Ini cerita dari sebuah negri yang disebut negri angin, konon negri ini dipimpin oleh seorang raja yang kejam dan selalu meminta pajak yang besar kepada rakyatnya. Raja ini memiliki seorang putra tunggal yang bernama Awan, putra yang kelak akan menjadi satu-satunya orang yang akan mewarisi tahtanya. Berbeda dengan Ayahnya, Pangeran Awan memiliki sifat yang begitu polos, karena sejak kecil ia hanya dibesarkan di lingkungan istana dan tidak pernah keluar jalan-jalan untuk melihat-lihat keadaan negri yang dipimpin ayahnya. Pada hari ulang tahunnya yang ke-17, Pangeran akhirnya keluar istana didampingi seluruh pengawal kerajaan, itu sudah menjadi aturan di sana bahwa seorang calon Raja boleh keluar istana hanya setelah menginjak usia yang ke-17 tahun saja. Dan pada usia ini, Pangeran akan dinobatkan sebagai penerus kerajaan, alias menjadi seorang Raja.
Di hari itu, di sebuah sudut kota, pangeran menemui seorang pengemis, ia adalah seorang perempuan kecil yang kurus dan kumuh. Pangeran segera turun dari kudanya dan menghampiri pengemis itu.
“Ada yang bisa kubantu?” kata pangeran.
“Ah, siapa gerangan diri tuan?” jawab pengemis itu tanpa tahu bahwa lelaki dihadapannya itu adalah calon rajanya.
“Aku pangeran, anak raja pemimpin negri ini. Aku memang baru keluar istana hari ini, wajar jika kau tidak tahu.” Jawab pangeran sambil tersenyum.
“Ah, benarkah? Maafkan hamba. Benarkah pangeran sudi menolong hamba?” pengemis itu juga bicara dengan senyum yang manis dan tenang.
“Iya, semoga aku bisa membantumu.”
“Baiklah pangeran, hamba punya satu permintaan.”
“Apa itu, katakanlah.”
“Permintaan hamba tidak muluk-muluk, hamba hanya ingin agar pangeran menyingkirkan kuda pangeran dari hadapan hamba. Kuda itu menghalangi sinar matahari yang menghangatkan saya.”
Pangeran menyanggupinya. tapi justru karena permintaan yang sangat sederhana itu, hati pangeran jadi terguncang. Seorang pengemis di negrinya, ia pikir akan lebih membutuhkan pertolongannya berupa harta atau makanan, tapi dugaannya salah, karena ternyata pengemis itu lebih membutuhkan sinar matahari daripada dirinya. “kupikir aku akan menjadi orang yang paling dibutuhkan di negri ini.” Kata pangeran dalam hati. Sejak kejadian itu, pangeran lebih banyak merenung dan menyendiri.
***
Pada hari yang seharusnya akan menjadi hari paling bersejarah bagi pangeran karena akan diadakan upacara penobatan kepada dirinya sebagai seorang raja, pangeran malah memilih pergi dari istana, ia pergi mengembara setelah memohon-mohon kepada ibunya.
Malam hari sebelum hari itu, perasaan pangeran begitu sedih, pangeran merasa ia adalah makhluk kecil yang tidak pantas menjadi pemimpin setelah mengingat-ingat permintaan yang diajukan pengemis yang pernah ia temui di sudut kota. Karena itulah pangeran menemui ibunya tanpa sepengetahuan ayahnya agar diijinkan pergi. Setelah berdebat panjang lebar dengan ibunya, akhirnya ibu pangeranpun memberi ijin.
“Baiklah, ibu cuma pesan satu hal padamu”
“Katakan, ibu.”
“Jujurlah pada dirimu sendiri, juga kepada orang lain. Ibu telah menjahit 100 keping koin emas di mantelmu, semoga cukup untuk menjadi bekal perjalananmu. Sekali lagi ibu mohon, jujurlah pada dirimu sendiri, Nak”
Pangeran dengan bahagia menyanggupi permintaan ibunya, iapun pergi diam-diam keluar istana untuk mengembara.
***
Suatu malam di sebuah kota yang jauh dari istana, pangeran menemui seorang laki-laki yang terkapar karena mabuk, pangeranpun membaca kartu identitas pemabuk itu dan mengantarnya pulang ke rumahnya. Setiba di sana sang istri langsung memapah suaminya yang sedang mabuk dan memberikan sekantung uang kepada pangeran sebagai tanda terimakasih, namun pangeran menolaknya.
“Maaf, terimakasih. Saya ikhlas melakukannya.”
“Tapi ini sebagai tanda terimakasih, sudah sepatutnya kami sebagai orang kaya berbuat seperti ini.”
“Sekali lagi maaf, bukannya sombong, saya ini lebih kaya daripada anda." Pangeranpun pergi meninggalkan pasangan suami-istri itu dan melanjutkan pengembaraannya.
***
Sudah seminggu berlalu, dan pangeran telah empat hari ini menetap di kota J. pangeran betah sekali singgah di kota ini karena sangat suka mendengar ceramah seorang pemuka agama setiap hari di sebuah mimbar yang terletak di pusat kota. Pada hari ke-empat usai ceramah pemuka agama itu selesai, pangeran memberanikan diri untuk bertanya.
“Tuan, setiap pagi, sore, dan kadang malam, anda selalu setia memberi pencerahan kepada semua orang. Saya jadi penasaran, bagaimana anda menghidupi keluarga anda?”
“Nak, inilah pekerjaan saya. Inilah cita-cita saya dari kecil, dikenal banyak orang sebagai seorang pemuka agama yang hebat, lalu memasang tarif yang lebih mahal dari pemuka agama kelas kampung dalam memberikan ceramah.” Jawab pemuka agama itu.
“Ah, ternyata selama ini saya telah salah sangka kepada anda. Saya pikir karena sering menyampaikan kebenaran, anda ini adalah orang yang benar-benar benar. Melihat bahwa ternyata anda adalah orang yang cuma ingin dikelilingi orang-orang seperti seorang artis. Di mata saya kini, anda lebih terlihat sebagai seseorang yang mencari popularitas semata ketimbang sebagai seorang pemuka agama. Terimakasih atas pencerahan anda selama ini, karenanya saya jadi tahu apa itu kebenaran sejati.” Seketika itu juga pangeran pergi meninggalkan kota itu.
Setelahnya, pangeran berjalan ke hutan. di hutan ia menemui sekelompok perampok, dengan bengis dan tanpa basa-basi perampok itu menekuk lutut pangeran.
“Apa yang kau punya?!! Serahkan semua! Keluarkan!” kata para perampok-perampok itu.
“Saya punya banyak harta, sebenarnya saya akan bahagia seandainya kalian semua memintanya baik-baik kepada saya. Tolong tersenyumlah, saya akan memberikan semua yang saya miliki kepada kalian semua.” Jawab pangeran.
“Ada-ada saja! Baiklah.” Para perampok itupun tersenyum dan menunggu pangeran mengeluarkan semua harta miliknya.
“Ibu saya telah menjahit 100 keping koin emas di mantel saya sebelum saya pergi, namun sekarang tinggal 99 saja karena sudah saya pakai sekeping saat singgah di kota J. terimalah, saya memberikan dengan ikhlas, bukan dengan paksaan. Semoga semua ini bisa kalian manfaatkan agar kalian bisa hidup dengan baik dan kembali kepada kebenaran setelah ini.”
Mendengar kejujuran pangeran, bukannya langsung mengambil seluruh koin itu, para perampok malah meneteskan airmata, mereka satu per satu memeluk dan menepuk pundak pangeran, lalu membiarkan pangeran pergi tanpa mengambil sekepingpun koin emas dari mantel pangeran.
***
Sudah bertahun-tahun sejak hari itu, pangeran kini menjadi seorang pertapa. Ia bertapa di tepi air terjun di sebuah gunung yang jauh dari tempat di mana ia pernah dilahirkan. Di sana pangeran hanya memakan daun-daun yang jatuh di sekitarnya dan minum air dari air terjun itu. Pangeran memilih meninggalkan kemewahan dunia karena takut dengan dosa-dosa. Kali ini dalam pertapaannya pangeran ditemui oleh seorang malaikat, pangeran begitu kaget saat menjumpai malaikat yang berupa cahaya itu. Malaikat itu bertanya padanya;
“Hei anak muda, adakah hal yang ingin kau sampaikan pada Tuhanmu?”
“Ah, siapa anda?” kata pangeran.
“Saya malaikat.”
“Kalau begitu, sampaikan pertanyaan saya, apakah kelak saya bisa masuk surga?”
Malaikatpun menyanggupinya dan pergi, tidak lama setelah itu, malaikat itu kembali.
“Hai anak muda, pesanmu sudah ku sampaikan.”
“Benarkah, lalu seperti apa jawabanNya?
“Kau masuk neraka!”
“Apa alasannya, bukankah saya meninggalkan semua kemewahan dunia dengan sungguh-sungguh hingga saya rela menjadi pertapa seperti ini?”
“Justru karena hal itulah kau dimasukkan ke neraka, kau meninggalkan dunia, kau meninggalkan orang di sekelilingmu, kau mencari kebenaran untuk dirimu sendiri. Kau tahu? Kau ini tidak lebih adalah seorang manusia yang egois..”
“Ah, saya paham. Kalau begitu sampaikan kembali pesan saya, kalau saya nanti masuk neraka. Buatlah agar diri saya seluas neraka itu, agar semua rakyat dan manusia di bumi ini tidak bisa menghuninya. Dan cukup saya saja yang ada di sana.”
Malaikatpun pergi menyampaikan pesan pangeran. Lalu kembali lagi.
“Nak, pesanmu sudah kusampaikan. Kali ini ada jawaban lain, karena kau adalah manusia yang berjiwa besar, maka Tuhan memilih untuk memasukkanmu ke surga.”
Mendengar itu pangeran tersenyum, tidak lama setelah itu pangeranpun meninggal dunia. Tak ada ayah yang tahu, tak ada ibu yang tahu, tak ada rakyat yang tahu. Tidak pernah ada yang menyangka, seorang calon raja akan menjadi orang yang malang seperti ini, tapi karena ia pergi ke surga, maka ia juga sekaligus adalah orang yang paling beruntung di dunia.
*kisah ini diadopsi dari kisah Sidharta Gautama, Syekh Abdul Qodir Jaelani, dan kisah-kisah yang pernah kudengar yang aku telah lupa darimana sumbernya.
Sarang Angin, 17 Oktober 2010
1 komentar:
WAH NIH SASTRAWAN MANTEB
Posting Komentar