Teks dan Foto : jenararibowo@ymail.com
Rumput-rumput membasah. Air mengalir gemericik di parit-parit kecil. Sementara di kejauhan, beberapa petani tampak tengah berteriak-teriak sembari menggoyang-goyangkan benang kasur yang terhubung langsung dengan kaleng-kaleng rombeng untuk mengusir burung-burung emprit dari sawahnya yang hampir tiba waktu panen. Pagi itu, jauh di pelosok Mendut, Magelang. Tepatnya di sebuah desa yang bernama Saragan. Langkah kaki saya mengantarkan saya pada sebuah petualangan sederhana untuk menyaksikan semua yang mampu membuat perasaan saya menjadi tenang itu.
Tidak pernah terlintas dalam benak saya, sebelumnya, bahwa perjalanan menapaki pematang-pematang sawah pada pagi tersebut ternyata malah menyuguhi saya sesuatu yang mampu membuka mata sekaligus hati saya. Seorang remaja laki-laki saya lihat tengah berdiri di tepi sawah dengan sebuah tongkat bambu yang panjang di tangan kirinya pada petualangan saya kali ini. Setelah saya perhatikan, ia ternyata adalah seorang penggembala itik. Matanya tampak tak pernah lepas mengawasi itik-itiknya yang ‘merumput’ di sawah bekas panen. Melindungi mereka dari ancaman musang sawah, atau yang sering disebut orang-orang desa setempat dengan gangrangan. Saya mendekati lelaki itu untuk sebentar mengobrol tentang apa yang dilakukannya. Beruntung, ia ternyata memberi respon yang baik kepada saya akan hal itu.
Ia mengaku bernama Ibi, remaja yang kurang lebih memiliki selisih umur lima tahun dengan saya. Ibi adalah seorang lelaki yang lahir dan besar di desa Saragan itu. Ia menamatkan pendidikannya hanya sampai pada bangku sekolah dasar saja. Setahun yang lalu, ia baru saja pulang dari Jakarta setelah tiga tahun sebelumnya bekerja sebagai seorang cleaning service di sebuah perusahaan yang lumayan ternama. Ia kena PHK. Kini, Ibi memilih untuk menggembalakan itik lantaran susah mendapatkan kerja lagi dengan modal hanya ijazah SD-nya saja. Miris rasanya mendengar kisahnya. Tapi, bagi saya itu lebih baik daripada ia sama sekali tidak punya kegiatan untuk mengisi waktu luangnya.
Berbicara dengan Ibi membuka mata saya lebih lebar lagi, membuat saya mengerti bahwa di negri ini masih ada banyak orang yang ternyata tidak lebih beruntung dari pada saya. Sungguh sebuah kenyataan yang mampu menasehati saya untuk selalu mensyukuri segala yang saat ini saya miliki.
Tak terasa saya sudah menghabiskan berbatang-batang rokok saat mengobrol dengannya. Dari yang awalnya cuma berniat sebentar, ternyata malah menjadi begitu lama karena saking asyiknya. Seandainya pagi itu terik matahari tidak meningkahi kepala saya, saya barangkali akan tetap betah ngobrol dengan penduduk desa yang ramah sepertinya, hingga ia memutuskan untuk membawa pulang itik-itiknya.
Langit semakin biru. Di kejauhan, siluet pohon-pohon kelapa sudah semakin menunjukkan wajah aslinya. Di pematang-pematang itu, bunga ilalang juga terlihat tumbuh meninggi. Bergoyang-goyang mengiringi perjalanan embun yang mulai menguap dari pucuk kembang-kembang turi. Saya akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan Ibi ketika itu juga. Mengatakan padanya bahwa pertemuan ini begitu berarti bagi saya. Saya melangkah perlahan meninggalkannya. Merencah pematang, membawa warna baru untuk hidup saya.
Jauh di atas sana, di balik awan-awan putih yang menggumpal, di antara langit biru yang membentang, saya seolah melihat Tuhan tengah tersenyum manis. Mengulurkan tangan untuk menuntun saya pada sebuah perjalanan membuka hati selanjutnya. Sungguh beruntung, rasanya, saya lahir sebagai orang yang bisa menikmati kehidupan seperti ini. Begitu ‘kan? :)
.
Tidak pernah terlintas dalam benak saya, sebelumnya, bahwa perjalanan menapaki pematang-pematang sawah pada pagi tersebut ternyata malah menyuguhi saya sesuatu yang mampu membuka mata sekaligus hati saya. Seorang remaja laki-laki saya lihat tengah berdiri di tepi sawah dengan sebuah tongkat bambu yang panjang di tangan kirinya pada petualangan saya kali ini. Setelah saya perhatikan, ia ternyata adalah seorang penggembala itik. Matanya tampak tak pernah lepas mengawasi itik-itiknya yang ‘merumput’ di sawah bekas panen. Melindungi mereka dari ancaman musang sawah, atau yang sering disebut orang-orang desa setempat dengan gangrangan. Saya mendekati lelaki itu untuk sebentar mengobrol tentang apa yang dilakukannya. Beruntung, ia ternyata memberi respon yang baik kepada saya akan hal itu.
Ia mengaku bernama Ibi, remaja yang kurang lebih memiliki selisih umur lima tahun dengan saya. Ibi adalah seorang lelaki yang lahir dan besar di desa Saragan itu. Ia menamatkan pendidikannya hanya sampai pada bangku sekolah dasar saja. Setahun yang lalu, ia baru saja pulang dari Jakarta setelah tiga tahun sebelumnya bekerja sebagai seorang cleaning service di sebuah perusahaan yang lumayan ternama. Ia kena PHK. Kini, Ibi memilih untuk menggembalakan itik lantaran susah mendapatkan kerja lagi dengan modal hanya ijazah SD-nya saja. Miris rasanya mendengar kisahnya. Tapi, bagi saya itu lebih baik daripada ia sama sekali tidak punya kegiatan untuk mengisi waktu luangnya.
Berbicara dengan Ibi membuka mata saya lebih lebar lagi, membuat saya mengerti bahwa di negri ini masih ada banyak orang yang ternyata tidak lebih beruntung dari pada saya. Sungguh sebuah kenyataan yang mampu menasehati saya untuk selalu mensyukuri segala yang saat ini saya miliki.
Tak terasa saya sudah menghabiskan berbatang-batang rokok saat mengobrol dengannya. Dari yang awalnya cuma berniat sebentar, ternyata malah menjadi begitu lama karena saking asyiknya. Seandainya pagi itu terik matahari tidak meningkahi kepala saya, saya barangkali akan tetap betah ngobrol dengan penduduk desa yang ramah sepertinya, hingga ia memutuskan untuk membawa pulang itik-itiknya.
Langit semakin biru. Di kejauhan, siluet pohon-pohon kelapa sudah semakin menunjukkan wajah aslinya. Di pematang-pematang itu, bunga ilalang juga terlihat tumbuh meninggi. Bergoyang-goyang mengiringi perjalanan embun yang mulai menguap dari pucuk kembang-kembang turi. Saya akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan Ibi ketika itu juga. Mengatakan padanya bahwa pertemuan ini begitu berarti bagi saya. Saya melangkah perlahan meninggalkannya. Merencah pematang, membawa warna baru untuk hidup saya.
Jauh di atas sana, di balik awan-awan putih yang menggumpal, di antara langit biru yang membentang, saya seolah melihat Tuhan tengah tersenyum manis. Mengulurkan tangan untuk menuntun saya pada sebuah perjalanan membuka hati selanjutnya. Sungguh beruntung, rasanya, saya lahir sebagai orang yang bisa menikmati kehidupan seperti ini. Begitu ‘kan? :)
.