“Turun lewat mana?” tanya Dhino.
“Selatan.” Obin menjawab sambil menerawang suatu entah dari puncak gunung Merbabu.
“Kau yakin, kita bisa sampai rumah jika lewat sana?”
“Setengah
yakin. Tapi entahlah. Aku belum pernah melewatinya. Hanya saja, kata
orang-orang yang mendirikian tenda di samping kita tadi, turun lewat
jalur selatan akan lebih cepat sampai.”
“Kalau tidak yakin begini, apa tidak sebaiknya kita pulang lewat jalur yang kemarin kita lewati ketika mendaki puncak ini saja?”
“Membosankan,
kau tahu?” Obin membuka jaketnya yang tebal, melipatnya, dan kemudian
memasukkannya ke dalam keril, “Bukan petualangan namanya kalau kita
pulang lewat jalur yang sama.”
Angin
berhembus kencang. Kabut menebal. Di puncak itu, hanya tinggal mereka
dan dua rombongan pecinta alam lainnya. Kera-kera gunung memekik,
berlompatan dari satu batu ke batu lainnya. Suasana seperti ini terasa
begitu mengerikan bagi Dhino. “Hampir jam sepuluh, badai akan datang.
Kita harus segera turun,” katanya.
“Bagaimana? Kita turun lewat jalur selatan, ya?”
“Terserah, jika itu maumu, ayo lah.”
“Tapi sepertinya kau masih ragu-ragu.”
“Ragu sih iya. Memangnya orang sekeraskepala kamu mau kuajak putar balik?”
“Hi hi hi,” Obin hanya tertawa. Merasa dirinya menang.
Mereka
berdua lantas bersama-sama melangkah pulang. Menuruni kubah gunung
Merbabu yang megah. Melompati batu-batu, menembus kabut yang sesekali
datang menghalangi pandangan. Jalur itu begitu curam. Tidak ada lagi
yang turun melalui jalur yang mereka lalui kecuali mereka berdua.
Setelah
berjalan cukup jauh, mereka kemudian sampai di daerah yang menyerupai
sabana. Hanya saja, rumput-rumput yang tumbuh di sana seluruhnya
terlihat menguning. Itu pemandangan yang tidak biasa bagi mereka.
Pohon-pohon edelweiss tumbuh hingga dua meter di padang rumput itu,
bunga-bunganya mekar, namun berwarna hitam. Obin santai-santai saja
menyaksikannya, tapi Dhino takut bukan main.
“Bisa jadi, di sini banyak sekali gas beracun. Makanya seluruh tanaman banyak yang mati.” Kata Obin.
“Kalau
benar-benar ada, bagaimana kita nanti?” Dhino menengok sekeliling, “Ini
salahmu. Kenapa juga kita harus lewat jalur yang belum pernah kita
lewati ini. Kau lihat saja, jalan setapaknya juga semakin samar ‘kan?
Itu tanda kalau jarang ada orang yang lewat sini.”
Ia
jadi semakin khawatir, begitu melihat jalan setapak yang mereka ikuti
semakin terlihat samar. Melihat Dhino yang panik seperti itu, Obin malah
merasa geli.
“Kau tahu, No. Kemungkinan lain,”
“Kemungkinan lain apa?”
“Konon kondisi alam seperti ini mengindikasikan munculnya Pasar Setan.”
“Pasar Setan?” Dhino jadi berkeringat dingin, “Apa itu Pasar Setan?”
“Konyol
sekali, masa’ pendaki gunung tidak tahu Pasar Setan sih? Payah.” Obin
melepas keril di punggungnya dan merebahkan diri di rerumputan yang
kuning mengering, “Jika sekali saja kau masuk ke pasar itu, maka jangan
pernah berharap kau bisa pulang ke rumah.”
“Pasar ghaib, ya? Bodoh. Kau ini malah menakut-nakuti saja.”
“Ha
ha ha, lucu sekali. Kau ini kenapa panik begitu sih? Sudah, kau
kumpulkan saja dulu jamur yang tumbuh di sekitar padang rumput ini.
Jangan yang warnanya terang tapi.”
“Aneh. Kenapa juga aku harus mencari jamur sementara kau malah asyik tiduran di rumput begitu?!”
“Bekal
kita sudah habis. Tinggal tiga bungkus mi instan dan setengah botol
air. Kita benar-benar harus mengumpulkan bekal makanan
sebanyak-banyaknya, sebab aku yakin..”
“Yakin apa? Yakin kalau kita lewat jalur yang salah, ‘kan? Benar-benar deh, sedih rasanya jika harus tersesat bersamamu.”
“Hi hi hi,” Obin hanya tertawa geli. Ia memang tipe manusia yang bisa tenang menghadapi keadaan apapun.
“Kita kembali saja deh.”
“Tidak
bisa, bodoh. Kita sudah berjalan cukup jauh. Dari sini, butuh sekitar
satu setengah jam perjalanan untuk bisa sampai ke puncak lagi. Kau lupa
kata ranger yang kemarin itu? Kita disuruh untuk turun dari
puncak tidak lebih dari jam sepuluh, karena akan datang badai di atas
jam segitu.”
“Menyebalkan,” Dhino menendang bokong Obin, “Kalau begitu bantu aku mencari jamur! Jangan malah tidur-tiduran begitu.”
“Ha ha ha, ijinkan aku istirahat sejenak wahai klowor.”
Mereka
berdua kemudian bersama-sama mencari jamur yang tumbuh di sekitar
padang rumput itu. Mengumpulkannya sebagai bekal—untuk berjaga-jaga
seandainya perjalanan mereka memakan waktu lebih lama dari yang mereka
kira. Sebab bekal makanan mereka hampir habis.
Angin
berhembus pelan, tapi sungguh dingin. Kabut lebih banyak datang
ketimbang hilang. Suasana terasa mencekam di benak Dhino. Di sela-sela
ranting edelweiss yang menghitam bunganya, burung-burung kecil sesekali
bertengger. Namun kehadiran mereka sama sekali tidak mengubah suasana
menjadi lebih baik, sebab mereka hanya diam diranting-ranting itu,
menyimak gerak-gerik Obin dan Dhino tanpa suara. Sama sekali tanpa
suara.
Jlak!
JLak!
JLAk!
JLAK!
Tiba-tiba
terdengar suara seperti pohon yang sedang ditebang. Entah di mana, tapi
gemanya memantul dari tebing-tebing lembah. Obin dan Dhino berhenti
dari mencari jamur. Memperhatikan dengan seksama suara itu.
“Suara orang menebang pohon?” kata Dhino.
“Benar, itu tandanya kita sudah dekat dengan perkampungan. Cepat sekali, ya.”
Dan mereka pun kembali melangkah setelah memasukkan semua jamur ke dalam tas. Namun suasana kembali menjadi hening.
“Di mana asal suara tadi, ya?”
“Sudah, kita terus berjalan saja. Setelah zebra wall
di depan itu, sepertinya kita akan memasuki hutan phinus. Siapa tahu
dari sana asal suara tadi. Kita bisa minta air pada penebang pohon itu
nanti.” Kata Obin sambil menujuk tebing yang bergaris-garis hitam putih
di depan mereka.
“Kau ini pandai menakut-nakuti, ya. Kenapa tidak bilang dari tadi sih kalau kau pernah lewat jalur ini. Sial.”
“Ha ha ha, siapa memangnya yang bilang aku pernah lewat sini.”
“Nyatanya kau tahu, kalau setelah ini ada hutan phinus.”
“Aku bilang hanya kelihatannya. Temanku yang memberitahuku, tapi entah, aku tidak tahu zebra wall yang ia maksud itu zebra wall yang ada di jalan ini atau bukan.”
Suasana
kembali hening, dan mereka terus melangkah turun. Untuk membuat agar
suasana menjadi tidak datar, Obin kembali bermaksud menakut-nakuti
Dhino.
“No, selain kondisi alam yang seperti tadi, kau tahu apa tanda-tanda munculnya Pasar Setan?”
Dhino hanya diam.
“Akan muncul suara bising ribut seperti pasar. Barangkali suara pohon ditebang tadi juga sebagian kecil cirri-cirinya.”
Begitu
Obin bilang seperti itu, kondisi alam jadi tiba-tiba berubah. Angin
bertiup kencang, mendung menggelantung. Dan dari arah lembah di depan
mereka, awalnya sayup-sayup, kemudian semakin keras, mereka berdua
mendengar suara kegaduhan seperti pasar; suara klakson motor, suara
orang tawar menawar, embik kambing, juga kokok ayam.
Obin
dan Dhino jadi tiba-tiba menghentikan langkah, saling memandang dengan
diam. Jantung mereka berdebar dengan kencang. Dalam suasana yang
mencekam seperti itu, sekumpulan kabut tiba-tiba datang dari arah
selatan dengan cepat, dan kemudian.. membawa keduanya hilang.
(Bersambung)
Bocoran chapter #2 :
“Aku
tidak bercanda,” kata gadis kecil itu. Ia berusia sekitar tujuh tahun.
Berambut putih, bermata abu-abu, memakai gaun putih, melangkah tanpa
alas kaki, dan membawa kepala boneka yang selalu ia dekap dengan kedua
tangannya di dada. “Ini dunia lain. Dunia tanpa nama.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar