Jumat, 15 Juni 2012

Dunia Tanpa Nama [chapter #5]




“Aku bahkan benar-benar ragu kalau kau ini sebenarnya adalah manusia sepertiku,“ kata Obin sambil membenamkan seluruh badannya hingga leher di air terjun Maholu, “Mana ada manusia yang bisa melompat tinggi, mematahkan sayap siluman, dan membuat jalanan retak tanpa melakukan apa-apa? Dan yang lebih membuatku heran, adalah kau tidak bisa mati meskipun jantungmu tertusuk anak panah. Cepat sembuh lagi lukanya.”
“Kau tahu, Obin?” tanya Maria, sembari memakan sedikit demi sedikit ikan yang ia tangkap dan bakar dengan sihirnya dari air terjun itu. “Suatu saat kau juga akan menjadi seperti diriku.”
“Itu mustahil.”
“Kata-katamu itu mirip dengan kata-kataku tiga ratus tahun yang lalu. Ketika Gaga membawaku kemari.”
“Siapa lagi Gaga itu?”
“Dia guruku. Orang yang selalu menunggu datangnya hari ini.”
“Hari ini?”
“Obrolan yang sepertinya menarik,” Kata seseorang yang berpenampilan seperti badut yang sudah tiba-tiba jongkok di atas batu di sebrang, hidungnya bulat berwarna merah, rambutnya keriting, ia memakai topi seperti topi angkatan laut Inggris. Dan terlihat sedang membuat makhluk-makhluk aneh dari tanah liat dengan kedua tangannya. “Bolehkah aku ikut?”
Suara gaduh air terjun membuat Obin tidak bisa dengan jelas mendengar kata-kata orang itu. Tapi ia jelas melihat raut wajah Maria yang ketakutan. Bukan lagi dingin atau semacamnya, wajah Maria benar-benar menggambarkan ketakutan. Ketakutan. Apa yang terjadi sebenarnya?

***

“Baiklah, sebelum kita sampai ke tujuan kita, alangkah lebih baiknya aku mengajarimu sedikit sihir dulu dari sini,” kata lelaki bertopeng itu.
“Apa menurutmu aku berbakat belajar sihir?”
“Apalah yang disebut bakat itu. Kemampuan yang dibawa dari sejak lahir?” lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya, “Bakat tidak bisa menentukan apakah orang yang memilikinya akan menjadi orang hebat atau tidak suatu hari kelak. Kau bisa menjadi hebat atau tidak hanya jika kau mau berusaha atau tidak mau berusaha.”
“Hm, boleh juga kata-katamu.”
“oke, sekarang kau pegang ini di tangan kananmu,” lelaki bertopeng itu memberikan sebuah apel ungu kepada Dhino.
“Apa yang harus aku lakukan dengan apel aneh ini?” Dhino meraihnya.
“Kau ikuti saja perintahku.”
Lelaki bertopeng itu menyentuh pelan kening Dhino, seolah membuka kunci atau entah agar kekuatan anak itu bisa keluar. “Sekarang kau konsentrasi pada apel itu.”
“Baik.”
“Ucapkan ‘Zakka’ setelah nama buah itu.”
“Apa namanya? Apel kah?”
“Di dunia ini orang menyebutnya Ko.”
“Jadi, aku harus mengucapkan ‘Ko Zakka’?”
KRAK!
Buah di tangan Dhino tiba-tiba menjadi retak setelah ia mengucapkan mantra itu. Lelaki bertopeng di depannya terkejut bukan main. “Mustahil, padahal kau sedang tidak serius.”
“Maksudmu tidak serius?”
“Ya, kau mengucapkan mantra itu dalam rangka bertanya kepadaku, dan tidak mengonsentrasikannya pada buah  Ko itu.”
“Memangnya, apa yang terjadi seharusnya?”
“Entahlah. Yang jelas aku menyebut hal ini sebagai keajaiban.”
“Aku tidak paham.”
“Guruku mengatakan padaku, bahwa orang sepertiku haya ada satu di antara seratus orang, ketika pertama kali aku berguru padanya dulu.”
“Hubungannya?”
“Tidak ada,” Ia menggaruk kembali kepalanya, “Aku hanya ingin bilang, orang sepertimu itu hanya ada satu di antara satu juta orang.”

