Minggu, 25 Maret 2012

Yang Memberi Dalam Kekurangannya


Beberapa hari lalu ada acara hajatan di rumah saya. Para Ibu berjibaku dengan segala macam aroma bumbu anu di dapur pada tengah malam dan—sayangnya tepat—pada  musim langka LPG. Saya terpaksa repot keliling mencari mini market 24 jam yang ada di kota untuk membeli gas. Sebab, seluruh penjual gas tabung di sekitar tempat saya tinggal tidak bisa memenuhi permintaan saya. Bukan karena ketika itu tengah malam dan toko sudah tutup, melainkan memang karena stok gas tabung telah kosong.
Saya beruntung. Sebuah mini market di dekat perumahan Tanah Mas masih ada yang buka dan menjual gas tabung yang saya cari di waktu yang kira-kira sudah lewat pukul 12 malam itu. Sudah membeli, saya pun lekas keluar toko.

Seorang nenek tiba-tiba mendekati saya dan menawarkan sabun sereh dagangannya—yang sama sekali tidak saya butuhkan—di sana. “Untuk perawatan kulit,” katanya. Tapi saya tetap berlalu saja karena saya benar memang tidak membutuhkan barang-barang seperti yang nenek itu tawarkan.

Di parkiran, sebelum memutar kunci kontak motor saya, saya menyuruh keponakan saya yang ketika itu ikut untuk memberikan selembar uang seribu rupiah sisa kembalian gas kepada nenek itu lantaran iba. Tapi usai memberikannya, keponakan saya malah kembali dengan dua sachet lotion anti nyamuk di tangannya.

“Dari mana lotion itu?” Tanya saya.
“Nenek tadi yang memberikannya.”
“Kubilang berikan saja uang itu, bukan kusuruh kamu membeli barangnya.”
“Tapi nenek itu memaksa saya agar mau menerima ini.”

Ya sudah. Niat saya beramal malah tidak jadi. Mau saya kembalikan lotion itu saya malah takut dikira menghina. Akhirnya saya pulang saja. Sampai di rumah lotion nyamuk itu ternyata malah sangat dibutuhkan ibu-ibu. Pada kekurangan, malah. Sayapun akhirnya terpaksa kembali ke depan mini market tadi untuk membeli lotion itu lagi.

“Dua sachet, nek.” Kata saya sembari menunjuk salah satu merek lotion anti nyamuk dan memberikan selembar uang seribu rupiah kepada nenek tadi.
“Dua ratus lagi, dek.” Kata sang nenek.
“Lhoh, berapa harga satuannya?”
“Enam ratus.”
“Oh, maaf.”

Mengingat yang terjadi sebelumnya, saya jadi mengerti bahwa tujuan saya yang ketika itu ingin menempatkan diri saya sebagai “tangan yang di atas” justru malah menjadi orang yang diberi. Harga dua sachet lotion itulah yang akhirnya memberi tahu saya. Tidak saya sangka, di negri yang banyak bajingan ini, masih ada juga orang yang tak segan memberi dalam kekurangannya.

Karena tidak punya receh, sayapun meminta uang saya dan kembali memberikan uang padanya dengan nominal lebih besar yang notabene memiliki sisa kembalian lebih. Dan belum sempat beliau mengembalikan uang sisa kembalian itu, saya sudah tiba-tiba hilang dari hadapannya. Alasannya, saya rasa anda tahu sendiri apa.

Semarang, maret ’12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar