“Saya tidak bakalan traveling ke luar negri sebelum saya pergi ke Bali.” Itulah paling tidak janji saya kepada diri saya sendiri dari jaman jebot yang masih saya ingat. Apakah begitu mustahilnya bagi saya bisa pergi ke Bali sehingga saya sampai berucap seperti itu? Jawabannya iya. Jujur nih, walaupun ada piknik ke sana dari sekolahan, saya mungkin akan menjadi satu-satunya murid yang tidak bakalan ikut. Bukannya tidak ingin, tapi saya tahu diri mengingat kondisi keuangan keluarga saya ketika itu yang tambal sulam seperti gombal dapur. Almarhum Bapak saya adalah seorang tukang jual es batu pabrikan, Ibu saya juga seorang penjual gado-gado, sehingga jika ikutan tour ke Bali akan sama saja dengan mencekik leher beliau semua (Aih! Sinetron banget). Tapi inilah ajaibnya bermimpi, akhirnya saya bisa juga mengunjungi Bali walau sembilan tahun kemudian setelah saya lulus STM.
Awalnya dompet saya tiba-tiba tebel (bukan sulap bukan sihir). Sebagai lelaki dengan integritas yang sangat tinggi, saya akhirnya ngotot ngajak seorang teman saya untuk pergi ke Bali karena beberapa minggu sebelumnya saya dipanas-panasi oleh teman saya yang lain yang bilang sudah pergi ke sana.
“Now or Never!” kata saya kepada teman saya yang saya ajak itu.
Ngajak dia yang juga bermimpi pengen mbolang ke sana juga ternyata tidak semudah ngupil. Saya harus melakukan negosiasi yang panjang dulu dengan istrinya supaya dia bisa diijinkan pergi ke sana bareng saya. Akhirnya setelah saya iming-imingi dia dengan janji yang sampai sekarang belum saya tepati untuk mengajaknya pergi piknik ke Taman Lele, Banjir Kanal dan Gua Kreo sehabis kami ke Bali, dia memberikan ijin juga.
Saya bersama teman saya yang biasa dipanggil Si Doel itu akhirnya bisa juga berangkat naik kereta tengah malam dari stasiun Poncol, Semarang. Di pagi yang telat, akhirnya sampai juga kami di Surabaya. Sembari menunggu kereta ke arah Banyuwangi yang akan berangkat dua jam kemudian, kami wisata kuliner Surabaya dulu di pasar deket-deket stasiun.
Kami tiba di Banyuwangi sekitar pukul empat sore, nongkrong bentar, lalu nyebrang dengan kapal ferry dari pelabuhan Ketapang ke pelabuhan Gilimanuk. Dapet kenalan seorang penulis di kapal yang nomernya kini udah ilang karena HP saya keformat :p beliau jadi teman bicara yang asyik mulai dari di kapal sampai perjalanan menuju terminal. Dan kami akhirnya pisah di bus jurusan terminal Ubung, Denpasar. Jam sudah menunjuk ke pukul 9 malam ketika itu. Calo-calo terminal berebutan merangkul kami yang padahal tidak ganteng-ganteng amat. Mereka bisa segera pergi cuma dengan satu kebohongan ajaib dari mulut saya; “Kami akan dijemput keluarga kami.”
Yang sial adalah budget ternyata tidak sesuai dengan apa yang sudah kami tulis di memo sebab kami selalu kehabisan tiket transportasi kelas ekonomi. Sehingga plan untuk nggembel seminggu di Bali membuat kami harus lebih menyayangi lagi duit di dompet lebih dari rasa sayang kami kepada Zakiah, si cantik teman sekelas kami dulu. Karena rencananya pagi hari kami akan langsung ke Pantai Kuta, kami putuskan untuk tidak menyewa hotel. Kami tidur di terminal. Saya percaya dengan hukum alam; siapa yang menanam kebaikan akan menuai kebaikan. Karena mengimani hal itulah, saya bisa bermalam di terminal dengan perasaan tenang.
Si Doel sepertinya sudah kelelahan, sehingga dia langsung tidur begitu nemu bangku panjang yang kosong. Tentu saja karena kami cuma berdua, saya terpaksa harus tetap terjaga demi keamanan juga. Sebab katanya di sana rawan kejahatan. Beruntungnya, saya akhirnya mendapat kawan bicara seorang tukang ojek yang baik. Kami ngobrol hingga pukul dua pagi hingga akhirnya saya ketiduran. Kenapa saya sebut dia baik karena saat saya terbangun dari tidur dua jam kemudian dia masih terjaga di samping saya. Entahlah, dia memang berniat menjaga kami atau memang ingin ngelamun sendirian di sana, yang jelas saya sangat berterimakasih kepada pemuda yang mengaku berasal dari Surabaya itu. Saya sempat mengira bahwa dia sengaja diturunkan Tuhan dari langit untuk menjaga kami, ha ha ha.. :D
Pagi hari banyak sekali SMS dan telefon yang masuk dari teman-teman, karena semalam saya apdet status lagi backpacking ke Bali. Mereka merekomendasikan banyak tempat yang bagus, penginapan murah, jalan menuju anu harus naik angkot anu dan bla bla bla yang tentu relevan dengan hal yang berbau Bali. Saya jadi sadar ketika itu, betapa ternyata saya punya banyak sekali teman baik.
Pagi hari kami berjalan-jalan keliling Denpasar sebelum akhirnya pergi ke Kuta. Betapa gembira hati saya melihat orang-orang yang masih mempertahankan adat. Lelaki dengan bunga yang terselip di satu bagian telinganya, gadis-gadis yang menaruh sesaji di setiap belokan jalan dengan gaya mengipas dupa yang khas. Hari itu, untuk pertama kalinya, saya benar-benar melihat Indonesia yang sesungguhnya. Banyak sekali pohon-pohon rindang di tepi jalan, lumut-lumut yang tumbuh subur di pagar rumah, anjing-anjing besar dan ramah yang berkeliaran di jalan-jalan yang saya lihat di sana jujur langsung membuat saya lebih mencintai Negri ini! (Pake tanda seru nih)
Dan ini dia wajah Pantai Kuta yang tersohor itu :
Selanjutnya di NglayapTerus : Ke Bali (Bag.2) : Bocah-Bocah yang Tak Patuh Aturan
"...Sialnya lagi ternyata kami baru sadar kalo kunci motor kami jatuh di tengah jalan sehingga motor tidak bisa mati. Kami akhirnya muter-muter nyari tukang kunci untuk bikin kunci motor baru. Hal itu tentu membikin hati kami gundah gulana mengingat kondisi dompet sudah setipis saringan kelapa. Membayangkan bahwa membuat kunci motor di kota kami sangat mahal, kami memutuskan akan langsung pulang ke Jawa sehabis bikin kunci motor itu. Tapi, eh, lagi-lagi kami ketemu orang baik" :D Miaw!
Lucky Club: A Complete Guide to Online Gambling in 2020
BalasHapusThe biggest gambling luckyclub platform for the online gambling industry, Lucky Club is the name of a number of highly respected gambling sites. The website has been