***

“Beruntung sekali aku bisa bertemu denganmu di sini Maria,” Badut itu menjajarkan makhluk-makhluk tanah liat di depannya dengan rapi, “Kabarnya, kau baru saja membuat keributan di Pasar Areo, ya? Manusia itu memang gemar membuat masalah, ya.”
“Apa yang kau lakukan di sini, Jaglove?” Kata Maria, ia bangkit dari duduknya. Dan seperti biasanya ketika ia menghadapi ancaman, aura berwarna biru kini kembali menyelimuti dirinya. Obin hanya bisa bengong menyimak percakapan mereka.
“Obin, kau naiklah. Pakai bajumu. Pergi sejauh mungkin dari sini dan sembunyilah ke tempat yang menurutmu aman.” Maria bicara kepada Obin, “Aku tidak yakin bisa melindungimu dari pria ini.” Ia menengok ke badut keriting di sebrang sana.
“Ow, ow, ow. Maria. Kau lupa siapa aku, ya?” Badut itu mengeluarkan cahaya berwarna jingga dari tangannya. “Baiklah, akan kubiarkan kelincimu lari. Tapi sebagai gantinya, boleh ‘kan aku bermain-main denganmu?”
Mereka saling bertatap mata dengan dingin. Tapi ketakutan di wajah Maria jelas tidak bisa disembunyikan.
“Sepertinya lelaki itu berbahaya, “ Kata Obin setelah memakai pakaiannya, “Aku tidak mau jadi pengecut, Maria. Aku mau membantumu.”
“Kau jangan bodoh, Nak. Nyawamu itu terlalu berharga.”
“Tidak ada nyawa pengecut yang berharga.”
“Aku menyesal belum menceritakan semua apa yang sebenarnya kau alami ini padamu.”
“Sudahlah, kau boleh menceritakannya nanti. Sekarang kau bilang saja apa yang harus kulakukan terhadap pria ini. Jag jag siapa tadi namanya?”
“Jaglove. Dia penyihir yang cukup ditakuti di dunia ini. Dia adalah pemburu kepala. Aku saja ragu bisa mengalahkannya. Oleh sebab itulah aku menganggap keberadaanmu di sini hanya akan membawa masalah bagiku.”
“Tidak ada orang yang pernah meremehkanku seperti itu,” kata Obin, “Selamat, Maria. Kau orang yang pertama.”
ZAP!
Maria melempar tembakan berupa cahaya biru dari jari telunjuknya ke Obin. Tapi cahaya itu hanya menyerempet rambut manusia itu. “Harus kubilang berapa kali lagi agar kau bisa pergi dari sini? Apa perlu aku membuat salah satu bagian dari tubuhmu cacat dulu baru kau mau menuruti kata-kataku?!”
“Aku sungguh malu menyebut diriku sebagai seorang laki-laki jika aku menarik kembali kata-kataku. Sudahlah, Maria. Ini akan lebih baik jika kita mati bersama.” Obin menatap wajah badut berhidung merah yang kini sudah siap melakukan sesuatu dengan patung-patung tanah liat di depannya, “Itu juga jika orang itu bisa membunuh kita.”
“Kau memang keras kepala. Tukang bengong sepertimu, entah sejak kapan jadi pemberani begini?” Maria sedikit merasa kecewa, tapi juga bahagia mendengar pernyataan Obin. “Merepotkan.”

***

“Setiap benda atau makhluk di dunia ini punya nama, semakin sering orang menyebut nama mereka, maka akan semakin berpengaruh pula sihirmu pada mereka. Tentu saja jika kau tahu namanya, apalagi jika kau juga tahu wajah atau bentuknya.”
“Aku benar-benar tidak bisa memahami perkataanmu.”
“Sebenarnya pada dasarnya, semua benda atau makhluk di dunia ini tidak ada yang memiliki nama. Kau tahu bagaimana seekor induk binatang memanggil anak-anak atau kawanannya?” Lelaki bertopeng itu menggerakkan jari tengah dan telunjuknya ke atas dan ke bawah, “Mereka hanya menggunakan bahasa isyarat. Jadi…”
“Jadi, apa hubungannya nama berpengaruh pada intensitas sihir, dengan benda dan makhluk yang tidak bernama, dan binatang-binatang yang saling memanggil dengan bahasa isyarat?”
Lelaki bertopeng itu menerawang ke langit, “Apa bahasaku terlalu sulit dipahami, ya?” katanya. “Sebab kau memberikan pertanyaan dengan bahasa yang lebih sulit dari penjelasanku yang kau bilang sulit.”
“AAAAAAAAAAAAAAh?!” Dhino menggaruk-garuk kepalanya, “Kurasa kebiasaanmu menggaruk-garuk kepala itu disebabkan oleh kebiasaanmu mempersulit bahasa itu!”
Lelaki bertopeng itu tertawa, “Ha ha ha, baiklah, akan kusederhanakan lagi bahasaku.” Katanya,


***

PLOK!
PLOK!
PLOK!
“Yuuuhuuu, harap menghadap kemari saudara-saudara.” Kata Jaglove sambil bertepuk tangan, “Pertunjukan akan segera dimulai.” Di hadapannya sudah berdiri empat makhluk sihir berbentuk aneh. Kini mereka semua hidup.
“Pertama akan kuberitahu kamu, orang-orang biasa memanggil makhluk sihir ciptaan Jaglove—apapun wujudnya—dengan Mangrove.” kata Maria.
“Seperti nama tanaman rawa saja.”
“Seharusnya kau bertanya untuk apa aku memberitahumu nama mereka.”
“Kenapa harus?”
“Sihirmu akan sangat berpengaruh pada mereka jika kau mengetahui namanya.”
                “Jadi, kau sedang mengajariku sihir?”
                “Sederhananya begitu,” kata Maria sambil memasang kuda-kuda untuk menghadapi makhluk-makhluk sihir di depan mereka, “Ucapkan mantra, karang saja dari hatimu, kau tinggal membayangkan mau kau apakan mereka. Dan jangan lupa sertakan nama mereka sebelum mantra itu.”
                “Baiklah, kalau begitu,” Obin memejamkan matanya, “MANGROVE BANGBANGTUT!” ia berteriak.
                “Apa-apaan bunyi mantra itu?”
                “Itu mantra penghancuran. Aku membayangkan makhluk-makhluk itu akan hancur setelah aku ucapkan mantranya.”
                Dan..
                DUAR!
                DUAR!
DUAR!
DUAR!
Makhluk-makhluk aneh ciptaan Jaglove di seberang mereka tiba-tiba meledak dan hancur berkeping-keping. Maria memandang makhluk-makhluk itu dengan pandangan tidak percaya. Jaglove apalagi.

 
(Bersambung)
                                                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar