kami semua berhenti sejenak di sana untuk bermain air dan mota-moto, atau yang sering diistilahkan oleh kebanyakan orang dengan istilah 'ritual narsis'.


Merasa puas dengan apa yang telah kami lakukan di dalam sana, kami berdua pun kembali melanjutkan perjalanan keluar gua dan mengangkat ban karet kami untuk mencoba paket wisata yang ditawarkan kepada kami setelahnya, yaitu melakukan tubing menyusuri eksotisme sungai Oya (dalam bahasa jawa dibaca : Oyo).
  
Nggak perlu 'ngoyo' di sungai Oyo

Pemandangan yang terlihat di pintu keluar Gua Pindul ternyata lebih luar biasa indah dibanding pintu masuknya. Di sana terdapat sebuah dam atau bendungan bernama Banyu Moto yang konon telah dibangun sejak era kolonial Belanda. Saya terkesan bukan hanya oleh bendungan tersebut, namun juga oleh anak-anak kecil yang tengah riang bermain air di sana.

Menyusuri pematang-pematang sawah meninggalkan dam tersebut, saya lagi-lagi disapa oleh pemandangan yang tak kalah menarik; beberapa anak kecil yang tengah mandi di kali, samudra padi yang membentang hijau, juga langit yang sebiru bebatuan safir. Anggapan masyarakat tentang Gunung Kidul adalah tanah yang kering dan tandus seolah terdengar seperti sebuah kebohongan belaka ketika saya menjejakkan kaki saya di sana ketika itu juga.

Wangi minyak kayu putih yang berasal dari hutan kayu putih yang terdapat tidak begitu jauh dari sana menyambut kami saat mengawali perjalanan mengarungi sungai Oya. Tak ada kata bosan ketika memandang apa yang terlihat di sepanjang pengarungan itu. Dinding-dinding sungai Oya terlihat seperti sebuah karya seni yang abstrak, membentuk ukiran-ukiran yang bisa diterjemahkan ke dalam berbagai hal sesuai dengan imajinasi penikmatnya. Air juga seringkali terlihat menetes dari beberapa titik di dinding sungai, sepanjang pengarungan itu.

Tubing di sungai Oya tidak seekstrim seperti yang saya bayangkan sebelumnya, ternyata. Air di sungai Oya ini mengalir begitu tenang. Didorong pelan-pelan oleh guide kami sambil memandang keelokan pemandangan yang terhampar di depan mata melahirkan kesan bahwa wisata ini merupakan wisata paling santai dan 'nikmat' yang pernah saya lakukan.

Dan di antara semua hal yang bisa dilihat di sana, yang paling membuat saya kagum adalah sebuah air terjun yang saya temui di satu titik dalam pengarungan sungai Oya yang menempuh jarak sekitar kurang lebih 1,5 kilometer itu. Namun,  lantaran kunjungan saya ke sana ketika itu adalah pada saat musim kemarau, maka air terjun tersebut pun menjadi terlihat tidak utuh alias bercabang. Konon, jika musim hujan tiba, cabang-cabang air terjun tersebut menyatu, sehingga akan terlihat sebagai sebuah air terjun yang utuh dan lebar. Kendati demikian, di mata saya, yang bercabang itu pun juga tetap bisa dinikmati sebagai sebuah karya Tuhan yang luar biasa indah karena hamparan padi dan pohon kelapa yang melatarinya.

Perjalanan tubing  di sungai Oya diakhiri dengan dijemput oleh mobil pick-up di titik finish yang sudah ditentukan. Kami dibawa kembali ke tempat pertama kali kami disambut. Segelas wedang jahe yang hangat dan semangkuk bakso pun menjadi penutup perjalanan kami yang manis dan 'maregi' hari itu. Padahal kami juga dijanjikan akan dibawa menyusuri tujuh mata air, menyusuri gua yang dihuni oleh banyak landak, dan dipertemukan dengan pemilik Wayang Beber pada keesokan harinya. Namun, karena tiba-tiba ada keperluan yang membuat kami harus pulang ke Semarang pada hari itu juga, maka kami pun tidak jadi menerima niat baik itu. Sayang sekali, memang. []

WIRA WISATA GELARAN :

Hubungi :
HARIS (0859 59 6565 61)
Email : wira.eisata@hotmail.com
FB : facebook.com/wirawisata
Web : wirawisata.blog.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar