Space Iklan

Jumat, 09 Desember 2011

Entering The Land of A Million Flowers



Teks dan Foto : jenararibowo@ymail.com

 Gunung Ungaran memang memiliki ketinggian yang tidak lebih dari 2050 mdpl, ketinggian yang bisa dibilang tidak cukup menantang bagi seorang pendaki gunung berpengalaman. Tapi, pemandangan alam yang tersedia di sana tidak kalah, bahkan lebih indah, jika dibandingkan dengan gunung-gunung di pulau Jawa yang memiliki ketinggian lebih darinya.


17 Agustus tahun ini bertepatan dengan bulan Ramadhan dalam kalender Islam. Namun hal tersebut tidak menjadi alasan bagi saya untuk tetap melaksanakan ‘ritual 17-an’—ritual yang ketika saya sedang berada di kampung halaman, tidak pernah absen untuk saya rayakan—sekaligus tetap melaksanakan ibadah puasa sesuai ajaran agama yang saya anut. Ritual tahunan ini biasa saya rayakan dengan mendaki gunung. Dan tahun ini, gunung Ungaranlah yang menjadi pilihan tujuan saya untuk hal tersebut.

Mendaki gunung sambil berpuasa, ternyata tidak semudah seperti apa yang saya bayangkan sebelumnya. Tenaga yang dibutuhkan adalah dua kali lipat dari pendakian pada hari biasa. Dan menahan rasa haus, adalah tantangan terbesar dalam perjalanan yang menguras banyak sekali keringat itu. Cukup berat, memang. Tapi hal nekat yang telah saya lakukan itu justru menjadi pengalaman dan memberikan hikmah yang tak terlupakan dalam hidup saya.

Saya berangkat sekitar pukul empat sore ditemani seorang teman saya yang akrab dipanggil Achong. Kami berdua  memulai pendakian dari jalur pasar Jimbaran—jalur yang paling banyak digunakan para pendaki sebagai garis start. Dari sana, kami harus berjalan kaki terlebih dahulu melewati perumahan penduduk dan ladang-ladang sayuran sepanjang sekitar kurang lebih 4-5 Km untuk sampai di pos pendataan. Demi menghemat tenaga, kami memutuskan untuk menghadang mobil pick-up yang biasa lewat memuat sayur dan pakan ternak untuk ditumpangi. Tanpa menunggu lama, kami pun mendapat tumpangan mobil pick-up yang mengantar kami hingga ke kampung paling ujung sesuai harapan. Ajaibnya, mobil tersebut langsung berbelok setelah kami berdua turun. Seolah Tuhan sengaja menghadirkan mobil itu hanya untuk mengantar kami saja. Sungguh seperti sebuah berkah untuk orang-orang yang berpuasa.

Setelah berterimakasih—tanpa perlu membayar ongkos—kepada sopirnya, kami berdua kembali melanjutkan perjalanan menembus sawah dan ladang-ladang. Beberapa kali kami harus menghentikan langkah di tepi mata air guna mendinginkan tubuh, sebab dehidrasi dan lelah membuat suhu tubuh kami berdua naik. Hingga akhirnya, sampailah kami di pos mawar ketika hari telah gelap. Kami langsung memberikan data diri kami kepada petugas yang ada di sana demi keamanan, sebelum kemudian berbuka puasa sepuasnya.



Tak ada apapun yang bisa dilihat di sana kecuali semua yang mampu dijangkau oleh cahaya senter kami. Suara serangga dan gemuruh angin lembah menemani perjalanan kami berdua pada malam hari itu menembus rimba cemara dan kebun-kebun kopi yang gelap gulita. Setelah menempuh sekitar dua jam perjalanan, kami sampai di desa para pemetik teh yang bernama desa Promasan. Desa ini merupakan desa tertinggi yang biasa digunakan oleh para pendaki untuk transit sebelum kemudian melakukan pendakian berburu sunrise hingga ke puncak. Pendaki yang tidak membawa tenda bisa tidur di hampir seluruh rumah yang ada di sana. Kami berdua juga sebenarnya berniat untuk melakukan hal tersebut, namun lantaran sudah kemalaman dan pintu seluruh rumah yang ada di sana sudah ditutup, maka kami pun tidur di masjid yang ada di pinggir desa, menunggu pagi datang.

Rasa malas behasil mengalahkan kami pada keesokan hari. Walau tidak tidur semalaman karena dingin yang menusuk hingga ke tulang-tulang, kami akhirnya memilih untuk mendaki ke puncak saat pagi telah benderang. Kami sempat kecewa karena tidak bisa berburu sunrise seperti yang biasa diidamkan para pendaki kebanyakan. Namun, untungnya kekecewaan kami terobati dengan pemandangan yang tampak di mata kami pagi itu. Musim ketika kami mendaki gunung ini, ternyata adalah musim di mana seluruh bunga-bunga liar berbunga! Dan oleh sebab itu, maka gunung ini pun kami namai dengan Negri Satu Juta Bunga. Dari yang ungu hingga biru, dari yang tinggi hingga perdu, bunga-bunga itu senantiasa rekah mengiringi kami di sepanjang perjalanan hingga menuju puncak. Udara menjadi wangi, dunia menjadi ceria. Kami yang biasa gagah di tanah rendah, menjadi bukan siapa-siapa ketika menginjakkan kaki di sana hari itu.

Malam 17-an pada tahun-tahun sebelumnya, biasanya gunung Ungaran didaki hingga ribuan orang. Saya bahkan pernah sekali harus mengantri berjalan untuk sampai ke puncak karena saking ramainya. Tapi tahun ini gunung Ungaran sangatlah sepi. Barangkali karena bertepatan dengan bulan puasa. Kelompok pendaki yang kami temui saja tidak lebih dari lima kelompok. Maka, jadilah hari itu gunung Ungaran seperti milik kami berdua :D

Puncak berhasil kami takhlukkan saat matahari sudah terasa menyengat. Keindahan yang tampak dari puncak pun jadi terlihat tidak maksimal lantaran sinar matahari yang berlebihan. Akhirnya, kami memutuskan untuk tidak berlama-lama di sana dan turun usai mendendangkan doa dan lagu Indonesia Raya di dalam dada. Perjalanan pulang inilah yang paling menyenangkan. Melewati jalur turun Gedong Songo, saya menerobos hutan heterogen yang masih lebat. Berbagai bunga dan satwa unik bisa saya jumpai di sepanjang jalur turun yang cenderung curam itu. Tidak hanya itu saja, buah-buahan hutan juga banyak saya lihat tumbuh liar dan subur di sana, dari apel hutan, blue berry hingga raspberry yang memerah di tepi-tepi jalan setapak.


Gunung Ungaran sebenarnya memiliki dua puncak, namun yang satu sudah ditutup dan dilarang untuk dilewati karena jalannya sangat curam dan berbahaya. Jalan setapak yang biasa dijadikan akses untuk menuju ke puncak yang satunya itupun kini sudah diberi palang kayu. Dari pengalaman mendaki ke puncak yang ini sekitar tujuh tahun yang lalu, menurut saya puncak yang satu ini memiliki pemandangan yang lebih indah jika dibanding puncak yang umum didaki para pecinta alam. Bunga-bunga Adelweiss yang kini hampir sulit ditemukan di gunung Ungaran, bahkan banyak tumbuh lebat dan subur di sana. Tak hanya itu, tanaman unik seperti kantung semarpun juga bisa anda temui di puncak yang kini ditutup jalurnya itu.
   
Jika dihitung, barangkali telah lebih dari sepuluh kali saya mendaki gunung ini. Namun angka tersebut belum juga membuat bosan saya untuk tetap kembali mendakinya karena pemandangan indah yang memanjakan mata saya yang ditawarkannya. Selain karena hal itu, gunung yang saya sebut sebagai negri satu juta bunga ini bagi saya sudah seperti rumah kedua. Saya seperti memiliki ikatan bathin dengannya lantaran gunung ini adalah gunung di Indonesia yang pertama kali saya daki. Mungkin juga karena alasan inilah hati saya selalu menjadi tentram ketika mendakinya. []

 

Tidak ada komentar: