Pukul sepuluh pagi kami
sampai di sana. Sungguh, ini perjalanan yang tidak hanya menguras waktu, melainkan juga
tenaga. Apalagi bagi mereka yang sama sekali belum tahu di mana letak persisnya
Green Canyon. Seandainya Fei, Edi dan Ibo—teman seperjalanan saya ketika itu—bukan
merupakan jenis manusia yang pantang menyerah, saya benar-benar ragu bisa
sampai ke sana dengan keadaan sehat wal afiat dan hati bahagia (halah!).
Untungnya
teman-teman saya ini adalah orang yang “ganas” dan “liar”. Mereka adalah
pendaki-pendaki gunung yang tangguh, sekaligus taat beribadah (^3^)’
Rasanya
hampir tak percaya kami bisa menjadi tim yang solid, meski sebelumnya kami
belum saling kenal. Yap, benar! Seorang teman kerjalah yang memperkenalkan
mereka kepada saya. Mengetahui bahwa mereka semua adalah para petualang, maka
langsung saya ajak saja mereka ngetrip. Dan
itu adalah pertemuan pertama kami. Benar.
“Kemana?” tanya mereka.
Ketika saya menawarkan mengajak mereka jalan.
“Green
Canyon.”
“Oke.”
Hebat!
Tidak pakai banyak cingcong. Baru kali ini saya bertemu dengan orang-orang
seperti ini. Yang segera mengiyakan tawaran ngetrip
ke tempat yang tidak biasa. Saya benar-benar merasa bersyukur. Hati saya bahagia,
serasa terbang di awan-awan ketika itu :D (halah!chapter#2)
Wal
hasil kami berkumpul pada hari yang telah kami janjikan di Cikarang. Kami sepakat
untuk menggunakan motor untuk menempuh perjalanan ke Green Canyon. Sehabis isya’
kami berangkat dari sana lewat Purwakarta. Melewati jalan yang sepi dan dingin
menembus Subang dan kemudian Lembang (Bener ga’ ya urutannya? Agak2 lupa
soalnya :p). Yang pasti, kami sampai di Lembang sekitar tengah malam. Tempat
itu benar-benar dingin, kabut acap kali melintas di jalan-jalan dan mengaburkan
pandangan. Kami berhenti di sebuah warung, untuk ngopi-ngopi dan menikmati uli bakar. Sehabis itu, kami lanjutkan
perjalanan. Ternyata tidak sesuai prediksi. Meski siangnya saya sudah tidur angkler, malam hari itu saya tetap saja
mengantuk. Perjalanan menyenangkan ini jadi rada berbahaya lantaran kami memutuskan untuk tidak
istirahat.
Untung
driver saya adalah Ibo. Dia benar-benar tangguh. Tinggal kasih dia sebotol
kratingda*ng, maka tenaganya akan mengingkat sepuluh kali lipat serupa banteng.
Sepertinya memang seperti itu. Ia beberapa kali memergoki saya kebablasan
tidur, dan menyuruh saya untuk memeluk tubuhnya erat-erat supaya tidak
terjatuh. Sungguh tidak efektif. Andai ketika itu ada jin yang mau mengabulkan
permintaan saya, maka saya akan meminta tali rafia untuk mengikatkan tubuh saya
ke tubuh Ibo. Supaya tidak jatuh ke belakang, tentu saja.
Sejak
dari Lembang, kami hanya istirahat sekali di sebuah mushala di pom bensin.
Itupun saat hari sudah subuh. Rasa ngantuk amat sangat menguasai kami, tapi
mengingat dari tempat itu perjalanan masih harus ditempuh dalam waktu empat jam
lagi, maka kami putuskan untuk tidak istirahat lama-lama.
Tidak
mampu diungkapkan dengan kata-kata. Begitulah perasaan bahagia yang saya
rasakan saat akhirnya kami sampai di tujuan. Pengorbanan yang kami lakukan
benar-benar tidak sia-sia. Maka ketika itu juga kami langsung menuju ke tempat
penjualan karcis masuk. Ternyata macam mau naik wahana di Dufan—dan ini seperti
ngantri mau naik Tornado atau Roller Coaster—ngantrinya. Panjaaaaang banget. Untungnya
sistem antriannya ngga pake sistem labirin seperti di Dufan. Sehingga kami bisa
jalan-jalan dulu sesuka hati kemana saja untuk menunggu perahu kami datang.
Benar, ngantri ini adalah ngantri perahu.
Objek
wisata Green Canyon hanya bisa ditempuh dengan menggunakan perahu. Agak lama
sih ngantrinya, karena nomer antrian kami ketika itu adalah nomor seratus
sekian. Sementara di halo-halo (begini saya biasa menyebut mikrofon) dikatakan bahwa
saat ini perahu masih mengantarkan rombongan dengan nomor antrian enam puluh. Seandainya
backsound suara informan yang keluar
dari halo-halo itu adalah musik dangdut pantura, sungguh, saya benar-benar akan
mencatat dalam kamus hidup saya bahwa saat itu adalah saat-saat dalam hidup
saya yang paling membuat saya menderita.
Satu
perahu bisa diisi enam hingga delapan orang ketika itu. Dan masuklah Felix dan
satu orang lagi yang saya lupa namanya dalam tim kami. Mereka juga pengunjung
yang sama seperti kami, yang ketika itu masuk dalam tim kami dalam rangka
patungan perahu ^_^
Begitu
melihat wajah Green Cranyon yang sebenarnya, saya jadi merasa bahwa pengorbanan
yang kami lakukan tidaklah sia-sia. Rasanya tak percaya. Hari itu adalah lima
tahun sejak saya bermimpi ingin berkunjung ke sana. Dan ternyata Tuhan
mengabulkannya dengan cara seperti itu. Benar-benar sesuatu :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar