Awalnya saya hanya berniat
akan ke Jogja. Setelah menginap di rumah salah seorang saudara saya di
Magelang, saya berangkat pergi pagi-pagi buta. Sekitar pukul setengah enam ban
motor saya bocor di tengah jalan (setelah kesasar di Jogja kota dan beralih menuju Prambanan). Naas, memang, karena saya harus menuntun
sepeda motor sekian kilo perjalanan untuk menemukan tukang tambal ban lantaran
di waktu sepagi itu semua bengkel di pinggir jalan masih pada tutup.
Ada beberapa polisi
yang ketika itu mengamankan sebuah acara di gereja yang saya temui sedang
mengatur lalu lintas di jalanan depan gereja, salah satu di antaranya berbaik
hati memberi tahu saya letak bengkel yang sudah buka pada jam segitu (tepatnya
mau dipaksa buka).
Mengikuti petunjuk
bapak polisi, saya akhirnya menemukan bengkel yang beliau maksud. Udara pagi
itu masih dingin. Kendati matahari di timur terbit cukup cerah, gerimis juga
turun kecil-kecil. Sembari menunggu ban motor saya yang bocor selesai ditambal,
saya mengisi waktu dengan merokok di pinggir jalan. Dari pinggir jalan itu,
saya melihat siluet seperti sebatang pohon raksasa yang berdaun rimbun. Feeling
saya tidak mempercayai bahwa itu siluet pohon, mengingat tidak adanya
celah-celah yang bisa ditembus cahaya matahari seperti yang biasa dimiliki
pohon yang bahkan berdaun rimbun sekalipun. Namun mata saya sendiri juga
ternyata tidak mampu memastikannya karena minus mata saya yang sudah bertambah
(episode belum sempat ganti kacamata). Karena penasaran, sayapun bertanya
kepada bapak yang memperbaiki ban motor saya. Ternyata benar bahwa siluet
tersebut bukan berasal dari sebatang pohon, melainkan candi—Candi Kalasan.
Saya baru sadar bahwa
pagi itu saya sudah sampai di daerah Kalasan. Mengetahui keberadaan candi yang
jaraknya sudah di depan mata, instinc arkeolog saya mengatakan bahwa saya harus
menjelajahinya hari itu juga. Kendati cita-cita saya untuk menjadi seorang
arkeolog patah hingga membuat saya hari ini menjadi seorang bukan arkeolog,
saya tetap gemar mengunjungi dan memperhatikan struktur bangunan tempat-tempat bersejarah.
Maka jadilah pagi itu saya berangkat ke candi itu usai ban motor saya selesai
ditambal.
Tiket masuknya cukup
murah. Hanya dengan dua ribu rupiah saja, saya bisa masuk ke kawasan Candi Kalasan
ini. Dan perlu dicatat; tiket ini resmi. Belum ada pengunjung pagi itu selain
saya dan seorang turis berkewarganegaraan entah yang langsung ngacir setelah
berjalan satu putaran mengelilingi candi yang—meskipun satu—tapi lumayan luas
itu.
Candi kalasan ini
lumayan unik. Banyak sekali bagian candi yang ditumbuhi lumut hijau yang bagi
saya mampu melempar saya ke masa lalu ketika menatapnya. Barangkali karena
udara di daerah ini yang cenderung lembab. Candi Kalasan konon merupakan kuil
yang dibangun oleh Raja Panangkaran untuk Dewi Tara. Dan nama candi ini dulu
adalah Tarabhawana. Sekilas saya mengira candi ini adalah candi Hindu. Tapi
setelah saya perhatikan secara seksama, Candi Kalasan ternyata adalah candi
Budha.
Selesai berkeliling
candi, saya menyempatkan diri untuk ngobrol dengan satpam yang menjaga candi
ini. Orangnya baik, Sebab ngobrol dengan pak satpam inilah, saya akhirnya malah
tidak jadi keliling Jogja pagi itu karena tertarik dengan kata-katanya yang
mengatakan bahwa di daerah Kalasan itu ada banyak sekali candi yang tersebar.
Ia juga merekomendasikan kepada saya untuk mengunjungi bekas rumah Mbah
Maridjan di lereng Merapi. Saya juga kemudian ke sana. Tapi karena artikel ini
adalah episode “Keliling Candi”, maka cerita tentang kunjungan saya ke lereng Merapi
akan saya ceritakan di postingan selanjutnya saja ^_^’
Kembali ke cerita
perjalanan menjelajahi candi. Saya terus terang tidak sempat mengunjungi
seluruh candi yang dikatakan bapak itu. Saya hanya mengunjungi salah satunya,
yakni Candi Kedulan, yang konon merupakan candi yang baru ditemukan. Dari
informasi yang saya dapat, candi ini ditemukan oleh seorang penambang pasir
sekitar tahun 1991 (belum benar-benar saya pastikan).
Candi Kedulan lumayan
sulit saya temukan. Wajarlah, ini pertama kalinya saya berpetualang di daerah
ini. Saya harus beberapa kali bertanya kepada petani-petani yang lewat untuk
menemukan candi yang ternyata terletak di tengah-tengah areal persawahan ini.
Candi Kedulan ternyata masih berupa puing-puing yang berserakan, beberapa
bahkan masih berada di bawah galian tanah. Sayangnya, untuk mengambil foto
candi ini, saya disuruh mengurus perijinan dulu ke kantornya di daerah kota
oleh penjaganya. Inilah yang merepotkan. Bukannya tidak mau, saya tidak bisa
meminta surat ijin ke pengelolanya karena hari itu adalah hari minggu—hari libur.
Maka jadilah pagi itu saya akhirnya berubah ke mode “tukang kendit” untuk bisa tetap
mengambil gambarnya. Terserah jika pada akhirnya akan disebut pelanggaran, toh menurut
saya tidak ada pihak yang dirugikan.
Dan kawan-kawan petualang, inilah foto Candi
Kedulan itu :) cekidot :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar