Sabtu, 12 Mei 2012

Menyambangi Candi-Candi Purba di Kalasan


Awalnya saya hanya berniat akan ke Jogja. Setelah menginap di rumah salah seorang saudara saya di Magelang, saya berangkat pergi pagi-pagi buta. Sekitar pukul setengah enam ban motor saya bocor di tengah jalan (setelah kesasar di Jogja kota dan beralih menuju Prambanan). Naas, memang, karena saya harus menuntun sepeda motor sekian kilo perjalanan untuk menemukan tukang tambal ban lantaran di waktu sepagi itu semua bengkel di pinggir jalan masih pada tutup.
Ada beberapa polisi yang ketika itu mengamankan sebuah acara di gereja yang saya temui sedang mengatur lalu lintas di jalanan depan gereja, salah satu di antaranya berbaik hati memberi tahu saya letak bengkel yang sudah buka pada jam segitu (tepatnya mau dipaksa buka).
Mengikuti petunjuk bapak polisi, saya akhirnya menemukan bengkel yang beliau maksud. Udara pagi itu masih dingin. Kendati matahari di timur terbit cukup cerah, gerimis juga turun kecil-kecil. Sembari menunggu ban motor saya yang bocor selesai ditambal, saya mengisi waktu dengan merokok di pinggir jalan. Dari pinggir jalan itu, saya melihat siluet seperti sebatang pohon raksasa yang berdaun rimbun. Feeling saya tidak mempercayai bahwa itu siluet pohon, mengingat tidak adanya celah-celah yang bisa ditembus cahaya matahari seperti yang biasa dimiliki pohon yang bahkan berdaun rimbun sekalipun. Namun mata saya sendiri juga ternyata tidak mampu memastikannya karena minus mata saya yang sudah bertambah (episode belum sempat ganti kacamata). Karena penasaran, sayapun bertanya kepada bapak yang memperbaiki ban motor saya. Ternyata benar bahwa siluet tersebut bukan berasal dari sebatang pohon, melainkan candi—Candi Kalasan. 

Saya baru sadar bahwa pagi itu saya sudah sampai di daerah Kalasan. Mengetahui keberadaan candi yang jaraknya sudah di depan mata, instinc arkeolog saya mengatakan bahwa saya harus menjelajahinya hari itu juga. Kendati cita-cita saya untuk menjadi seorang arkeolog patah hingga membuat saya hari ini menjadi seorang bukan arkeolog, saya tetap gemar mengunjungi dan memperhatikan struktur bangunan tempat-tempat bersejarah. Maka jadilah pagi itu saya berangkat ke candi itu usai ban motor saya selesai ditambal.
Tiket masuknya cukup murah. Hanya dengan dua ribu rupiah saja, saya bisa masuk ke kawasan Candi Kalasan ini. Dan perlu dicatat; tiket ini resmi. Belum ada pengunjung pagi itu selain saya dan seorang turis berkewarganegaraan entah yang langsung ngacir setelah berjalan satu putaran mengelilingi candi yang—meskipun satu—tapi lumayan luas itu.


Candi kalasan ini lumayan unik. Banyak sekali bagian candi yang ditumbuhi lumut hijau yang bagi saya mampu melempar saya ke masa lalu ketika menatapnya. Barangkali karena udara di daerah ini yang cenderung lembab. Candi Kalasan konon merupakan kuil yang dibangun oleh Raja Panangkaran untuk Dewi Tara. Dan nama candi ini dulu adalah Tarabhawana. Sekilas saya mengira candi ini adalah candi Hindu. Tapi setelah saya perhatikan secara seksama, Candi Kalasan ternyata adalah candi Budha.
Selesai berkeliling candi, saya menyempatkan diri untuk ngobrol dengan satpam yang menjaga candi ini. Orangnya baik, Sebab ngobrol dengan pak satpam inilah, saya akhirnya malah tidak jadi keliling Jogja pagi itu karena tertarik dengan kata-katanya yang mengatakan bahwa di daerah Kalasan itu ada banyak sekali candi yang tersebar. Ia juga merekomendasikan kepada saya untuk mengunjungi bekas rumah Mbah Maridjan di lereng Merapi. Saya juga kemudian ke sana. Tapi karena artikel ini adalah episode “Keliling Candi”, maka cerita tentang kunjungan saya ke lereng Merapi akan saya ceritakan di postingan selanjutnya saja ^_^’
Kembali ke cerita perjalanan menjelajahi candi. Saya terus terang tidak sempat mengunjungi seluruh candi yang dikatakan bapak itu. Saya hanya mengunjungi salah satunya, yakni Candi Kedulan, yang konon merupakan candi yang baru ditemukan. Dari informasi yang saya dapat, candi ini ditemukan oleh seorang penambang pasir sekitar tahun 1991 (belum benar-benar saya pastikan).



Candi Kedulan lumayan sulit saya temukan. Wajarlah, ini pertama kalinya saya berpetualang di daerah ini. Saya harus beberapa kali bertanya kepada petani-petani yang lewat untuk menemukan candi yang ternyata terletak di tengah-tengah areal persawahan ini. Candi Kedulan ternyata masih berupa puing-puing yang berserakan, beberapa bahkan masih berada di bawah galian tanah. Sayangnya, untuk mengambil foto candi ini, saya disuruh mengurus perijinan dulu ke kantornya di daerah kota oleh penjaganya. Inilah yang merepotkan. Bukannya tidak mau, saya tidak bisa meminta surat ijin ke pengelolanya karena hari itu adalah hari minggu—hari libur. Maka jadilah pagi itu saya akhirnya berubah ke mode “tukang kendit” untuk bisa tetap mengambil gambarnya. Terserah jika pada akhirnya akan disebut pelanggaran, toh menurut saya tidak ada pihak yang dirugikan. Dan kawan-kawan petualang, inilah foto Candi Kedulan itu :) cekidot :






Tidak ada komentar:

Posting Komentar