Selasa, 26 Juni 2018

Ke Bali (Bag.2) : Bocah-Bocah yang Tak Patuh Aturan

Sungguh, Perjalanan dengan kereta api ke Bali ketika itu adalah hal yang sampai sekarang masih membuat hati saya merinding jika mengingatnya. Langit malam yang gelap dan tua, lampu-lampu yang mengular di sebrang jendela, kaca jendela yang retak, sekaleng bir dan buku harian dengan sampul coklat adalah sesuatu yang sudah lama bermukim di kepala saya bahkan sebelum perjalanan hari itu.
Bisa sampai ke Kuta bagi saya adalah kisah hidup yang teramat luar biasa, karena bagi saya Bali adalah kunci untuk membuka gerbang mimpi selanjutnya. Seperti apa yang saya telah katakan sebelumnya. (Taelaaah, lebay banget ya opening di bagian ke-2 ini :D)

Well, mari kita mulai ceritanya lagi…
            Tidak sia-sia saya beli peta Indonesia yang saya bawa ketika itu di loakan. Sebab dari situ saya bisa menentukan tujuan. Setelah Kuta kami bermaksud pergi ke sebuah Pura yang ada di atas bukit. Kami menyewa sepeda motor dari penyewaan di Kuta, lagi-lagi kami bertemu dengan orang baik, kami dapat potongan harga yang wah karena yang menyewakan kebetulan juga orang Semarang. Si Doel akhirnya jadi sopir setia saya mengingat mata saya sudah minus dua dan tidak bawa kaca mata ketika itu. Kami langsung menuju tujuan kami dan eng ing eng, ini memang klasik, seperti perjalanan-perjalanan kami sebelumnya; KAMI NYASAR!

            Sialnya lagi ternyata kami baru sadar kalo kunci motor kami jatuh di tengah jalan sehingga motor tidak bisa mati. Kami akhirnya muter-muter nyari tukang kunci untuk bikin kunci motor baru. Hal itu tentu membikin hati kami gundah gulana mengingat kondisi dompet sudah setipis saringan kelapa. Membayangkan bahwa membuat kunci motor di kota kami sangat mahal, kami memutuskan akan langsung pulang ke Jawa sehabis bikin kunci motor itu. Tapi, eh, lagi-lagi kami ketemu orang baik :D
            “Dua puluh ribu saja, Mas.” Kata tukang kunci di daerah Pasar Seni Sukawati itu saat kami menanyakan harga. Kami jelas akhirnya bisa bernafas lega. Tak ada yang menyangka kami bisa sampai ke Pasar Seni Sukawati, kunci motor yang hilang ternyata juga kunci yang bisa membawa kami hingga ke Pasar Eksotis yang tersohor itu. Akhirnya, kami jelas mengubah tujuan dan cuci mata di sana melihat bule-bule kinclong :D

 


 

 

Setelah di pasar itu, kami bermaksud ke Gua Gajah setelah melihat bahwa tempat wisata itu merupakan yang paling dekat dari sana. Gua Gajah sendiri juga kami tidak tahu isinya apa. Dan setelah menuju sana, eng ing eng; KAMI KESASAR LAGI! Akhirnya kami malah sampai ke Sacred Monkey Forest Sanctuary, Ubud. Ini tempat ternyata sangat eksotis. tidak sia-sia lah nyasar ke sana. Maka, boleh dibilang ini semacam Serendipity (^3^)9







 



Setelah narsis-narsisan di Hutan Kera, kami langsung menuju Pantai Kuta lagi. Hari turun hujan ketika itu. Sampai Gianyar, kami dikejutkan dengan kemunculan pelangi sehabis berbasah ria dengan hujan. What a wonderful journey! Siapa yang menyangka kami bisa melihat pelangi di atas langit Bali.


Langit masih terang benderang saat kami sampai di Kuta. Sehingga kami lantas memutuskan untuk pergi ke Tanah Lot. Sayangnya ketika sampai di sana, senja sudah habis. Walau begitu, kami tetep ngotot mau masuk ke sana.
            “Memang duit tinggal berapa? Bayar tidak masuknya?” Tanya Si Doel.
            Saya sempet gelisah juga setelah melihat kondisi kantong, tapi nanggung kalo pulang karena sudah sampai di sana. Akhirnya saya keukeh  masuk. “Sudahlah, tidak bisa pulang ke Jawa adalah urusan nanti.” Kata saya.
            Tanpa pikir panjang lagi saya kemudian tanya ke Pecalang tempat penjualan tiket, “Sudah, langsung masuk dan parkir motor saja.” Katanya dengan wajah yang ramah. Gratis?!! Batin saya. Betapa gembira hati saya ketika itu sebab lagi-lagi ketemu orang baik. Tapi ternyata kami bingung arah masuk ke pantai karena lupa tanya. Hingga terpaksa saya tanya ke Pecalang yang berjaga di dalam area wisata.
            “Tadi sudah beli tiket belum?” Pak Pecalang malah bertanya demikian.
            Gawat!, pikir saya. Dan mau tidak mau, saya jawab dengan jujur saja. “Belum, Pak. Tadi kata Pecalang yang di depan kami disuruh masuk saja.”
            “Oh. Ke situ, nanti belok kanan.” Kata beliau sambil menunjukkan arah masuk ke pantai.
            Yes! Batin saya. Saya akhirnya bisa masuk Tanah Lot juga walau hari sudah gelap gulita.

 

Usai di Tanah Lot, kami bermaksud tidur di tepian pantai Kuta sebab sisa uang di dompet kami tidak cukup untuk menyewa hotel yang bahkan kelas melati sekalipun, tapi kata orang kalau melakukan hal itu di sana bakal bisa berurusan dengan Pecalang. Akhirnya saya mengajak Si Doel untuk pergi ke tengah kota di hari yang sudah tengah malam itu.
            “Ke mana?” katanya.
            “Cari emperan toko yang jauh dari jalan. Koran masih ada di tas ‘kan?”
            “Mau ngapain di sana?”
            “Tidur, lah.”
Tidak sia-sia punya bakat gembel. Kami akhirnya tidur di emperan toko itu. Meski resiko ditangkap Pecalang menghantui, saya sudah menyiapkan jutaan jawaban ajaib untuk menghadapinya. Tidur di sana memang melanggar aturan, tapi kalau terpaksa mau bagaimana lagi?
            Katanya ketika itu saya ngorok. Begitu nyenyak saya ketika tidur di emperan toko, lebih nyenyak ketimbang tidur di Spring Bed selama ini. Bahkan katanya, kaki saya kehujanan ketika tidur itu saya sampai tidak terbangun. Pagi hari saya mendapati sebelah mata bagian bawah saya benjol digigit semut. Biar saja, ini mungkin hukuman dari Dewa-Dewa pulau Bali, batin saya.
Motor sudah harus kembali jam 12, sehingga sisa waktu kami manfaatkan untuk jalan-jalan di Legian, foto-foto di Monumen Bom Bali, membaca sejarah kelam yang pernah ada di sana.

Selanjutnya, saya dikagetkan oleh sebuah inbox ketika membuka email di warnet yang inti bunyinya saya harus segera tiba di Jakarta tidak lebih dari 48 jam karena nama saya tercantum sebagai salah satu dari 10 pemenang Lomba Cipta Puisi Esai yang diadakan oleh Yayasan Denny JA! Saya harus menghadiri acara launching buku yang dihadiri juga oleh sastrawan-sastrawan ternama itu, seperti Pak Leon, Agus R. Sarjono, Sudjiwo Tedjo dan banyak lagi. Yang penting hadiah sekitar sekian juta itu jangan sampai hangus,  kata hati saya yang ketika itu dikecewakan oleh kondisi kantong yang sudah bokek pakek banget. Saya harus sampai ke Jakarta sementara ongkos untuk pulang ke Jawa saja sudah membuat kami kembang kempis?!! Bisa ‘kah? Basa ‘kah? Tunggu cerita perjalanan saya selanjutnya! :)


Selanjutnya di NglayapTerus : 

Ke Bali (Bag. 3) : Dua Sayap Kecil yang Tiba-Tiba Tumbuh

Siapa yang berjalan, ia akan sampai. Begitulah kata pepatah. Meski duit tinggal ceban dan saya harus sampai di Cassablanca yang saya sendiri tidak tahu di mana itu, saya tetap yakin akan sampai di sana. Untung saja lagi-lagi saya ketemu orang baik, sopir angkot yang mengantar saya privat ke Cassablanca. Istilah Jakarta adalah kota para ular dan serigala ternyata cuma omong kosong.   


Tin! Tiiiiin!!!

1 komentar: