Kamis, 07 Juni 2012

Dunia Tanpa Nama [chapter #1]


“Turun lewat mana?” tanya Dhino.
“Selatan.” Obin menjawab sambil menerawang suatu entah dari puncak gunung Merbabu.
“Kau yakin, kita bisa sampai rumah jika lewat sana?”
“Setengah yakin. Tapi entahlah. Aku belum pernah melewatinya. Hanya saja, kata orang-orang yang mendirikian tenda di samping kita tadi, turun lewat jalur selatan akan lebih cepat sampai.”
“Kalau tidak yakin begini, apa tidak sebaiknya kita pulang lewat jalur yang kemarin kita lewati ketika mendaki puncak ini saja?”
“Membosankan, kau tahu?” Obin membuka jaketnya yang tebal, melipatnya, dan kemudian memasukkannya ke dalam keril, “Bukan petualangan namanya kalau kita pulang lewat jalur yang sama.”
Angin berhembus kencang. Kabut menebal. Di puncak itu, hanya tinggal mereka dan dua rombongan pecinta alam lainnya. Kera-kera gunung memekik, berlompatan dari satu batu ke batu lainnya. Suasana seperti ini terasa begitu mengerikan bagi Dhino. “Hampir jam sepuluh, badai akan datang. Kita harus segera turun,” katanya.
“Bagaimana? Kita turun lewat jalur selatan, ya?”
“Terserah, jika itu maumu, ayo lah.”
“Tapi sepertinya kau masih ragu-ragu.”
“Ragu sih iya. Memangnya orang sekeraskepala kamu mau kuajak putar balik?”
“Hi hi hi,” Obin hanya tertawa. Merasa dirinya menang.
Mereka berdua lantas bersama-sama melangkah pulang. Menuruni kubah gunung Merbabu yang megah. Melompati batu-batu, menembus kabut yang sesekali datang menghalangi pandangan. Jalur itu begitu curam. Tidak ada lagi yang turun melalui jalur yang mereka lalui kecuali mereka berdua.
Setelah berjalan cukup jauh, mereka kemudian sampai di daerah yang menyerupai sabana. Hanya saja, rumput-rumput yang tumbuh di sana seluruhnya terlihat menguning. Itu pemandangan yang tidak biasa bagi mereka. Pohon-pohon edelweiss tumbuh hingga dua meter di padang rumput itu, bunga-bunganya mekar, namun berwarna hitam. Obin santai-santai saja menyaksikannya, tapi Dhino takut bukan main.
“Bisa jadi, di sini banyak sekali gas beracun. Makanya seluruh tanaman banyak yang mati.” Kata Obin.
“Kalau benar-benar ada, bagaimana kita nanti?” Dhino menengok sekeliling, “Ini salahmu. Kenapa juga kita harus lewat jalur yang belum pernah kita lewati ini. Kau lihat saja, jalan setapaknya juga semakin samar ‘kan? Itu tanda kalau jarang ada orang yang lewat sini.”
Ia jadi semakin khawatir, begitu melihat jalan setapak yang mereka ikuti semakin terlihat samar. Melihat Dhino yang panik seperti itu, Obin malah merasa geli.
“Kau tahu, No. Kemungkinan lain,”
“Kemungkinan lain apa?”
“Konon kondisi alam seperti ini mengindikasikan munculnya Pasar Setan.”
“Pasar Setan?” Dhino jadi berkeringat dingin, “Apa itu Pasar Setan?”
“Konyol sekali, masa’ pendaki gunung tidak tahu Pasar Setan sih? Payah.” Obin melepas keril di punggungnya dan merebahkan diri di rerumputan yang kuning mengering, “Jika sekali saja kau masuk ke pasar itu, maka jangan pernah berharap kau bisa pulang ke rumah.”
“Pasar ghaib, ya? Bodoh. Kau ini malah menakut-nakuti saja.”
“Ha ha ha, lucu sekali. Kau ini kenapa panik begitu sih? Sudah, kau kumpulkan saja dulu jamur yang tumbuh di sekitar padang rumput ini. Jangan yang warnanya terang tapi.”
“Aneh. Kenapa juga aku harus mencari jamur sementara kau malah asyik tiduran di rumput begitu?!”
“Bekal kita sudah habis. Tinggal tiga bungkus mi instan dan setengah botol air. Kita benar-benar harus mengumpulkan bekal makanan sebanyak-banyaknya, sebab aku yakin..”
“Yakin apa? Yakin kalau kita lewat jalur yang salah, ‘kan? Benar-benar deh, sedih rasanya jika harus tersesat bersamamu.”
“Hi hi hi,” Obin hanya tertawa geli. Ia memang tipe manusia yang bisa tenang menghadapi keadaan apapun.
“Kita kembali saja deh.”
“Tidak bisa, bodoh. Kita sudah berjalan cukup jauh. Dari sini, butuh sekitar satu setengah jam perjalanan untuk bisa sampai ke puncak lagi. Kau lupa kata ranger yang kemarin itu? Kita disuruh untuk turun dari puncak tidak lebih dari jam sepuluh, karena akan datang badai di atas jam segitu.”
“Menyebalkan,” Dhino menendang bokong Obin, “Kalau begitu bantu aku mencari jamur! Jangan malah tidur-tiduran begitu.”
“Ha ha ha, ijinkan aku istirahat sejenak wahai klowor.”
Mereka berdua kemudian bersama-sama mencari jamur yang tumbuh di sekitar padang rumput itu. Mengumpulkannya sebagai bekal—untuk berjaga-jaga seandainya perjalanan mereka memakan waktu lebih lama dari yang mereka kira. Sebab bekal makanan mereka hampir habis.
Angin berhembus pelan, tapi sungguh dingin. Kabut lebih banyak datang ketimbang hilang. Suasana terasa mencekam di benak Dhino. Di sela-sela ranting edelweiss yang menghitam bunganya, burung-burung kecil sesekali bertengger. Namun kehadiran mereka sama sekali tidak mengubah suasana menjadi lebih baik, sebab mereka hanya diam diranting-ranting itu, menyimak gerak-gerik Obin dan Dhino tanpa suara. Sama sekali tanpa suara.
Jlak!
JLak!
JLAk!
JLAK!

Tiba-tiba terdengar suara seperti pohon yang sedang ditebang. Entah di mana, tapi gemanya memantul dari tebing-tebing lembah. Obin dan Dhino berhenti dari mencari jamur. Memperhatikan dengan seksama suara itu.
“Suara orang menebang pohon?” kata Dhino.
“Benar, itu tandanya kita sudah dekat dengan perkampungan. Cepat sekali, ya.”
Dan mereka pun kembali melangkah setelah memasukkan semua jamur ke dalam tas. Namun suasana kembali menjadi hening.
“Di mana asal suara tadi, ya?”
“Sudah, kita terus berjalan saja. Setelah zebra wall di depan itu, sepertinya kita akan memasuki hutan phinus. Siapa tahu dari sana asal suara tadi. Kita bisa minta air pada penebang pohon itu nanti.” Kata Obin sambil menujuk tebing yang bergaris-garis hitam putih di depan mereka.
“Kau ini pandai menakut-nakuti, ya. Kenapa tidak bilang dari tadi sih kalau kau pernah lewat jalur ini. Sial.”
“Ha ha ha, siapa memangnya yang bilang aku pernah lewat sini.”
“Nyatanya kau tahu, kalau setelah ini ada hutan phinus.”
“Aku bilang hanya kelihatannya. Temanku yang memberitahuku, tapi entah, aku tidak tahu zebra wall yang ia maksud itu zebra wall yang ada di jalan ini atau bukan.”
Suasana kembali hening, dan mereka terus melangkah turun. Untuk membuat agar suasana menjadi tidak datar, Obin kembali bermaksud menakut-nakuti Dhino.
“No, selain kondisi alam yang seperti tadi, kau tahu apa tanda-tanda munculnya Pasar Setan?”
Dhino hanya diam.
“Akan muncul suara bising ribut seperti pasar. Barangkali suara pohon ditebang tadi juga sebagian kecil cirri-cirinya.”
Begitu Obin bilang seperti itu, kondisi alam jadi tiba-tiba berubah. Angin bertiup kencang, mendung menggelantung. Dan dari arah lembah di depan mereka, awalnya sayup-sayup, kemudian semakin keras, mereka berdua mendengar suara kegaduhan seperti pasar; suara klakson motor, suara orang tawar menawar, embik kambing, juga kokok ayam.
Obin dan Dhino jadi tiba-tiba menghentikan langkah, saling memandang dengan diam. Jantung mereka berdebar dengan kencang. Dalam suasana yang mencekam seperti itu, sekumpulan kabut tiba-tiba datang dari arah selatan dengan cepat, dan kemudian.. membawa keduanya hilang.

(Bersambung)

Bocoran chapter #2 :
“Aku tidak bercanda,” kata gadis kecil itu. Ia berusia sekitar tujuh tahun. Berambut putih, bermata abu-abu, memakai gaun putih, melangkah tanpa alas kaki, dan membawa kepala boneka yang selalu ia dekap dengan kedua tangannya di dada. “Ini dunia lain. Dunia tanpa nama.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar