Add caption |
Ia merasakan rindu yang
sangat dalam pada kampung halamannya. Rindu akan ciap anak-anak ayam yang
berebut entah dengan burung-burung gereja di halaman depan rumahnya. Juga rindu
dimarahi oleh ibunya ketika ia harus pulang malam.
“Empat
puluh tahun,” katanya pelan. “Itu bukan waktu yang sebentar.”
Seekor Zev lewat begitu saja di sampingnya. Makhluk mirip
kelinci yang berbulu biru itu sedang beruntung, sebab biasanya Lena langsung
menangkap dan memakan binatang itu jika ia melihatnya.
“KAVAKAVAZAM!”
Tapi ternyata tidak demikian. Zev yang melompat-lompat
riang itu pun dengan segera berubah menjadi Zev panggang setelah terkena cahaya
yang muncul dari sebuah tongkat seiring mantra sihir yang terdengar keras tadi.
Bukan Lena yang melakukannya. Itu ulah Greem, penyihir kerdil yang memakai
topeng kaca untuk menutupi wajahnya.
“Apa yang sebenarnya sedang menimpamu?” Greem mengambil
Zev itu dengan sihirnya, sehingga dengan segera makhluk malang yang kini sudah
mati terpanggang itu terbang dengan sendirinya ke tangannya. “Tidak biasanya
kau melewatkan makanan selezat daging Zev ini.”
“Bukan urusanmu.”
“Kau ini tetap tidak berubah, ya.” Greem memakan dengan
lahap Zev di tangannya, “Aku dari pagi mencarimu, kau malah bermalas-malasan di
sini rupanya.”
“Buat apa mencariku? Aku toh sudah tidak berminat lagi belajar
sihir.”
“Kenapa? Kau sudah putus asa?”
Lena hanya diam.
“Setelah
empat puluh tahun yang telah lewat ini, kau mau menyerah begitu saja? Apa kau
berniat untuk mati di dunia ini dan tidak mau kembali lagi ke kampung
halamanmu?”
Lena
berjalan begitu saja. Ia sama sekali tidak mau menanggapi kata-kata Greem
barusan.
“Hey
gadis tomboy,” teriak Greem. “Maria
berhasil menangkap salah satunya.”
Kini
gadis berambut pirang sebahu itu menghentikan langkahnya. Ia menengok ke arah
Greem.
“Kau
yakin?” tanyanya dengan penuh semangat. Cahaya kebahagiaan terpancar di kedua
matanya yang bening.
***
Hampir tidak bisa
dipercaya. Kedua kaki Maria sudah tiba-tiba berada di belakang punggung Manusia
Burung. Tangannya mencengkeram kedua sayap makhluk itu. Tatapannya dingin, dan
seluruh tubuhnya kini kembali memancarkan cahaya biru.
“Siapa yang menyuruhmu?” Tanyanya pada makhluk itu sambil
menggigit rambut dari kepala boneka yang selalu ia bawa-bawa.
“Bukan siapa-siapa.” Manusia burung yang sebelumnya
terlihat gagah itu kini seperti merasa terancam nyawanya.
“Lantas, kenapa kau berani memanah jantungku?” Kedua
tangan Maria semakin keras mencengkeram kedua sayap makhluk itu. “Aku tidak
akan bisa mati hanya dengan sihir murahan seperti yang kau miliki, kau tahu?”
“A, A, Aku hanya mau memisahkanmu dari manusia itu.” Mata
makhluk itu menatap tajam Obin yang sedang berdiri terpaku di bawah sana.
Wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa sakit karena cengkeraman tangan Maria
di kedua sayapnya.
“Atas dasar apa?”
“Aku hanya ingin memakannya. Sudah lama aku ingin sekali
memakan manusia.”
Mendengar kata-kata itu, mata semua orang—yang sebenarnya
merupakan jelmaan dari para siluman—yang berada di pasar itu menjadi tiba-tiba
menyala merah. Mereka kini jadi tahu kalau sosok laki-laki yang sedang berdiri
terpaku di hadapan mereka adalah manusia. Kendati aura Maria telah menutupi
aura manusianya. Darah mereka jadi mendidih, nafsu untuk menyantap mentah-mentah
Obin jadi memenuhi otak semua orang di keramaian itu.
“Sial.” Maria merasa, seolah hal yang tidak diinginkannya
akan terjadi.
***
“Jika
tidak bisa memanjat pohon, maka yang perlu kau lakukan hanyalah terus berlari!”
Lelaki bertopeng itu berteriak kepada Dhino yang kini dikejar-kejar makhluk
seperti babi hutan, namun berkaki enam, dari atas pohon.
“Kau jangan gila! Turunlah membantuku! Ini lebih repot
dari yang kamu bayangkan.” Dhino membalas teriakan lelaki itu sambil terus
berlari.
“Ha ha ha, larilah secara zig-zag, makhluk tak berleher
itu akan kesulitan mengejarmu! Ia susah berbelok kalau sedang lari kencang
seperti itu.”
“Kau kira itu mudah?!”
Kaki kanan Dhino terperosok ke dalam lubang ketika ia
tengah berlari, sehingga ia jatuh bergulung-gulung di rerumputan. Naasnya,
makhluk serupa babi hutan yang di dunia itu disebut Reck yang mengejarnya itu
tidak mau berhenti berlari. Ia kini berada hanya lima meter di belakang Dhino.
Diukur dari kecepatan larinya, maka sudah bisa dipastikan bahwa taring setajam
pedang miliknya akan dengan sangat mudah menusuk dan membelah tubuh Dhino
menjadi beberapa bagian.
Dhino hanya bisa memejamkan mata—seolah pasrah dengan apa yang akan menimpanya.
***
KRAK!
KRAK!
Bunyi
tulang patah itu terdengar hingga ke bawah. Manusia burung itu kini jatuh tanpa
daya. Di atas, masih ada Maria dengan masih mencengkeram dua sayap yang telah
terlepas dari punggung makhluk itu.
“Jangan
ada yang berani menyentuhnya,” teriaknya. “Atau nasib kalian akan sama seperti
manusia burung ini.”
Hanya
dalam hitungan detik, Maria sudah berdiri tepat di samping Obin yang masih
berdiri terbengong-bengong. Ia jadi sedikit resah, lantaran masih ada beberapa
siluman yang tidak memperdulikan gertakannya. Maka, kini terpaksa ia
mengeluarkan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya. Aura dalam dirinya
semakin meluap-luap, hingga jalan yang ia pijak menjadi retak-retak.
***
Ia
merasa bersyukur. Tak terbayangkan apa jadinya dirinya seandainya tidak ada
laba-laba raksasa yang tiba-tiba melompat dari samping dan langsung
mencengkeram Reck yang terus mengejarnya itu dengan kedua taringnya yang tajam.
Laba-laba itu tujuh belas kali lebih besar dari Reck. Perasaan Dhino jadi
campur aduk melihatnya—antara senang dan ketakutan.
Lelaki
bertopeng kini sudah berdiri di samping Dhino, mengulurkan tangannya untuk
membantu Dhino berdiri. “Maaf, aku tidak bermaksud membiarkanmu mati oleh
makhluk itu.” Katanya.
“Tidak,
kau memang sengaja.” Dhino menanggapinya dengan nada kesal.
“Terserah
kau mau percaya atau tidak.” Lelaki bertopeng itu menarik tangannya. Dan kini
Dhino sudah berdiri di depannya, “Aku hanya mau menguji kekuatanmu.”
“Menguji?”
“Iya.”
Lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya, perilaku yang seolah sudah menjadi cirri khasnya,
“Ternyata kau ini lebih lemah dari yang aku kira.”
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar