“Aku bahkan
benar-benar ragu kalau kau ini sebenarnya adalah manusia sepertiku,“ kata Obin
sambil membenamkan seluruh badannya hingga leher di air terjun Maholu, “Mana
ada manusia yang bisa melompat tinggi, mematahkan sayap siluman, dan membuat
jalanan retak tanpa melakukan apa-apa? Dan yang lebih membuatku heran, adalah
kau tidak bisa mati meskipun jantungmu tertusuk anak panah. Cepat sembuh lagi
lukanya.”
“Kau tahu,
Obin?” tanya Maria, sembari memakan sedikit demi sedikit ikan yang ia tangkap
dan bakar dengan sihirnya dari air terjun itu. “Suatu saat kau juga akan
menjadi seperti diriku.”
“Itu mustahil.”
“Kata-katamu itu
mirip dengan kata-kataku tiga ratus tahun yang lalu. Ketika Gaga membawaku
kemari.”
“Siapa lagi Gaga
itu?”
“Dia guruku.
Orang yang selalu menunggu datangnya hari ini.”
“Hari ini?”
“Obrolan yang
sepertinya menarik,” Kata seseorang yang berpenampilan seperti badut yang sudah
tiba-tiba jongkok di atas batu di sebrang, hidungnya bulat berwarna merah,
rambutnya keriting, ia memakai topi seperti topi angkatan laut Inggris. Dan
terlihat sedang membuat makhluk-makhluk aneh dari tanah liat dengan kedua
tangannya. “Bolehkah aku ikut?”
Suara gaduh air
terjun membuat Obin tidak bisa dengan jelas mendengar kata-kata orang itu. Tapi
ia jelas melihat raut wajah Maria yang ketakutan. Bukan lagi dingin atau
semacamnya, wajah Maria benar-benar menggambarkan ketakutan. Ketakutan. Apa yang terjadi sebenarnya?
***
“Baiklah,
sebelum kita sampai ke tujuan kita, alangkah lebih baiknya aku mengajarimu
sedikit sihir dulu dari sini,” kata lelaki bertopeng itu.
“Apa menurutmu
aku berbakat belajar sihir?”
“Apalah yang
disebut bakat itu. Kemampuan yang dibawa dari sejak lahir?” lelaki itu
menggaruk-garuk kepalanya, “Bakat tidak bisa menentukan apakah orang yang
memilikinya akan menjadi orang hebat atau tidak suatu hari kelak. Kau bisa
menjadi hebat atau tidak hanya jika kau mau berusaha atau tidak mau berusaha.”
“Hm, boleh juga
kata-katamu.”
“oke, sekarang
kau pegang ini di tangan kananmu,” lelaki bertopeng itu memberikan sebuah apel
ungu kepada Dhino.
“Apa yang harus
aku lakukan dengan apel aneh ini?” Dhino meraihnya.
“Kau ikuti saja perintahku.”
Lelaki bertopeng
itu menyentuh pelan kening Dhino, seolah membuka kunci atau entah agar kekuatan
anak itu bisa keluar. “Sekarang kau konsentrasi pada apel itu.”
“Baik.”
“Ucapkan ‘Zakka’
setelah nama buah itu.”
“Apa namanya?
Apel kah?”
“Di dunia ini
orang menyebutnya Ko.”
“Jadi, aku harus
mengucapkan ‘Ko Zakka’?”
KRAK!
Buah di tangan
Dhino tiba-tiba menjadi retak setelah ia mengucapkan mantra itu. Lelaki
bertopeng di depannya terkejut bukan main. “Mustahil, padahal kau sedang tidak
serius.”
“Maksudmu tidak
serius?”
“Ya, kau mengucapkan
mantra itu dalam rangka bertanya kepadaku, dan tidak mengonsentrasikannya pada
buah Ko itu.”
“Memangnya, apa
yang terjadi seharusnya?”
“Entahlah. Yang
jelas aku menyebut hal ini sebagai keajaiban.”
“Aku tidak
paham.”
“Guruku
mengatakan padaku, bahwa orang sepertiku haya ada satu di antara seratus orang,
ketika pertama kali aku berguru padanya dulu.”
“Hubungannya?”
“Tidak ada,” Ia
menggaruk kembali kepalanya, “Aku hanya ingin bilang, orang sepertimu itu hanya
ada satu di antara satu juta orang.”
***
“Beruntung
sekali aku bisa bertemu denganmu di sini Maria,” Badut itu menjajarkan
makhluk-makhluk tanah liat di depannya dengan rapi, “Kabarnya, kau baru saja
membuat keributan di Pasar Areo, ya? Manusia itu memang gemar membuat masalah,
ya.”
“Apa yang kau
lakukan di sini, Jaglove?” Kata Maria, ia bangkit dari duduknya. Dan seperti
biasanya ketika ia menghadapi ancaman, aura berwarna biru kini kembali
menyelimuti dirinya. Obin hanya bisa bengong menyimak percakapan mereka.
“Obin, kau
naiklah. Pakai bajumu. Pergi sejauh mungkin dari sini dan sembunyilah ke tempat
yang menurutmu aman.” Maria bicara kepada Obin, “Aku tidak yakin bisa
melindungimu dari pria ini.” Ia menengok ke badut keriting di sebrang sana.
“Ow, ow, ow. Maria.
Kau lupa siapa aku, ya?” Badut itu mengeluarkan cahaya berwarna jingga dari
tangannya. “Baiklah, akan kubiarkan kelincimu lari. Tapi sebagai gantinya,
boleh ‘kan aku bermain-main denganmu?”
Mereka saling
bertatap mata dengan dingin. Tapi ketakutan di wajah Maria jelas tidak bisa
disembunyikan.
“Sepertinya
lelaki itu berbahaya, “ Kata Obin setelah memakai pakaiannya, “Aku tidak mau
jadi pengecut, Maria. Aku mau membantumu.”
“Kau jangan
bodoh, Nak. Nyawamu itu terlalu berharga.”
“Tidak ada nyawa
pengecut yang berharga.”
“Aku menyesal
belum menceritakan semua apa yang sebenarnya kau alami ini padamu.”
“Sudahlah, kau
boleh menceritakannya nanti. Sekarang kau bilang saja apa yang harus kulakukan
terhadap pria ini. Jag jag siapa tadi namanya?”
“Jaglove. Dia
penyihir yang cukup ditakuti di dunia ini. Dia adalah pemburu kepala. Aku saja
ragu bisa mengalahkannya. Oleh sebab itulah aku menganggap keberadaanmu di sini
hanya akan membawa masalah bagiku.”
“Tidak ada orang
yang pernah meremehkanku seperti itu,” kata Obin, “Selamat, Maria. Kau orang
yang pertama.”
ZAP!
Maria melempar
tembakan berupa cahaya biru dari jari telunjuknya ke Obin. Tapi cahaya itu
hanya menyerempet rambut manusia itu. “Harus kubilang berapa kali lagi agar kau
bisa pergi dari sini? Apa perlu aku membuat salah satu bagian dari tubuhmu
cacat dulu baru kau mau menuruti kata-kataku?!”
“Aku sungguh
malu menyebut diriku sebagai seorang laki-laki jika aku menarik kembali
kata-kataku. Sudahlah, Maria. Ini akan lebih baik jika kita mati bersama.” Obin
menatap wajah badut berhidung merah yang kini sudah siap melakukan sesuatu
dengan patung-patung tanah liat di depannya, “Itu juga jika orang itu bisa
membunuh kita.”
“Kau memang
keras kepala. Tukang bengong sepertimu, entah sejak kapan jadi pemberani
begini?” Maria sedikit merasa kecewa, tapi juga bahagia mendengar pernyataan
Obin. “Merepotkan.”
***
“Setiap benda
atau makhluk di dunia ini punya nama, semakin sering orang menyebut nama
mereka, maka akan semakin berpengaruh pula sihirmu pada mereka. Tentu saja jika
kau tahu namanya, apalagi jika kau juga tahu wajah atau bentuknya.”
“Aku benar-benar
tidak bisa memahami perkataanmu.”
“Sebenarnya pada
dasarnya, semua benda atau makhluk di dunia ini tidak ada yang memiliki nama.
Kau tahu bagaimana seekor induk binatang memanggil anak-anak atau kawanannya?”
Lelaki bertopeng itu menggerakkan jari tengah dan telunjuknya ke atas dan ke
bawah, “Mereka hanya menggunakan bahasa isyarat. Jadi…”
“Jadi, apa
hubungannya nama berpengaruh pada intensitas sihir, dengan benda dan makhluk
yang tidak bernama, dan binatang-binatang yang saling memanggil dengan bahasa
isyarat?”
Lelaki bertopeng
itu menerawang ke langit, “Apa bahasaku terlalu sulit dipahami, ya?” katanya.
“Sebab kau memberikan pertanyaan dengan bahasa yang lebih sulit dari penjelasanku
yang kau bilang sulit.”
“AAAAAAAAAAAAAAh?!”
Dhino menggaruk-garuk kepalanya, “Kurasa kebiasaanmu menggaruk-garuk kepala itu
disebabkan oleh kebiasaanmu mempersulit bahasa itu!”
Lelaki bertopeng
itu tertawa, “Ha ha ha, baiklah, akan kusederhanakan lagi bahasaku.” Katanya,
***
PLOK!
PLOK!
PLOK!
“Yuuuhuuu, harap
menghadap kemari saudara-saudara.” Kata Jaglove sambil bertepuk tangan,
“Pertunjukan akan segera dimulai.” Di hadapannya sudah berdiri empat makhluk
sihir berbentuk aneh. Kini mereka semua hidup.
“Pertama akan
kuberitahu kamu, orang-orang biasa memanggil makhluk sihir ciptaan
Jaglove—apapun wujudnya—dengan Mangrove.” kata Maria.
“Seperti nama
tanaman rawa saja.”