Selasa, 12 Juni 2012

Dunia Tanpa Nama [chapter #4]


Add caption
Ia merasakan rindu yang sangat dalam pada kampung halamannya. Rindu akan ciap anak-anak ayam yang berebut entah dengan burung-burung gereja di halaman depan rumahnya. Juga rindu dimarahi oleh ibunya ketika ia harus pulang malam.
“Empat puluh tahun,” katanya pelan. “Itu bukan waktu yang sebentar.”
            Seekor Zev lewat begitu saja di sampingnya. Makhluk mirip kelinci yang berbulu biru itu sedang beruntung, sebab biasanya Lena langsung menangkap dan memakan binatang itu jika ia melihatnya.
            “KAVAKAVAZAM!”
            Tapi ternyata tidak demikian. Zev yang melompat-lompat riang itu pun dengan segera berubah menjadi Zev panggang setelah terkena cahaya yang muncul dari sebuah tongkat seiring mantra sihir yang terdengar keras tadi. Bukan Lena yang melakukannya. Itu ulah Greem, penyihir kerdil yang memakai topeng kaca untuk menutupi wajahnya.
            “Apa yang sebenarnya sedang menimpamu?” Greem mengambil Zev itu dengan sihirnya, sehingga dengan segera makhluk malang yang kini sudah mati terpanggang itu terbang dengan sendirinya ke tangannya. “Tidak biasanya kau melewatkan makanan selezat daging Zev ini.”
            “Bukan urusanmu.”
            “Kau ini tetap tidak berubah, ya.” Greem memakan dengan lahap Zev di tangannya, “Aku dari pagi mencarimu, kau malah bermalas-malasan di sini rupanya.”
            “Buat apa mencariku? Aku toh sudah tidak berminat lagi belajar sihir.”
            “Kenapa? Kau sudah putus asa?”
            Lena hanya diam.
“Setelah empat puluh tahun yang telah lewat ini, kau mau menyerah begitu saja? Apa kau berniat untuk mati di dunia ini dan tidak mau kembali lagi ke kampung halamanmu?”
Lena berjalan begitu saja. Ia sama sekali tidak mau menanggapi kata-kata Greem barusan.
“Hey gadis tomboy,”  teriak Greem. “Maria berhasil menangkap salah satunya.”
Kini gadis berambut pirang sebahu itu menghentikan langkahnya. Ia menengok ke arah Greem.
“Kau yakin?” tanyanya dengan penuh semangat. Cahaya kebahagiaan terpancar di kedua matanya yang bening.

***
Hampir tidak bisa dipercaya. Kedua kaki Maria sudah tiba-tiba berada di belakang punggung Manusia Burung. Tangannya mencengkeram kedua sayap makhluk itu. Tatapannya dingin, dan seluruh tubuhnya kini kembali memancarkan cahaya biru.
            “Siapa yang menyuruhmu?” Tanyanya pada makhluk itu sambil menggigit rambut dari kepala boneka yang selalu ia bawa-bawa.
            “Bukan siapa-siapa.” Manusia burung yang sebelumnya terlihat gagah itu kini seperti merasa terancam nyawanya.
            “Lantas, kenapa kau berani memanah jantungku?” Kedua tangan Maria semakin keras mencengkeram kedua sayap makhluk itu. “Aku tidak akan bisa mati hanya dengan sihir murahan seperti yang kau miliki, kau tahu?”
            “A, A, Aku hanya mau memisahkanmu dari manusia itu.” Mata makhluk itu menatap tajam Obin yang sedang berdiri terpaku di bawah sana. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa sakit karena cengkeraman tangan Maria di kedua sayapnya.
            “Atas dasar apa?”
            “Aku hanya ingin memakannya. Sudah lama aku ingin sekali memakan manusia.”
            Mendengar kata-kata itu, mata semua orang—yang sebenarnya merupakan jelmaan dari para siluman—yang berada di pasar itu menjadi tiba-tiba menyala merah. Mereka kini jadi tahu kalau sosok laki-laki yang sedang berdiri terpaku di hadapan mereka adalah manusia. Kendati aura Maria telah menutupi aura manusianya. Darah mereka jadi mendidih, nafsu untuk menyantap mentah-mentah Obin jadi memenuhi otak semua orang di keramaian itu.
            “Sial.” Maria merasa, seolah hal yang tidak diinginkannya akan terjadi.

***
“Jika tidak bisa memanjat pohon, maka yang perlu kau lakukan hanyalah terus berlari!” Lelaki bertopeng itu berteriak kepada Dhino yang kini dikejar-kejar makhluk seperti babi hutan, namun berkaki enam, dari atas pohon.
            “Kau jangan gila! Turunlah membantuku! Ini lebih repot dari yang kamu bayangkan.” Dhino membalas teriakan lelaki itu sambil terus berlari.
            “Ha ha ha, larilah secara zig-zag, makhluk tak berleher itu akan kesulitan mengejarmu! Ia susah berbelok kalau sedang lari kencang seperti itu.”
            “Kau kira itu mudah?!”
            Kaki kanan Dhino terperosok ke dalam lubang ketika ia tengah berlari, sehingga ia jatuh bergulung-gulung di rerumputan. Naasnya, makhluk serupa babi hutan yang di dunia itu disebut Reck yang mengejarnya itu tidak mau berhenti berlari. Ia kini berada hanya lima meter di belakang Dhino. Diukur dari kecepatan larinya, maka sudah bisa dipastikan bahwa taring setajam pedang miliknya akan dengan sangat mudah menusuk dan membelah tubuh Dhino menjadi beberapa bagian.
            Dhino hanya bisa memejamkan mata—seolah  pasrah dengan apa yang akan menimpanya.

***

KRAK!
KRAK!
Bunyi tulang patah itu terdengar hingga ke bawah. Manusia burung itu kini jatuh tanpa daya. Di atas, masih ada Maria dengan masih mencengkeram dua sayap yang telah terlepas dari punggung makhluk itu.
“Jangan ada yang berani menyentuhnya,” teriaknya. “Atau nasib kalian akan sama seperti manusia burung ini.”
Hanya dalam hitungan detik, Maria sudah berdiri tepat di samping Obin yang masih berdiri terbengong-bengong. Ia jadi sedikit resah, lantaran masih ada beberapa siluman yang tidak memperdulikan gertakannya. Maka, kini terpaksa ia mengeluarkan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya. Aura dalam dirinya semakin meluap-luap, hingga jalan yang ia pijak menjadi retak-retak.


***
Ia merasa bersyukur. Tak terbayangkan apa jadinya dirinya seandainya tidak ada laba-laba raksasa yang tiba-tiba melompat dari samping dan langsung mencengkeram Reck yang terus mengejarnya itu dengan kedua taringnya yang tajam. Laba-laba itu tujuh belas kali lebih besar dari Reck. Perasaan Dhino jadi campur aduk melihatnya—antara senang dan ketakutan.
Lelaki bertopeng kini sudah berdiri di samping Dhino, mengulurkan tangannya untuk membantu Dhino berdiri. “Maaf, aku tidak bermaksud membiarkanmu mati oleh makhluk itu.” Katanya.
“Tidak, kau memang sengaja.” Dhino menanggapinya dengan nada kesal.
“Terserah kau mau percaya atau tidak.” Lelaki bertopeng itu menarik tangannya. Dan kini Dhino sudah berdiri di depannya, “Aku hanya mau menguji kekuatanmu.”
“Menguji?”
“Iya.” Lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya, perilaku yang seolah sudah menjadi cirri khasnya, “Ternyata kau ini lebih lemah dari yang aku kira.”

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar