Jumat, 18 Februari 2011

Aku Memberinya Judul : Kebun Mimpi

Saat aku duduk di bangku SMP, masih kuingat bahwa dulu aku sangat bangga ketika wali kelasku memberikan untukku sebuah jabatan sebagai seorang sekretaris di kelas, alasan yang kudengar adalah karena beliau melihat tulisanku yang rapi dalam buku pelajaranku. Wah, sekretaris. Keren sekali, pikirku. Apalagi alasannya karena sesuatu yang berhubungan dengan kelebihanku, siapa yang tak bangga.

       Seperti di tipi-tipi saja, aku jadi seorang sekretaris, widiiiih membayangkannya saja sudah membuatku serasa memiliki empat sayap dan terbang dari jembatan banjir kanal di Demak hingga obor patung liberty di New York—padahal aku belum tahu pasti tugas-tugas yang akan diemban oleh seorang sekretaris di dalam kelas.

       Usai pelantikan, aku pulang sekolah dengan hati yang berbinar-binar seperti orang yang baru saja dapat lotre sepuluh juta rupiah. Ah, lebih tepat kalau dibilang seperti orang yang memperoleh kebahagiaan mutlak—kebahagiaan seorang kakek yang baru saja mendapat cucu pertamanya.

       Dua bulan berlalu, dan efek menjadi seorang sekretaris kelas baru terasa setelah itu. Sial*n! ternyata sekretaris kelas itu adalah jabatan yang lebih rendah dari orang yang tidak mendapat jabatan apapun di kelas, aku baru sadar kalau aku ini orang bodoh yang tak tahu ap-apa. Kau tahu apa tugas seorang sekretaris di dalam kelas, kawan? Juru catat! Ya, tidak lebih dari itu.

       Setiap ganti pelajaran, apalagi ketika pelajaran PPKN yang materi tiap pertemuannya selalu harus mengkhatamkan lima halaman buku pelajaran, rasanya aku ingin muntah saja, karena lima halaman itu aku harus menulisnya dulu di depan papan tulis agar dicatat teman sekelas di buku tulis mereka sebelum masuk ke sesi penjelasan oleh guru. Tragisnya lagi aku harus menunggu teman-temanku menjawab “sudah” ketika aku bertanya pada mereka “yang ini sudah belum?” sebelum aku menghapusnya dengan penghapus untuk kemudian menulis kelanjutannya di papan tulis karena volume papan tulis itu hanya mampu menampung 1 ½ halaman dari lima halaman yang harus kutulis.

       Dan gurunya? Ia hanya duduk bersedakep, kemudian mengucapkan terimakasih padaku dan menyuruhku duduk, “Bawa saja bukunya, kau ‘kan perlu materinya juga.” Kata beliau dibarengi dengan senyum yang manis, tapi aku lebih suka menyebutnya sebagai senyuman yang menipu! Betapa tidak, ketika teman-temanku duduk diam menerima penjelasannya, aku harus menulis kembali apa yang telah kutulis di depan papan tulis tadi. Diskriminatif! Intimidasi mental! Eksploitasi waktu! atau entah apa lah namanya itu, bagiku ini sama artinya dengan pembodohan!. Hey, say it is joke!! Kataku— yang sialnya harus selalu kupendam dalam hati.

       Dan parah, jabatan itu ternyata merubahku menjadi orang yang jahat, aku sering berdoa tiap pagi pada hari di mana ada jadwal mata pelajaran yang membuatku harus menulis panjang lebar di papan tulis. Dan tak jarang doaku itu terkabulkan, guru itu tidak masuk sehingga petugas TU lah yang menggantikannya, dan ketika petugas TU yang menggantikan, aku jadi sangat bahagia karena ia hanya akan memberi materi soal untuk diselesaikan sepanjang jam pelajaran.

                                                              ***

       Hingga memasuki semester tiga, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengatakan bahwa aku sudah tak sanggup menerima semua ini kepada wali kelas setelah aku tahu ketika aku menulis di depan, guru yang mengisi pelajaran di kelas kami malah ngobrol dengan guru lain di luar kelas. (lebaaay..). ternyata aku mendapat respon yang bagus dari wali kelaslku, beliau justru menghargai keberanianku mengatakan hal itu padanya. Lalu mulai hari itu, hingga aku lulus, tak ada lagi murid di kelas kami yang disuruh untuk menulis di depan. Semua adalah tugas guru, itu adalah keputusan rapat yang ternyata langsung dibentuk beberapa hari setelah aku mengadu.

     Aku ingat benar, usai mengatakan itu, ketika jam istirahat. Di koridor kelas aku menatap jauh ke gunung sebrang yang bisa kulihat dari temptku berdiri di lantai dua itu, wali kelasku datang menghampiriku, ia mengusap punggungku pelan, sambil menatap ke arah yang sama beliau berucap; “Kau calon intelek, kau akan jadi orang hebat!” sungguh, itu kata yang sangat klise darinya, namun tiap kali mendengarnya kepalaku selalu bergetar, jantungku selalu berdebar, aku ingin sekali menangis, namun harga diriku tak mengijinkan aku melakukan hal itu. (jiaaah makin lebay :’D) dan aku pun hanya tersenyum dan menanggapinya dengan kata; “Saya ingin percaya itu. Saya ingin selalu percaya.”

       Dan kini waktupun berlalu, kira-kira sudah sepuluh tahun sejak aku melewati hari-hari itu. Dari seorang juru tulis di depan kelas, kini aku sudah menulis beberapa buku. Hey, siapa yang menyangka? Ini terlihat seolah aku telah berhasil membalas dendam kepada masa laluku. Ironis, atau mungkin juga hiperbolis, tapi memang inilah yang terjadi.

       Dari sini aku percaya, bahwa semua ini adalah sesuatu yang bukan tak sengaja dirancang Tuhan untukku.

       Maka kawan, boleh percaya boleh tidak, seburuk apapun perlakuan dari lingkunganmu yang engkau terima saat ini, jadikanlah hal itu sebagai kebun inspirasi, tanamlah bibit mimpi, siramlah dengan pupuk kesabaran, lalu panen dan putar balikkanlah takdirmu! Karena setiap kita adalah pemenang!!

Sarang Angin, 28 Nopember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar