“Ke Solo lah. Dosa lo nanti kalo ga lebaran ama gue.” Kata teman SMP saya Hizam yang sudah lama tidak ketemu, lewat HP waktu dia lagi di Solo.
“Et, bicara dosa. Dosa udah ga nampung lagi di tubuh gue tauk. Udah overload. Kata saya yang ketika itu lagi ikutan berburu musang bersama orang asing yang saya temui di pelosok sawah di daerah Magelang. “Ngapain sih lo ke Solo?”
“Biasalah, wisata kuliner. Nyusul gih.”
“Ga ada duit, bro. Kalo mau, transfer dong ke rekening gue. Itung-itung THR gitu, he he..”
“Et, lo. Kapan sih lo pernah punya duit?” Kata dia, “Ya udah, kirimin gue nomor rekening lo. Dasar backpacker kere.”
“Hahahaaha, yess! Mumpung kantor belum buka nih, oke gue temenin lo jalan-jalan.”
Dan berangkatlah saya beberapa jam kemudian setelah tau angka di ATM sudah nambah. Belum pernah saya berangkat ke Solo dari Magelang. Ternyata harus muter Jogja dulu. Otomatis karena posisi saya ketika itu ada di Mendut, saya naik saja bus dari terminal Borobudur. Dari sana saya tanya orang, untuk ke Solo ternyata saya harus transit di terminal Giwangan, Jogja, untuk ganti bus jurusan Jogja-Solo. Okelah, saya ingat kata-katanya. Tapi begitu sampai terminal Jombor, insting backpacker saya main. Belum genap seminggu saya juga pernah datang ke terminal ini ketika akan ke Malioboro. Dari terminal Jombor ini saya bisa naik bus Trans Jogja yang bisa nganter saya hingga Malioboro dengan cuman Rp. 3000.Well, berubahlah kemudian plan dalam otak saya.
Jombor> Malioboro> Stasiun Tugu> Kereta Pramex = 3000 + 10.000 bisa nyampe Solo. Ini lebih hemat dan ga makan waktu dibanding naik bus yang belum tentu di jalan bakalan kena macet atau tidak.
Lantas turunlah saya di Jombor dan bukan Giwangan untuk kemudian naik bus Trans Jogja menuju Stasiun Tugu. Dan kawan, inilah yang dimaksud oleh pepatah Jawa : golek uceng, kelangan delik;. Hanya karena mencari sesuatu yang lebih kecil, kita malah kehilangan hal yang lebih besar. Sebab bukannya lebih hemat, cost saya malah nambah. Kereta Pramex ternyata sudah berangkat lima belas menit sebelum kedatangan saya di stasiun itu. Dan cuma akan ada lagi beberapa jam kemudian. Sia-sia. Manusia boleh berencana, tapi Tuhanlah yang berhak menentukannya. Memang.
Mau tidak mau karena teman saya sudah lama menunggu di Solo, saya kembali harus naik bus Trans Jogja menuju terminal Giwangan untuk mencari bus jurusan Solo-Jogja daripada harus menunggu kedatangan kereta selanjutnya. Meski begitu, itu malah jadi pelajaran yang menyenangkan, karena akhirnya saya bisa muter-muter Jogja juga.
Hari sudah gelap ketika saya sampai di Solo. Langsung saja saya temui teman saya di hotel tempat dia menginap. Mandi bentar, dan keluar lagi buat jalan-jalan.
“Apa?!!” kata saya kaget setelah melihat kostum teman saya.
“Kenapa kaget?”
“Masa’ mau jalan-jalan saja harus gitu penampilannya?”
“Why not?” jawab dia santai, “Tren, bro.”
Mau bagaimana lagi, dia sih yang ngebosin. Malu juga sih sebenarnya jalan bareng orang yang suka make headphone gede yang wireless sambil gendong tablet untuk memberi kesan richy dan santai, tapi kalo kata saya malah ga ada santai-santainya pisan dan malah terkesan formal. Dan sama sekali kehilangan sisi simply life. Selera kampung, selera orang yang ga pernah kaya, pikir saya. Udik. Mesin kapitalis. Cowok apalagi. Bla bla bla.
Dan saya barangkali lebih kampungan lagi, sebab make oblong, jaket robek, celana jins dan sepatu kulit warna coklat yangabsolutely nge-rock. Ha ha ha, tapi saya nyaman kok makenya. (Ternyata sama saja!)
Tujuan pertama adalah ke Ngarsopuran. Tempat ini jika malam minggu dibuka pasar malem yang menjual barang-barang seni dan boleh dibilang unik. Tentu asyik jalan ke sana jika malam minggu. Sayangnya hari itu bukan malam minggu. Walau demikian, banyak juga orang-orang yang nongkrong di sana ketika itu meski malam itu adalah hari biasa.
Kami mencoba Es Puter dan Bakso Bakar. Dan Bakso Bakar inilah yang menjadi awal bencana bagi kami kemudian. Rasanya yang nikmat dan pedasnya membuat mulut kami lantas butuh pertolongan pertama.
“Kita cari Es Tehhhhhhhh!”
Karena tak ada es teh di sana, kami menuju kafe tempat biasanya dulu kami nongkrong ketika ada di sana. Dengan kondisi mulut kepedesen seperti itu, langsung saja kami sambar semua makanan yang mata kami rasa cocok sekali menghuni perut, sekalian es yang sudah dijajar bergelas-gelas di meja.
“Berapa, Mbak totalnya?” kata kami seperti biasanya untuk membayar di muka.
“Sudah, langsung dibawa saja.”
“Oke.”
Kami lantas nongkrong di lantai dua. Di sanalah kemudian kami mulai merasakan keanehan. Emh, ada yang tidak beres.
“Menurutmu, apa yang membuat kafe ini terlihat lain dari biasanya?”
“Semua pengunjungnya memakai seragam yang sama.”
“Itu artinya....” kata kami bersamaan, “KITA HARUS MENYIAPKAN RENCANA PELARIAN YANG JENIUS DAN AMAN!”
Bergegaslah kami turun setelah merasa kekenyangan. Pura-pura cuek, santai, kata saya dalam hati. Maka pura-pura saya jadi fotografer walau cuma dengan kamera saku. Jeprat-jepret, begitu lihat security, inilah jurus ajaib yang kami pakai untuk bisa keluar dari tempat itu;
“Pak, jual pulsa di mana ya?” tanya kami.
“Oh, di sana, Mas.” Kata beliau sambil menunjuk sebuah kios yang berjarak sekitar seratus meter dari tempat itu.
“Terima kasih.” (Sambil memasang wajah pengen beli pulsa dan balik masuk lagi ke kafe itu)
Punya bakat juga kita jadi agen rahasia, pikir saya. Maka, akhirnya kami berhasil lolos dari tempat yang membikin hati kami diliputi perasaan bersalah itu. Kami langsung nyegat taksi untuk mengantar kami menuju hotel. Ternyata ada fungsinya juga saya selalu bawa kamera di tas, dan yang jelas tablet punya teman saya itu juga. Siapa sangka.
Dugaan kami ternyata dibenarkan oleh foto yang sempat saya ambil, sebuah spanduk dan papan pengumuman di depan kafe itu yang sebelumnya tidak sempat kami baca ketika masuk sebab mulut kami sudah terlebih dahulu dihajar rasa pedas dari bakso bakar khas Ngarsopuran.
Begini tulisannya :
“SELAMAT DATANG PESERTA JAMBORE ***** 2013; CLOSED PARTY, Invitation Only.”
What a joke! -_-‘
Pelajaran moral nomor seratus dua puluh tujuh : Ketidaktahuan justru bisa jadi sebuah anugrah, kadang-kadang. Gratifikasi ala kami itu salah satu contohnya.
Banyak sekali tempat untuk dieksplorasi di Solo. Bangun tidur, tentu saja rugi jika tidak keluar hotel buat jalan-jalan.
Tidak seperti biasanya, teman saya yang satu ini sepertinya makin pintar saja memilih hotel, kali ini yang dipilihnya punya posisi strategis, deket Grand Mall. Sehingga akses jalan-jalan jadi mudah. Kami kemudian ke Taman Sri Wedari, Kampung Batik, Keraton Surakarta, Pasar Klewer, dan jajan di Galabo hingga hari sore.
Perjalanan hari itu punya ending yang naas. Saya naik travel waktu pulang Magelang. Dan travel itu cuma mau berhenti di Artos saja, sementara kantor saya tempat saya tidur ada di Tanjung. Ketika itu malam dan sudah ga ada angkot. Mau naik taksi juga duit tinggal ceban. Telephon temen juga HP pada mati. Mau naik ojek juga duit udah kepotong beli rokok goceng (Jadi perokok berat itu memang menyedihkan!). Iya kalo di kantor ada orang, mungkin saya bisa pinjem mereka kemudian. Kalo ga ada? Akhirnya sebagai antisipasi, saya jalan kaki saja dari Artos hingga Tanjung yang lebih dari tiga kilometer. Yang pasti, jalan kaki dari Artos sampe Tanjung itu saya habis rokok empat batang dengan cara berjalan ala tentara.
Tuhan, saya putuskan buat jalan kaki dari sini sampai kantor. Saya janji tidak akan menerima tumpangan dari siapapun deh. Dan semoga, atas hal ini, Engkau kemudian bersedia mengabulkan hal yang hambamu minta (Lebay). Batin saya ketika mulai melangkah. Dan, eh, walaupun jauh, saya berhasil juga menempuhnya, berjalan melewati tepian kompleks militer, berkeringat, dengan tubuh terasa panas walau udara Magelang ketika itu begitu dingin. Sampai kantor tidak ada orang. Kunci juga dibawa, HP juga pada tidak bisa dihubungi. Sekali lagi, saya pakai saja bakat agen rahasia yang lainnya.
Akhirnya saya bisa masuk dan tiduran karena kelelahan.
“Lhoh, masuk dari mana?” tanya teman saya—yang membawa kunci kantor—yang kemudian datang.
“Sulap.”
Saya pun terlelap lebih awal dari biasanya. Dan esoknya ketika terbangun, ada hal yang membuat saya sampai ketika menulis tulisan ini masih susah untuk mempercayainya.
“Ini” kata teman saya sambil memberi saya sesuatu pagi itu. “Laptop buat kamu.”
Oh, inilah yang disebut keajaiban dari kekuatan tekad itu, kawan. Kita akan mendapatkan apa yang hati kita inginkan dengan sungguh-sungguh. Believe it or not. Tidak sia-sia saya kehabisan duit dan jalan kaki malam itu. Sebab hal itu ternyata bisa membuat saya berada di frekuensi yang tepat untuk melangitkan doa. Betapa.
Pelajaran moral nomor tiga ratus enam puluh empat : Musibah bisa jadi sebuah anugrah. Jika kau tahu cara mengubahnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar