Sabtu, 02 Juni 2012

Ada Cerita di Lereng Merapi


"Nikmatnya Tersesat”, begitulah awalnya saya mau memberi judul buat tulisan ini. Tapi karena kedengaran kurang “nravel”, ya saya ganti saja judulnya menjadi apa adanya begini :D

Berkunjung ke Desa Kinahrejo di lereng Merapi—yang kini terkenal sebagai desa wisata bertajuk “Lava Tour”—sebenarnya tidak masuk list perjalanan saya. Namun saya sendiri juga tidak paham, bagaimana pagi itu saya bisa tiba-tiba menempuh petualangan ini.
Diawali dari tersesat di daerah Kalasan ketika saya mau mengunjungi Jogja pusat, saya jadi mampir ke Candi Kalasan dan ngobrol-ngobrol dengan satpam penjaganya. Dari obrolan itu beliau menyarankan kepada saya untuk mengunjungi desa wisata yang kini sudah mulai ramai dikunjungi ini. Walhasil jadilah saya pergi kesana karena godaan dari yang dibicarakannya.
Menuju ke sana, saya melewati jalur alternatif yang bisa tembus ke Magelang dan Sleman. Setelah bertanya ke beberapa penduduk, saya akhirnya mendapat arah yang benar menuju desa tanah kelahiran sang legenda Mbah Maridjan ini. Karena motor saya motor jadul, saya menempuh perjalanan itu dengan perasaan was-was sepanjang perjalanan lantaran jalannya yang terus menanjak. Udara yang dingin—dan kabut yang sesekali melintas—bisa sedikit menghilangkan perasaan stress saya karena perasaan was-was itu. Dan yang saya khawatirkan akhirnya terjadi. Lantaran mesin motor saya yang terlalu panas, motor saya akhirnya mogok. Namun untung saja si jadul itu mogok tepat 50 meter sebelum tempat parkir wisata. Maka, saya menuntunnya dan mengistirahatkannya di areal parkir itu. Dan saya abaikan dulu ia :D
 
 
Tidak sabar melihat apa yang ada di sana, saya mulai meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Awalnya hanya ada warung-warung yang menjajakan buah-buah salak, rangkaian kembang-kembang edelweiss, pokoknya semua makanan atau souvenir yang identik dengan Merapi. Setelah itu, baru saya bisa melihat rumah-rumah yang hancur dan hangus di beberapa bagian, pasir di mana-mana, yang membuat saya tidak sanggup membayangkan bagaimana rasanya berada di sana ketika desa itu menjadi begini.
Desa Kinahrejo begitu penuh kabut, tidak heran, konon ini adalah desa yang paling dekat letaknya dengan puncak Merapi, jika kabut itu hilang, maka akan terlihat pohon-pohon yang hangus di sebrang lembah yang masih berdiri kokoh, seolah adalah tugu abadi yang senantiasa memberitahu kita betapa dahsyatnya amukan gunung Merapi.
Berjalan hingga ke pelosok-pelosok, saya menemukan banyak pohon buah yang mulai ditanam di sana, dari kelengkeng, mangga, termasuk juga stroberi. Untuk mencapai ujung dari desa wisata ini, yakni bekas rumah Mbah Maridjan almarhum, pengunjung bisa menyewa motor trail yang bisa disewa dengan tarif Rp.50.000/jam, bisa juga dengan ngojek yang tarifnya dibandrol Rp.20.000 sekali antar (Bisa telon, atau satu motor tiga orang), atau biar sehat bisa mengikuti cara saya, yaitu jalan kaki :D jaraknya cuma kurang lebih 3km saja kok (Baca : hanya mengira-ngira)


  
Rumah Mbah Maridjan (alm.) yang sudah rata dengan tanah kini diberi pagar bambu. Di dalamnya ada mobil bekas evakuasi yang saat ini tinggal kerangkanya saja karena sapuan awan panas Merapi, satu unit motor dengan keadaan yang sama, dan satu termos yang bodynya juga meleleh ^_^’ (twew!). Di sana ada juga menara pandang yang berdiri kokoh tepat di warung adiknya si mbah. Jika mau berjalan sedikit menurun, kita bisa melihat sungai Opak yang kini cuma berisi pasir atau lahar dingin dari material letusan gunung Merapi. Perjalanan ini menjadi pengalaman yang mengesankan, dan jelas menyenangkan seandainya saya tidak pernah memikirkan keadaan motor saya—yang kelihatannya harus turun mesin—di parkiran selanjutnya. :p

1 komentar: