“The teacher who is indeed wise does
not bid you to enter the house of his wisdom but rather leads you to the
threshold of your mind.”–Kahlil Gibran
Saat saya hampir tak percaya dengan kemampuan yang saya miliki, orang ini datang menepuk pelan pundak saya. Mengangkat saya dengan cuma kata-kata sederhana. Membuat saya berdiri dengan cuma kata-kata sederhana. Membuat saya kembali berjalan dengan cuma kata-kata sederhana. Sesederhana cara dia memandang hidupnya.
Saya sudah pernah beberapa kali menulis tentang beliau, sebenarnya. Hanya karena kemudian tulisan tersebut dianggap oleh banyak orang sebagai mengada-ngada, saya sampai dengan berat hati kembali menghapusnya. Padahal tulisan tentang beliau itu benar adanya. Tulisan yang bahkan saya sendiri baru menyadari bahwa itu merupakan jembatan yang akhirnya mampu kembali mempertemukan kami setelah sekian belas tahun saling kehilangan kontak.
Pak Udin, namanya. Sebut saja demikian. Beliau menjadi wali kelas saya sejak saya duduk di bangku kelas dua SMP. Merangkap sebagai guru Bahasa Arab dan Fiqih juga. Jika kebanyakan guru di sekolahan saya ketika itu lebih sering menghukum muridnya yang nakal dengan cara yang kasar, Pak Udin ini justru punya cara menghukum yang berbeda;
Saya ini termasuk salah satu orang yang merasa bahwa hukuman dengan berdiri di koridor sambil mengangkat satu kaki dan menjewer sendiri telinga kita dengan kedua tangan hingga jam pelajaran selesai adalah hukuman yang tidak akan membikin efek jera. Menyia-nyiakan waktu, jelas saja iya. Nah, hukuman semacam itu benar-benar tak ada dalam kamus Pak Udin. Ia selalu memanggil kedepan muridnya yang melakukan kesalahan, untuk kemudian disuruh memijit pundaknya. Terlihat tidak wajar, tapi hukuman semacam ini justru malah lebih efektif. Ketika dekat seperti itu, komunikasi jadi kehilangan batas. Dan hal itu dimanfaatkan sebagai kesempatan oleh Pak Udin untuk berbincang dengan para murid-muridnya secara lebih dalam. Maka perannya sebagai guru, justru malah tidak beda dengan peran orang tua kami sendiri.
Ada lagi hal yang tidak bisa saya lupa. Tentang kebiasaan jelek saya ketika itu, yaitu saya yang selalu menempelkan tangan ke kening jika sudah mulai bosan dengan pelajaran. Banyak guru yang malah mengatakan hal itu sebagai kebiasaan orang sok pintar. Konotasinya jelas saja negatif. Kata “sok” itu, kadang sangat menusuk hati jika saya mendengarnya. Saya akui. Tapi Pak Udin punya cara “menusuk hati” yang beda lagi. Beliau selalu menyuruh semua murid di kelas menghadap ke arah saya ketika saya secara tidak sengaja melakukan hal itu, kemudian dengan gayanya yang khas—yaitu menunjuk ke arah saya sambil menjentikkan jarinya—beliau selalu dengan keras bilang : “Lihat, Jenar. Lihat gayanya. Temanmu ini adalah seorang calon intelek!”. Efeknya apa, saya rasa anda sendiri tahu tanpa saya beri tahu.
Sejak lulus SMP, kurang lebih sebelas tahun yang lalu, kami sudah tidak lagi saling bicara—hilang kontak. Apalagi saya merantau ke Bekasi sehabis lulus SMA. Anda juga pasti tahu, sangat tidak mudah melupakan seseorang yang pernah berjasa besar pada kita dalam membentuk jati diri kita. Nah, karena saya merasa Pak Udin ini memiliki pengaruh besar dalam membentuk pribadi saya, maka saya pernah beberapakali menulis kisahnya dan menguploadnya di Kompasiana (tulisan-tulisan tersebut sudah saya hapus) sebagai bentuk penghormatan sekaligus pernyataan rindu untuk kembali bisa berbincang-bincang lantaran sudah lama tidak bertemu.
Beberapa bulan setelah tulisan itu saya upload, seseorang tiba-tiba mengajak saya chating di sebuah situs jejaring sosial.
“Awan, kamu penulis di Kompasiana ya?”
Saat saya hampir tak percaya dengan kemampuan yang saya miliki, orang ini datang menepuk pelan pundak saya. Mengangkat saya dengan cuma kata-kata sederhana. Membuat saya berdiri dengan cuma kata-kata sederhana. Membuat saya kembali berjalan dengan cuma kata-kata sederhana. Sesederhana cara dia memandang hidupnya.
Saya sudah pernah beberapa kali menulis tentang beliau, sebenarnya. Hanya karena kemudian tulisan tersebut dianggap oleh banyak orang sebagai mengada-ngada, saya sampai dengan berat hati kembali menghapusnya. Padahal tulisan tentang beliau itu benar adanya. Tulisan yang bahkan saya sendiri baru menyadari bahwa itu merupakan jembatan yang akhirnya mampu kembali mempertemukan kami setelah sekian belas tahun saling kehilangan kontak.
Pak Udin, namanya. Sebut saja demikian. Beliau menjadi wali kelas saya sejak saya duduk di bangku kelas dua SMP. Merangkap sebagai guru Bahasa Arab dan Fiqih juga. Jika kebanyakan guru di sekolahan saya ketika itu lebih sering menghukum muridnya yang nakal dengan cara yang kasar, Pak Udin ini justru punya cara menghukum yang berbeda;
Saya ini termasuk salah satu orang yang merasa bahwa hukuman dengan berdiri di koridor sambil mengangkat satu kaki dan menjewer sendiri telinga kita dengan kedua tangan hingga jam pelajaran selesai adalah hukuman yang tidak akan membikin efek jera. Menyia-nyiakan waktu, jelas saja iya. Nah, hukuman semacam itu benar-benar tak ada dalam kamus Pak Udin. Ia selalu memanggil kedepan muridnya yang melakukan kesalahan, untuk kemudian disuruh memijit pundaknya. Terlihat tidak wajar, tapi hukuman semacam ini justru malah lebih efektif. Ketika dekat seperti itu, komunikasi jadi kehilangan batas. Dan hal itu dimanfaatkan sebagai kesempatan oleh Pak Udin untuk berbincang dengan para murid-muridnya secara lebih dalam. Maka perannya sebagai guru, justru malah tidak beda dengan peran orang tua kami sendiri.
Ada lagi hal yang tidak bisa saya lupa. Tentang kebiasaan jelek saya ketika itu, yaitu saya yang selalu menempelkan tangan ke kening jika sudah mulai bosan dengan pelajaran. Banyak guru yang malah mengatakan hal itu sebagai kebiasaan orang sok pintar. Konotasinya jelas saja negatif. Kata “sok” itu, kadang sangat menusuk hati jika saya mendengarnya. Saya akui. Tapi Pak Udin punya cara “menusuk hati” yang beda lagi. Beliau selalu menyuruh semua murid di kelas menghadap ke arah saya ketika saya secara tidak sengaja melakukan hal itu, kemudian dengan gayanya yang khas—yaitu menunjuk ke arah saya sambil menjentikkan jarinya—beliau selalu dengan keras bilang : “Lihat, Jenar. Lihat gayanya. Temanmu ini adalah seorang calon intelek!”. Efeknya apa, saya rasa anda sendiri tahu tanpa saya beri tahu.
Sejak lulus SMP, kurang lebih sebelas tahun yang lalu, kami sudah tidak lagi saling bicara—hilang kontak. Apalagi saya merantau ke Bekasi sehabis lulus SMA. Anda juga pasti tahu, sangat tidak mudah melupakan seseorang yang pernah berjasa besar pada kita dalam membentuk jati diri kita. Nah, karena saya merasa Pak Udin ini memiliki pengaruh besar dalam membentuk pribadi saya, maka saya pernah beberapakali menulis kisahnya dan menguploadnya di Kompasiana (tulisan-tulisan tersebut sudah saya hapus) sebagai bentuk penghormatan sekaligus pernyataan rindu untuk kembali bisa berbincang-bincang lantaran sudah lama tidak bertemu.
Beberapa bulan setelah tulisan itu saya upload, seseorang tiba-tiba mengajak saya chating di sebuah situs jejaring sosial.
“Awan, kamu penulis di Kompasiana ya?”
“Iya. Cuma buat iseng saja.”
“Kamu kenal Pak Udin?”
“Pak Fahrudin, maksudnya?”
“Iya. Beliau guru SMP-mu, ‘kan?”
“Kok tahu?”
“Saya juga muridnya.”
“Pernah satu kelas dengan saya?”
“Tidak. Saya anak asuhnya.”
“Memang di mana beliau sekarang? Masih di sekolahan yang itu?”
“Tidak. Beliau keluar sudah lama. Kini kembali mengajar sebagai dosen di AMNI.”
“Anda di sana juga?”
“Tidak. Saya dulu tinggal di panti asuhan yang beliau dirikan.”
“Wah, hebat. Sekarang beliau punya panti asuhan :D “ *terharu*
“Kamu dapat salam dari beliau.”
“Kok dia tahu saya?”
“Iya,
beliau membaca tulisanmu tentang dirinya. Sekarang sudah jadi intelek,
ya. Pak Udin menyuruh saya untuk mencari tahu siapa Awan Tenggara.
Beliau pengen ketemu kamu.”
Endingnya, tentu mudah ditebak akan seperti apa. []
Foto Pak Udin (kanan--bawah) bersama anak-anak asuihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar