Space Iklan

Minggu, 18 Desember 2011

Perjumpaan di Sebuah Pagi


Teks dan Foto : jenararibowo@ymail.com
 
Rumput-rumput membasah. Air mengalir gemericik di parit-parit kecil. Sementara di kejauhan, beberapa petani tampak tengah berteriak-teriak sembari menggoyang-goyangkan benang kasur yang terhubung langsung dengan kaleng-kaleng rombeng untuk mengusir burung-burung emprit dari sawahnya yang hampir tiba waktu panen. Pagi itu, jauh di pelosok Mendut, Magelang. Tepatnya di sebuah desa yang bernama Saragan. Langkah kaki saya mengantarkan saya pada sebuah petualangan sederhana untuk menyaksikan semua yang mampu membuat perasaan saya menjadi tenang itu.

Tidak pernah terlintas dalam benak saya, sebelumnya, bahwa perjalanan menapaki pematang-pematang sawah pada pagi tersebut ternyata malah menyuguhi saya sesuatu yang mampu membuka mata sekaligus hati saya. Seorang remaja laki-laki saya lihat tengah berdiri di tepi sawah dengan sebuah tongkat bambu yang panjang di tangan kirinya pada petualangan saya kali ini. Setelah saya perhatikan, ia ternyata adalah seorang penggembala itik. Matanya tampak tak pernah lepas mengawasi itik-itiknya yang ‘merumput’ di sawah bekas panen. Melindungi mereka dari ancaman musang sawah, atau yang sering disebut orang-orang desa setempat dengan gangrangan. Saya mendekati lelaki itu untuk sebentar mengobrol tentang apa yang dilakukannya. Beruntung, ia ternyata memberi respon yang baik kepada saya akan hal itu.

Ia mengaku bernama Ibi, remaja yang kurang lebih memiliki selisih umur lima tahun dengan saya. Ibi adalah seorang lelaki yang lahir dan besar di desa Saragan itu. Ia menamatkan pendidikannya hanya sampai pada bangku sekolah dasar saja. Setahun yang lalu, ia baru saja pulang dari Jakarta setelah tiga tahun sebelumnya bekerja sebagai seorang cleaning service di sebuah perusahaan yang lumayan ternama. Ia kena PHK. Kini, Ibi memilih untuk menggembalakan itik lantaran susah mendapatkan kerja lagi dengan modal hanya ijazah SD-nya saja. Miris rasanya mendengar kisahnya. Tapi, bagi saya itu lebih baik daripada ia sama sekali tidak punya kegiatan untuk mengisi waktu luangnya.

Berbicara dengan Ibi membuka mata saya lebih lebar lagi, membuat saya mengerti bahwa di negri ini masih ada banyak orang yang ternyata tidak lebih beruntung dari pada saya. Sungguh sebuah kenyataan yang mampu menasehati saya untuk selalu mensyukuri segala yang saat ini saya miliki.

Tak terasa saya sudah menghabiskan berbatang-batang rokok saat mengobrol dengannya. Dari yang awalnya cuma berniat sebentar, ternyata malah menjadi begitu lama karena saking asyiknya. Seandainya pagi itu terik matahari tidak meningkahi kepala saya, saya barangkali akan tetap betah ngobrol dengan penduduk desa yang ramah sepertinya, hingga ia memutuskan untuk membawa pulang itik-itiknya.

Langit semakin biru. Di kejauhan, siluet pohon-pohon kelapa sudah semakin menunjukkan wajah aslinya. Di pematang-pematang itu, bunga ilalang juga terlihat tumbuh meninggi. Bergoyang-goyang mengiringi perjalanan embun yang mulai menguap dari pucuk kembang-kembang turi. Saya akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan Ibi ketika itu juga. Mengatakan padanya bahwa pertemuan ini begitu berarti bagi saya. Saya melangkah perlahan meninggalkannya. Merencah pematang, membawa warna baru untuk hidup saya.

Jauh di atas sana, di balik awan-awan putih yang menggumpal, di antara langit biru yang membentang, saya seolah melihat Tuhan tengah tersenyum manis. Mengulurkan tangan untuk menuntun saya pada sebuah perjalanan membuka hati selanjutnya. Sungguh beruntung, rasanya, saya lahir sebagai orang yang bisa menikmati kehidupan seperti ini. Begitu ‘kan? :)

.



Jumat, 09 Desember 2011

Entering The Land of A Million Flowers



Teks dan Foto : jenararibowo@ymail.com

 Gunung Ungaran memang memiliki ketinggian yang tidak lebih dari 2050 mdpl, ketinggian yang bisa dibilang tidak cukup menantang bagi seorang pendaki gunung berpengalaman. Tapi, pemandangan alam yang tersedia di sana tidak kalah, bahkan lebih indah, jika dibandingkan dengan gunung-gunung di pulau Jawa yang memiliki ketinggian lebih darinya.


17 Agustus tahun ini bertepatan dengan bulan Ramadhan dalam kalender Islam. Namun hal tersebut tidak menjadi alasan bagi saya untuk tetap melaksanakan ‘ritual 17-an’—ritual yang ketika saya sedang berada di kampung halaman, tidak pernah absen untuk saya rayakan—sekaligus tetap melaksanakan ibadah puasa sesuai ajaran agama yang saya anut. Ritual tahunan ini biasa saya rayakan dengan mendaki gunung. Dan tahun ini, gunung Ungaranlah yang menjadi pilihan tujuan saya untuk hal tersebut.

Mendaki gunung sambil berpuasa, ternyata tidak semudah seperti apa yang saya bayangkan sebelumnya. Tenaga yang dibutuhkan adalah dua kali lipat dari pendakian pada hari biasa. Dan menahan rasa haus, adalah tantangan terbesar dalam perjalanan yang menguras banyak sekali keringat itu. Cukup berat, memang. Tapi hal nekat yang telah saya lakukan itu justru menjadi pengalaman dan memberikan hikmah yang tak terlupakan dalam hidup saya.

Saya berangkat sekitar pukul empat sore ditemani seorang teman saya yang akrab dipanggil Achong. Kami berdua  memulai pendakian dari jalur pasar Jimbaran—jalur yang paling banyak digunakan para pendaki sebagai garis start. Dari sana, kami harus berjalan kaki terlebih dahulu melewati perumahan penduduk dan ladang-ladang sayuran sepanjang sekitar kurang lebih 4-5 Km untuk sampai di pos pendataan. Demi menghemat tenaga, kami memutuskan untuk menghadang mobil pick-up yang biasa lewat memuat sayur dan pakan ternak untuk ditumpangi. Tanpa menunggu lama, kami pun mendapat tumpangan mobil pick-up yang mengantar kami hingga ke kampung paling ujung sesuai harapan. Ajaibnya, mobil tersebut langsung berbelok setelah kami berdua turun. Seolah Tuhan sengaja menghadirkan mobil itu hanya untuk mengantar kami saja. Sungguh seperti sebuah berkah untuk orang-orang yang berpuasa.

Setelah berterimakasih—tanpa perlu membayar ongkos—kepada sopirnya, kami berdua kembali melanjutkan perjalanan menembus sawah dan ladang-ladang. Beberapa kali kami harus menghentikan langkah di tepi mata air guna mendinginkan tubuh, sebab dehidrasi dan lelah membuat suhu tubuh kami berdua naik. Hingga akhirnya, sampailah kami di pos mawar ketika hari telah gelap. Kami langsung memberikan data diri kami kepada petugas yang ada di sana demi keamanan, sebelum kemudian berbuka puasa sepuasnya.



Tak ada apapun yang bisa dilihat di sana kecuali semua yang mampu dijangkau oleh cahaya senter kami. Suara serangga dan gemuruh angin lembah menemani perjalanan kami berdua pada malam hari itu menembus rimba cemara dan kebun-kebun kopi yang gelap gulita. Setelah menempuh sekitar dua jam perjalanan, kami sampai di desa para pemetik teh yang bernama desa Promasan. Desa ini merupakan desa tertinggi yang biasa digunakan oleh para pendaki untuk transit sebelum kemudian melakukan pendakian berburu sunrise hingga ke puncak. Pendaki yang tidak membawa tenda bisa tidur di hampir seluruh rumah yang ada di sana. Kami berdua juga sebenarnya berniat untuk melakukan hal tersebut, namun lantaran sudah kemalaman dan pintu seluruh rumah yang ada di sana sudah ditutup, maka kami pun tidur di masjid yang ada di pinggir desa, menunggu pagi datang.

Rasa malas behasil mengalahkan kami pada keesokan hari. Walau tidak tidur semalaman karena dingin yang menusuk hingga ke tulang-tulang, kami akhirnya memilih untuk mendaki ke puncak saat pagi telah benderang. Kami sempat kecewa karena tidak bisa berburu sunrise seperti yang biasa diidamkan para pendaki kebanyakan. Namun, untungnya kekecewaan kami terobati dengan pemandangan yang tampak di mata kami pagi itu. Musim ketika kami mendaki gunung ini, ternyata adalah musim di mana seluruh bunga-bunga liar berbunga! Dan oleh sebab itu, maka gunung ini pun kami namai dengan Negri Satu Juta Bunga. Dari yang ungu hingga biru, dari yang tinggi hingga perdu, bunga-bunga itu senantiasa rekah mengiringi kami di sepanjang perjalanan hingga menuju puncak. Udara menjadi wangi, dunia menjadi ceria. Kami yang biasa gagah di tanah rendah, menjadi bukan siapa-siapa ketika menginjakkan kaki di sana hari itu.

Malam 17-an pada tahun-tahun sebelumnya, biasanya gunung Ungaran didaki hingga ribuan orang. Saya bahkan pernah sekali harus mengantri berjalan untuk sampai ke puncak karena saking ramainya. Tapi tahun ini gunung Ungaran sangatlah sepi. Barangkali karena bertepatan dengan bulan puasa. Kelompok pendaki yang kami temui saja tidak lebih dari lima kelompok. Maka, jadilah hari itu gunung Ungaran seperti milik kami berdua :D

Puncak berhasil kami takhlukkan saat matahari sudah terasa menyengat. Keindahan yang tampak dari puncak pun jadi terlihat tidak maksimal lantaran sinar matahari yang berlebihan. Akhirnya, kami memutuskan untuk tidak berlama-lama di sana dan turun usai mendendangkan doa dan lagu Indonesia Raya di dalam dada. Perjalanan pulang inilah yang paling menyenangkan. Melewati jalur turun Gedong Songo, saya menerobos hutan heterogen yang masih lebat. Berbagai bunga dan satwa unik bisa saya jumpai di sepanjang jalur turun yang cenderung curam itu. Tidak hanya itu saja, buah-buahan hutan juga banyak saya lihat tumbuh liar dan subur di sana, dari apel hutan, blue berry hingga raspberry yang memerah di tepi-tepi jalan setapak.


Gunung Ungaran sebenarnya memiliki dua puncak, namun yang satu sudah ditutup dan dilarang untuk dilewati karena jalannya sangat curam dan berbahaya. Jalan setapak yang biasa dijadikan akses untuk menuju ke puncak yang satunya itupun kini sudah diberi palang kayu. Dari pengalaman mendaki ke puncak yang ini sekitar tujuh tahun yang lalu, menurut saya puncak yang satu ini memiliki pemandangan yang lebih indah jika dibanding puncak yang umum didaki para pecinta alam. Bunga-bunga Adelweiss yang kini hampir sulit ditemukan di gunung Ungaran, bahkan banyak tumbuh lebat dan subur di sana. Tak hanya itu, tanaman unik seperti kantung semarpun juga bisa anda temui di puncak yang kini ditutup jalurnya itu.
   
Jika dihitung, barangkali telah lebih dari sepuluh kali saya mendaki gunung ini. Namun angka tersebut belum juga membuat bosan saya untuk tetap kembali mendakinya karena pemandangan indah yang memanjakan mata saya yang ditawarkannya. Selain karena hal itu, gunung yang saya sebut sebagai negri satu juta bunga ini bagi saya sudah seperti rumah kedua. Saya seperti memiliki ikatan bathin dengannya lantaran gunung ini adalah gunung di Indonesia yang pertama kali saya daki. Mungkin juga karena alasan inilah hati saya selalu menjadi tentram ketika mendakinya. []

 

Rabu, 07 Desember 2011

Menjelajah Sisi Hijau Gunung Kidul

Teks dan Foto : jenararibowo@ymail.com

Gunung Kidul ternyata tidak setandus seperti yang dibicarakan kebanyakan orang. Tempat ini memiliki sisi hijau yang bergelimangan air dan juga memiliki potensi wisata gua yang tak kalah indah dengan wisata pantai-pantainya. Objek wisata Gua Pindul adalah salah satunya.



Setelah menempuh perjalanan ke arah utara sekitar 7 kilometer dari kota Wonosari, akhirnya sampai juga saya bersama seorang teman saya, Herman Santoso, di Dusun Gelaran I, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul. Tujuan kami berdua datang kemari tentulah untuk merasakan sensasi cave tubing di objek wisata Gua Pindul yang baru satu tahun didirikan itu.

Kami langsung disambut dengan hangat oleh ketua karang taruna yang mengelola objek wisata tersebut dan dibawa ke balai penerimaan tamu begitu tiba di sana. Sembari menikmati segelas wedang jahe yang disediakan untuk kami, kami diajak berbincang-bincang sejenak terlebih dahulu, dan disuguhi foto-foto tentang area yang akan kami telusuri tersebut sebelum melakukan penjelajahan. Setelah penyambutan tamu yang berlangsung hangat dan familiar itu, kami berdua lantas diberi masing-masing sebuah pelampung, sepasang sepatu dan juga sebuah ban karet sebagai fasilitas yang diberikan untuk keamanan dari paket wisata Gua Pindul.


Semua peralatan tersebut memang sangat dibutuhkan dalam melakukan penjelajahan lantaran kondisi lantai gua pindul yang tidak seperti gua-gua kebanyakan. Ia memiliki lantai gua berupa sungai bawah tanah dengan panjang sekitar 300-400 meter dan kedalaman sekitar 2-5 meter dari pintu masuk hingga pintu keluar gua. Maka dari itulah, wisata caving gua pindul yang menggunakan ban karet sebagai sarana penjelajahan ini sering juga disebut dengan wisata cavetubing.

Dengan didampingi guide, kami berdua mulai melakukan penelusuran gua siang itu. Biasanya, seorang guide diberikan hanya untuk rombongan yang berisi 5-10 orang, namun karena kedatangan kami berdua ke sana adalah juga untuk tujuan peliputan, maka kami pun mendapat paket spesial dengan didampingi oleh masing-masing seorang guide untuk kami. Hmm, baik ya :)


It's time to 'Ngowoh' 
                                                                                                                                             
Belum memasuki mulut gua, kami berdua sudah dibuat takjub dengan apa yang kami lihat di sana. Banyak ikan lele dan nila berenang dengan tenang di depan pintu masuk gua itu. Saat saya bertanya apakah ikan-ikan itu sengaja dipelihara, guide yang memandu saya menjelaskan kepada saya bahwa ikan-ikan itu adalah ikan-ikan liar yang sudah lama menghuni tempat itu. Maka, saya pun hanya bisa ngowoh mendengarnya. Apalagi saat mulai memasuki mulut gua, saya kembali dibuat ngowoh dengan keindahan stalagmit dan stalaktit yang terukir alami di dinding dan langit-langit gua.

Dengan diterangi hanya oleh cahaya dari lampu senter yang ada di atas helm yang kami gunakan, guide kami menjelaskan kepada kami tentang letak-letak ornament unik yang kami temui di sepanjang pengarungan itu; dari batu kristal yang konon terbentuk dari tetesan air yang berasal dari akar pohon yang tumbuh tepat di atas gua, batu gong yang ketika dipukul mengeluarkan bunyi gema, sarang walet, hingga beberapa titik di langit-langit gua yang dijadikan sebagai markas oleh sekumpulan kelelawar.


Beberapa meter sebelum sampai ke pintu keluar gua, kami lagi-lagi kembali dibuat takjub oleh pemandangan semacam kolam raksasa yang kaya akan cahaya karena langit-langit gua yang berlubang. Kami semua berhenti sejenak di sana untuk bermain air dan mota-moto, atau yang sering diistilahkan oleh kebanyakan orang dengan istilah 'ritual narsis'.


Merasa puas dengan apa yang telah kami lakukan di dalam sana, kami berdua pun kembali melanjutkan perjalanan keluar gua dan mengangkat ban karet kami untuk mencoba paket wisata yang ditawarkan kepada kami setelahnya, yaitu melakukan tubing menyusuri eksotisme sungai Oya (dalam bahasa jawa dibaca : Oyo).
  
Nggak perlu 'ngoyo' di sungai Oyo

Pemandangan yang terlihat di pintu keluar Gua Pindul ternyata lebih luar biasa indah dibanding pintu masuknya. Di sana terdapat sebuah dam atau bendungan bernama Banyu Moto yang konon telah dibangun sejak era kolonial Belanda. Saya terkesan bukan hanya oleh bendungan tersebut, namun juga oleh anak-anak kecil yang tengah riang bermain air di sana.

Menyusuri pematang-pematang sawah meninggalkan dam tersebut, saya lagi-lagi disapa oleh pemandangan yang tak kalah menarik; beberapa anak kecil yang tengah mandi di kali, samudra padi yang membentang hijau, juga langit yang sebiru bebatuan safir. Anggapan masyarakat tentang Gunung Kidul adalah tanah yang kering dan tandus seolah terdengar seperti sebuah kebohongan belaka ketika saya menjejakkan kaki saya di sana ketika itu juga.

Wangi minyak kayu putih yang berasal dari hutan kayu putih yang terdapat tidak begitu jauh dari sana menyambut kami saat mengawali perjalanan mengarungi sungai Oya. Tak ada kata bosan ketika memandang apa yang terlihat di sepanjang pengarungan itu. Dinding-dinding sungai Oya terlihat seperti sebuah karya seni yang abstrak, membentuk ukiran-ukiran yang bisa diterjemahkan ke dalam berbagai hal sesuai dengan imajinasi penikmatnya. Air juga seringkali terlihat menetes dari beberapa titik di dinding sungai, sepanjang pengarungan itu.

Tubing di sungai Oya tidak seekstrim seperti yang saya bayangkan sebelumnya, ternyata. Air di sungai Oya ini mengalir begitu tenang. Didorong pelan-pelan oleh guide kami sambil memandang keelokan pemandangan yang terhampar di depan mata melahirkan kesan bahwa wisata ini merupakan wisata paling santai dan 'nikmat' yang pernah saya lakukan.

Dan di antara semua hal yang bisa dilihat di sana, yang paling membuat saya kagum adalah sebuah air terjun yang saya temui di satu titik dalam pengarungan sungai Oya yang menempuh jarak sekitar kurang lebih 1,5 kilometer itu. Namun,  lantaran kunjungan saya ke sana ketika itu adalah pada saat musim kemarau, maka air terjun tersebut pun menjadi terlihat tidak utuh alias bercabang. Konon, jika musim hujan tiba, cabang-cabang air terjun tersebut menyatu, sehingga akan terlihat sebagai sebuah air terjun yang utuh dan lebar. Kendati demikian, di mata saya, yang bercabang itu pun juga tetap bisa dinikmati sebagai sebuah karya Tuhan yang luar biasa indah karena hamparan padi dan pohon kelapa yang melatarinya.

Perjalanan tubing  di sungai Oya diakhiri dengan dijemput oleh mobil pick-up di titik finish yang sudah ditentukan. Kami dibawa kembali ke tempat pertama kali kami disambut. Segelas wedang jahe yang hangat dan semangkuk bakso pun menjadi penutup perjalanan kami yang manis dan 'maregi' hari itu. Padahal kami juga dijanjikan akan dibawa menyusuri tujuh mata air, menyusuri gua yang dihuni oleh banyak landak, dan dipertemukan dengan pemilik Wayang Beber pada keesokan harinya. Namun, karena tiba-tiba ada keperluan yang membuat kami harus pulang ke Semarang pada hari itu juga, maka kami pun tidak jadi menerima niat baik itu. Sayang sekali, memang. []

WIRA WISATA GELARAN :

Hubungi :
HARIS (0859 59 6565 61)
Email : wira.eisata@hotmail.com
FB : facebook.com/wirawisata
Web : wirawisata.blog.com