Teks & Foto : jenararibowo@ymail.com
Nasi pecel dengan sebutir telor asin dan rempeyek kacang menjadi sarapan yang sangat nikmat untuk mengawali hari yang indah di kota Batu pagi itu. Tidak jauh dari hotel tempat saya dan seorang teman saya menginap, saya menemukan warung nasi pecel yang dijajakan oleh seorang perempuan tua ini di tepi jalan. Udara masih sangat terasa dingin. Bunga-bunga flamboyan juga terlihat rekah memerah di antara tanaman-tanaman jagung di sebrang jalan. Sungguh membuat saya begitu tak sabar untuk segera mengeksplorasi keindahan kota yang sangat identik dengan buah apelnya ini.
Sembari menikmati nasi pecel yang dihidangkan di atas piring yang terbuat dari anyaman rotan itu, saya bertanya pada nenek penjualnya tentang tempat wisata yang paling ramai dikunjungi masyarakat setempat ketika hari libur tiba. Nenek itu pun sambil tersenyum malu-malu, menunjuk ke arah gunung Arjuna yang terlihat gagah menjulang biru di ujung jalan. “Cangar, nak,” kata beliau, “Di sana ada pemandian air panas dengan pemandangan alam yang sangat indah.”
Tidak menunggu lama, kami pun lantas menuju ke sana.
Saya masih teringat akan gurauan seorang sopir angkot yang kami tumpangi semalam. Bapak yang memiliki karakter sanguinis sangat kental itu berkata pada kami bahwa kami sungguh tidak pantas untuk memasuki komplek argo wisata di mana orang-orang biasa memetik apel sepuas hatinya, ketika saya menanyakan perihal tempat tersebut padanya. Memang benar, gurauan itu sama sekali bisa dibenarkan lantaran penampilan saya yang terlihat super gembel, sementara argo wisata yang kami bicarakan merupakan satu kesatuan dari sebuah hotel berbintang.
Sebagai seorang Low Cost Traveler alias Backpacker, akhirnya kami pun mengurungkan niat kami untuk bisa melihat apel yang tumbuh langsung dari pohonnya demi pencegahan terjadinya penipisan dompet kembali setelah sebelumnya sudah ‘terabrasi’ oleh budget perjalanan ke Pulau Sempu. Tapi untunglah, di jalan menuju ke arah Cangar ternyata kami menemukan pohon apel yang berbuah merah banyak tumbuh di tepi-tepi jalan. Maka ketika itu juga jadilah kami dua orang katrok yang paling bahagia sedunia :D
Perjalanan dari alun-alun kota Batu menuju cangar sungguh menakjubkan. Rumah-rumah di bawah kaki gunung yang acap kali terlihat dilamun kabut, petani-petani yang memanen wortel dan kembang kol, wangi buah apel yang senantiasa mengharum di sepanjang perjalanan. Seluruhnya menjadi akrab di mata dalam perjalanan itu.
Sampai di Cangar, kami sama sekali tidak punya niat untuk melepas baju dan basah-basahan, kendati tempatnya memang cukup asik untuk melakukan hal itu. Terlalu ramai, kalau menurut saya. Walau begitu, duduk diam di pinggir kolam sambil menikmati tape ketan yang banyak dijajakan di sana saja sudah membuat hati kami tentram lantaran pemandangannya yang sungguh memanjakan mata. Selain kolam alami, Cangar juga memiliki gua-gua peninggalan Jepang. Kami juga tentu saja tak mau melewatkan kesempatan untuk menjelajahi gua-gua itu.
Puas di Cangar, kami pun beralih ke objek wisata sebelahnya, setelah sebelumnya saya iseng-iseng bertanya ke penduduk setempat apa ada air terjun di daerah situ. Tak sampai satu kilometer dari tempat itu, ternyata memang ada air terjun yang dinamai Cuban Watu Ondo. Dan di sanalah saya selanjutnya kembali memanjakan mata. Pemandangan Cuban Watu Ondo lumayan eksotis (saya bilang lumayan karena saya sering melihat yang lebih luar biasa dari ini). Di sekitar Cuban Watu Ondo ini, saya banyak menemukan semacam lutung hitam yang oleh penduduk setempat diberi nama “Budheng”. Tapi jangan takut, walau bebas berkeliaran di alam liar, monyet-monyet ini sama sekali tidak mengganggu pengunjung.
Puas memanjakan mata, kami kembali ke alun-alun Batu. Di malam hari, tempat ini luar biasa ramai. Bukan hanya udaranya yang sejuk yang membikin saya betah berlama-lama di sini, tapi juga orang-orangnya yang ramah. Pusat keramaian kota Batu ini sangat bersih dan rapi, dilengkapi dengan berbagai fasilitas tempat duduk eksklusif stanlish beratap glosy transparan yang berfungsi sebagai smoking area, ada juga patung-patung apel raksasa, air mancur, dan yang paling membuat saya terkagum-kagum, adalah ferish wheel raksasa yang tak pernah berhenti berputar perlahan selama wahana itu dioperasikan. Bagi yang ingin melihat keelokan kota malang di malam hari dari atas, anda bisa menaikinya dengan tiket hanya Rp.3000,- saja untuk sekali putaran. Saya saja bahkan sampai 2 kali menaikinya :D (childish!).
Semakin malam udara di alun-alun Batu semakin dingin. Maka, dari alun-alun itu, beralihlah kami ke Pos Ketan Legenda yang berada di seberangnya untuk menikmati secangkir kopi dan sepiring kecil ketan bubuk guna menghangatkan tubuh. Dan akhirnya, perjalanan panjang hari itu pun kami akhiri dengan ngobrol ngalor-ngidul di tempat itu. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar