Sore itu di depan sebuah rumah yang ada di sebuah kota yang ketika itu saya kunjungi, saya dibuat kaget oleh sebuah tulisan yang ditulis dengan huruf kapital dan warna yang mencolok di tempat sampahnya. Begini bunyinya : “TIDAK UNTUK UMUM”
Setelah memperhatikan letak geografis rumah itu, saya membaca kalau letak tempat sampah yang ada di rumah itu bukanlah letak yang sering diisengin orang lain dengan membuang berplastik-plastik sampah ke sana. Sebab rumah itu ada tepat di tepi jalan raya. Jadi, seandainya ada sampah yang akan masuk ke tempat sampah rumah itu selain milik empunya rumah, paling-paling hanya sampah minuman kaleng atau bungkus rokok dari orang yang lewat saja.
Begitu membaca tulisan “TIDAK UNTUK UMUM” tersebut, saya jadi mengantongi kembali bungkus permen saya—yang ketika itu akan saya buang ke sana—untuk saya buang ke tempat sampah yang lain. Sebab, saya tidak suka dengan ketidak ikhlasan yang ditawarkan penghuni rumah itu melalui warning yang ditulis di tempat sampah miliknya. Komitmen yang merepotkan, memang.
Bicara tentang “sesuatu” di depan rumah, saya jadi kembali teringat masa-masa kecil saya. Ketika itu, tempat sampah atau pun taman di depan rumah bukanlah sesuatu yang lebih akan diperhatikan orang lain dibanding sesuatu yang lain, yang pada masa itu juga sering ada di depan-depan rumah. Sesuatu itu adalah “Kendi”.
Siapa yang tidak tahu kendi? Kendi adalah tempat air minum yang terbuat dari tanah liat. Ketika kendi diletakkan bukan di dapur ataupun di atas meja makan, melainkan di depan rumah oleh tuan rumah, siapa saja yang melihat pasti tahu kalau kendi itu ada diletakkan di sana adalah untuk disuguhkan kepada orang-orang yang lewat.
Kita mungkin sering tidak memperhatikan hal kecil semacam itu. Padahal melihat begitu banyaknya musafir—walaupun cuma pengemis atau pengamen—yang lalu lalang. Menaruh kendi berisi air minum di depan rumah seperti itu tentu adalah hal yang mulia. Dulu di kampung saya, hal semacam itu merupakan sebuah budaya. Namun entah karena faktor apa—entah karena tontonan televisi macam apa, kurikulum pendidikan macam apa, dan jenis makanan entah apa yang kita makan—yang membuat budaya seperti itu bisa punah dengan sempurna. Bahkan sebuah rumah saja, kini ada yang mengganti budaya kendi dengan budaya sampah yang saya ceritakan di atas tadi. Pernahkah anda bertanya apa yang terjadi?
Bersosialisasi sudah bukan lagi hal yang sangat penting untuk dilakukan di Negara ini, rupanya. Hey, siapa yang mengajarkan? Adakah di negri ini orang yang dengan bangga mengabarkan kepada orang lain betapa tidak punya hatinya dirinya? Olala, alangkah tidak tahu malunya!
Solo, 2011
Setelah memperhatikan letak geografis rumah itu, saya membaca kalau letak tempat sampah yang ada di rumah itu bukanlah letak yang sering diisengin orang lain dengan membuang berplastik-plastik sampah ke sana. Sebab rumah itu ada tepat di tepi jalan raya. Jadi, seandainya ada sampah yang akan masuk ke tempat sampah rumah itu selain milik empunya rumah, paling-paling hanya sampah minuman kaleng atau bungkus rokok dari orang yang lewat saja.
Begitu membaca tulisan “TIDAK UNTUK UMUM” tersebut, saya jadi mengantongi kembali bungkus permen saya—yang ketika itu akan saya buang ke sana—untuk saya buang ke tempat sampah yang lain. Sebab, saya tidak suka dengan ketidak ikhlasan yang ditawarkan penghuni rumah itu melalui warning yang ditulis di tempat sampah miliknya. Komitmen yang merepotkan, memang.
Bicara tentang “sesuatu” di depan rumah, saya jadi kembali teringat masa-masa kecil saya. Ketika itu, tempat sampah atau pun taman di depan rumah bukanlah sesuatu yang lebih akan diperhatikan orang lain dibanding sesuatu yang lain, yang pada masa itu juga sering ada di depan-depan rumah. Sesuatu itu adalah “Kendi”.
Siapa yang tidak tahu kendi? Kendi adalah tempat air minum yang terbuat dari tanah liat. Ketika kendi diletakkan bukan di dapur ataupun di atas meja makan, melainkan di depan rumah oleh tuan rumah, siapa saja yang melihat pasti tahu kalau kendi itu ada diletakkan di sana adalah untuk disuguhkan kepada orang-orang yang lewat.
Kita mungkin sering tidak memperhatikan hal kecil semacam itu. Padahal melihat begitu banyaknya musafir—walaupun cuma pengemis atau pengamen—yang lalu lalang. Menaruh kendi berisi air minum di depan rumah seperti itu tentu adalah hal yang mulia. Dulu di kampung saya, hal semacam itu merupakan sebuah budaya. Namun entah karena faktor apa—entah karena tontonan televisi macam apa, kurikulum pendidikan macam apa, dan jenis makanan entah apa yang kita makan—yang membuat budaya seperti itu bisa punah dengan sempurna. Bahkan sebuah rumah saja, kini ada yang mengganti budaya kendi dengan budaya sampah yang saya ceritakan di atas tadi. Pernahkah anda bertanya apa yang terjadi?
Bersosialisasi sudah bukan lagi hal yang sangat penting untuk dilakukan di Negara ini, rupanya. Hey, siapa yang mengajarkan? Adakah di negri ini orang yang dengan bangga mengabarkan kepada orang lain betapa tidak punya hatinya dirinya? Olala, alangkah tidak tahu malunya!
Solo, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar