Minggu, 20 Mei 2012

Membaca yang Tidak Terdengar

Saya memilih untuk naik mobil travel hari itu. Kata teman saya sih enak. Tapi, begitu saya coba, ah, ternyata ruang gerak saya malah jadi terbatas. Kesal sendiri jadinya. Maklum, ketika melakukan perjalanan ke luar kota, saya memang biasa naik bus AC. Selain karena tarifnya lebih murah, saya juga bisa bebas duduk di bangku paling belakang dengan mengangkat kedua kaki saya ke atas jika merasa pegal. Pendeknya, lebih nyaman saja.

Tapi seperti yang saya sudah sering bilang, setiap dibuat kesal oleh pilihan saya sendiri, saya biasa mengakali rasa kesal saya dengan cara mengimani apa yang terjadi kepada saya itu sebagai sebuah “buku pelajaran” yang hukumnya wajib saya baca. Dan beruntunglah, setiap kali menatap keluar jendela dan berulang kali bertanya dalam hati cerita apa yang akan saya baca hari itu, saya dipertemukan juga oleh Tuhan dengan jawabannya;

Ini bukan cerita yang saya buat-buat. Pelajaran hari itu dimulai dari duduknya teman sebangku saya di dalam mobil travel tersebut yang tentu saja—lantaran hari itu saya pergi seorang diri—dia adalah orang asing bagi saya. Dia perempuan yang dari sejak di ruang tunggu memerhatikan saya dari sebrang. Berjilbab, dan manis. Bahkan sangat manis. Di mobil itu dia menyapa saya dengan senyum yang manis, sebuah bahasa lain dari “permisi”. Memang benar-benar manis. Mirip sekali dengan sahabat saya Wahyu Setyowati (ehm!)—yang sayangnya sudah bersuami.

Tidak “terbaca” apapun di awal perjalanan. Sampai kemudian saya sadar bahwa perempuan manis di sebelah saya ini ternyata adalah seorang penderita tuna wicara. Hari itu adalah perjalanan dari Solo ke Semarang. Ia bersama gurunya yang duduk tepat di bangku depan kami, akan pergi mengikuti sebuah kompetisi antar sekolah tingkat provinsi di Semarang. Seorang teman di sebelahnya juga orang yang sama dengannya. Sama-sama penderita tuna wicara, maksudnya. Dan akan menghadiri sebuah ajang kompetisi juga.

Melihat mereka berdua bicara dengan bahasa jari, saya jadi tiba-tiba sadar betapa tidak pernah bersyukurnya saya selama ini atas anugrah luar biasa yang diberikan oleh Tuhan kepada saya, yakni perihal cara berkomunikasi yang notabene tidak perlu merepotkan saya dengan harus menggunakan bahasa jari untuk sekedar ingin menyampaikan sebuah maksud saja lantaran saya bisa normal berbicara dengan lisan saya.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

(epilog)

Dari balik kaca jendela itu, saya lihat ia berusaha merebut koper yang diseret gurunya meski sang guru telah berusaha melarangnya. Tapi gadis itu tetap memaksa. “Biar saya saja yang bawa.” Begitulah kira-kira maksud dari apa yang coba saya baca dari gerak bibirnya. Sungguh, jika saya adalah gurunya, saya pasti bangga memiliki murid seperti itu. Di balik kekurangannya, Tuhan juga ternyata menganugrahkan padanya hati yang demikian besar. Sesuatu yang barangkali akan membuat anda iri. Apalagi saya.


Solo-Semarang, maret '12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar