Jumat, 18 Februari 2011

Puisi : Aku Suka Kamu

aku suka kamu, suka penampilanmu
karena kau tak menor kayak SPG parfum di mall-mall

walaupun kau makan siomay dan minum es cendol
sambil sendalan jepit di pinggir kali yang butek
di mataku Julia Perez masih tetep
kalah seksi dari gayamu

dan, sayang. apa kau tahu?
rambutmu yang selalu kau kuncir ekor kuda itu
setiap waktu membuatku ingin selalu membelainya

sebab itu sekali waktu aku ingin mengajakmu pergi
memboncengkanmu di belakang sepeda jengki
sambil ngemut lollipop atau gulali

akan kubawa kau ke pasar malam,
buat naik odong-odong
dan komidi putar sampai pagi
lalu pulang sambil bertralalatrilili

karena aku suka kamu
karena aku suka kamu


Sarang Angin, 15.01.2011

Cerpen : Desa Baik Hati


Langit masih menurunkan gerimis kecil-kecil saat aku berjalan menyusuri pematang ladang sesawi dan lobak menuju sebuah gerbang desa yang sudah kuputuskan akan kusinggahi hingga beberapa hari ke depan untuk beristirahat. aku berpikir ini desa yang sangat tentram, terletak tepat di lereng gunung dan dikelilingi ladang-ladang bunga dan sayuran, ketika pertama melihatnya dari atas bukit tadi, aku membayangkan, dengan tinggal di sini, aku pasti akan melahirkan banyak tulisan-tulisan dengan kisah yang segar dan dalam.

Dua pohon damar besar  tumbuh berhadapan di sisi jalan sebagai gerbang desa, dua pohon itu disatukan dengan sebuah papan lebar berbentuk persegi yang dijalari tanaman bouganville ungu, terukir sebuah tulisan 'DESA BAIK HATI' di papan itu , pertama kali membacanya aku langsung ingat sebuah cerita yang beredar luas di desa yang aku temui sebelum ini, bahwa ada sebuah desa dengan nama yang sama dan letak geografis yang sama dengan desa ini. menurut cerita, desa itu walau namanya demikian, semua penduduknya tak pernah bersikap ramah kepada setiap pendatang yang berasal dari luar desa, semua akan menatap dengan sinis dan menutup warung yang ada ketika mengetahui bahwa ada orang asing yang masuk ke desa mereka. aku berpikir, jangan-jangan desa yang mereka maksud itu adalah desa ini, benar atau tidak, aku akan membuktikan dengan mata kepalaku sendiri.

Masih 50 meter dari gerbang desa sebelum aku benar-benar memasuki desa itu, gerombolan anak-anak di dalam desa itu sudah berteriak keras, "ADA PENDATANG, ADA PENDATANG...!!" tentu saja aku kaget, seluruh penduduk desa langsung keluar rumah dan menuju ke gerbang itu. aku tak tahu apa yang terjadi, tapi mereka semua berdiri di gerbang itu seolah menyambut kedatanganku. aku menyapa mereka dengan senyuman setelah sampai tepat di gerbang itu, "selamat siang..," kataku. mereka tidak menunjukkan ekspresi apapun dan malah saling menatap ke sesama mereka.

"Berapa hari kau akan tiggal di desa ini, nak?" kata seorang kakek tua yang baru saja turun dari pedati berisi tomat-tomat merahnya.

"Kalau boleh, saya akan tinggal selama tiga hari di desa ini." jawabku.

"Syukurlah.." kata mereka serempak sambil tersenyum bahagia.

aku tak tahu apa yang terjadi, yang kutahu ternyata desa ini tidak seperti yang dibicarakan orang-orang di desa sebelah tadi, mereka ramah, mereka menyambutku dengan hangat.

"Ayo tinggal di rumahku, kak" seorang lelaki kecil yang membawa sebuah pot plastik berisi bibit bouganville tiba-tiba memegang pergelangan tanganku dan mengajak aku untuk singgah di rumahnya. Tak bisa kutolak, aku menerima tawarannya dengan senang hati. Begitu juga dengan seluruh penduduk desa, mereka seperti bahagia jika aku mau tinggal di rumah keluarga anak itu.

“Siapa namamu, dik?” tanyaku.

“Panggil aku Penggembala Hujan” jawabnya sambil meringis.

“Oh, begitu ya? Baiklah. Aku Awan, Awan Tenggara lengkapnya.” Kataku sambil bercanda menusuk pelan perutnya dengan jari manisku.


***

“Kopinya, Nak.” Ayah si Penggembala Hujan membawa dua cangkir kopi, satu untukku, dan satu lagi untuknya. Kami bicara begitu akrab malam ini, tak banyak yang kami bicarakan tentang desa ini kecuali semua cerita tentang pengembaraanku.

Memandang desa ini sambil ngobrol dan minum kopi ketika malam di bawah terang bulan sungguh membuat hatiku tentram, kunang-kunang yang bertebaran, suara bancet, jejangkrik, hingga ciap burung-burung malam, seluruhnya melengkapi ketentraman dan tentu saja kesahajaan penduduk desa ini.

“Pak, esok saya mau jalan-jalan keliling desa..” kataku.

“Sama aku saja, Kak!” tiba-tiba si Penggembala Hujan memeluk erat tubuhku dari belakang sambil berteriak. Ayahnya hanya tersenyum.

“Iya, kau jalan-jalanlah bersama anakku, dia adalah pengagum alam sepertimu, dia pasti akan membawamu ke tempat-tempat paling indah di desa ini”

“Ah, terimakasih banyak, pak.”

Perbincangan itu tak bisa mengobati rasa lelahku karena perjalanan panjangku siang tadi, akupun mengistirahatkan tubuhku dan tidur hingga tak bisa bermimpi karena aku memikirkan perjalanan yang indah esok hari.


***


Pagi ini aku sudah berada di sebuah tempat yang nyaman, sebuah lahan bidang yang tidak terlalu luas, ditumbuhi rumput teki dan dikelilingi anyelir, lili, juga tak ketinggalan, bouganville ungu. Tempat ini terletak tepat di atas sungai bening yang mengalir pelan, mendengar gemericiknya membuatku ingin selalu menulis puisi, apalagi memandang tepat di depannya, sebuah gunung besar dengan hutan yang didominasi oleh pohon-pohon phinus yang tinggi berdiri menjulang di sana.

“Ini tempat rahasiaku, kak!” kata si Penggembala Hujan, “aku yang menanam semua bunga ini, juga semua bunga yang ada di desa, aku berharap suatu hari nanti aku bisa menjadi seorang insinyur pertanian”.

“Wah, kau hebat. Baiklah, kalau begitu mari kita pejamkan mata dan berdoa agar cita-citamu itu terkabul.”

“Apa tidak jadi masalah jika terkabul, kak?” kali ini si Penggembala Hujan bicara lirih padaku, matanya mencerminkan kesedihan.

“Lho kenapa memangnya, bukankah itu cita-cita yang mulia?”

“Aku berfikir begitu, tapi semua anak-anak desa mengataiku bodoh, ‘masak anak laki-laki suka tanaman? Huu.. bodoh..bodoh..’ begitulah mereka sering mengejekku.”

“Kau tidak bodoh, sudah kubilang kau ini hebat, kalau kau mau tahu seperti apa itu orang bodoh, aku akan bercerita padamu. Aku punya sebuah cerita tentang si bodoh.”

“Memang ada cerita seperti itu, kak? Baiklah, aku mau mendengarkannya.” Si penggembala hujan merapat ke sampingku dan mau mendengarkan ceritaku dengan serius.

“Oke, mari kita mulai, suatu hari ada seorang terbodoh di dunia pergi bertualang, karena kebodohannya, sampai di manapun ia selalu dibohongi, kali ini uang, pakaian dan sepatunya tertipu semua. Tapi petualang ini memang terlalu bodoh, hanya dengan satu kata ‘terimakasih’ saja, barangnya ditipu semua. Dan bodohnya lagi, dia malah menangisi orang yang membohonginya. Lalu memberikan semua harta benda yang ia miliki. Ia jadi miskin, tidak memiliki apapun. Petualang ini merasa malu, jadi ia memutuskan untuk bertualang ke hutan. He he bodoh ya..”

“Sampai di situ saja kisahnya?” si Penggembala Hujan menyela sambil mengerutkan dahi.

“Masih ada, mari kita lanjutkan. Kali ini dalam petualangannya di hutan, petualang bodoh itu bertemu dengan setan-setan. Setan-setan itu ingin memakan tubuh petualang itu, lalu mulai membohonginya. Petualang itu, karena saking bodohnya, ia bisa tertipu dan memberikan kaki dan tangannya kepada setan itu. Belum puas, setan itu menipunya lagi, hingga akhirnya petualang itu tinggal memiliki kepala saja. sambil memakan bagian tubuh petualang itu, sang setan berkata padanya bahwa ia akan memberikannya sebuah hadiah. Tapi ternyata itu hanya bohong belaka, karena ternyata hadiah yang diberikan setan itu adalah secarik kertas bertuliskan ‘MANUSIA BODOH!’. anehnya, petualang itu tetap bahagia karena seumur hidupnya, inilah pertama kalinya ia mendapatkan hadiah. Ia tak henti mengucapkan terimakasih kepada setan itu, betapa bodohnya…”

“Kemudian apa yang terjadi?”

“Petualang itu terus menangis karena bahagia, sampai akhir hayatnya ia tetap tidak tahu bahwa ia telah dibohongi, akhirnya petualang itu meninggal di hutan belantara seorang diri, tanpa siapa-siapa, semua setan menertawakannya  dengan geli. bodoh ‘kan…”

Si Penggembala Hujan mengerutkan keningnya lagi sambil menatap tajam wajahku, ia berkata, “Kenapa bodoh, kenapa kakak selalu meyebutnya bodoh setiap mengakhiri cerita? Menurutku, ia yang selalu ditipu tapi tetap mengucapkan terimakasih sambil meneteskan airmata bukanlah tindakan bodoh. Ia tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, itu pasti yang namanya keikhlasan, itu pasti karena Tuhan menganugerahi padanya cinta yang besar. Kalau aku bertemu dengannya, aku tak akan mencari kesempatan untuk bisa menipunya, aku ingin menolongnya, aku ingin membahagiakannya, orang seperti ini, aku pasti akan mengangkatnya menjadi saudara jika berjumpa.”

Aku tak habis pikir ada orang yang akan memberikan jawaban seperti itu usai mendengar cerita ini, aku merasa terpukul, mengingat orang yang mengutarakannya padaku adalah seorang anak kecil, aku jadi tahu bahwa umurku tidak pernah menjamin kedewasaanku. Aku memeluk kepala si Penggembala Hujan. Lalu berbisik padanya pelan-pelan;

“Kau tahu mengapa air di sungai itu memilih pergi dari mata air dan mengalir menuju ke tempat yang bahkan ia pun tidak tahu apakah tempat itu akan menerimanya? dia seperti halnya aku, ingin terus mengalir, dia mengembara, dia ingin menemui setiap hal yang tak pernah ia temui, hal yang akan membuka matanya, hal yang akan membuat ia kuat, hingga ia bisa menjadi besar seperti samudra. Intuisi dan percaya diri, itulah yang ia miliki. Ia tidak tahu akan sampai dimana perjalannya nanti, tapi dia selalu tahu bahwa dia akan bertemu dengan orang-orang yang dapat membesarkan jiwanya seperti kamu.”

Si Penggembala Hujan hanya tersenyum kecil, lalu kami menghabiskan hari itu berdua dengan memancing ikan di danau belakang desa.

***

“Kau boleh jadi petualang dan penulis seperti kak Awan kalau kau mau, ikutlah dengannya, ayah dan ibu pasti bahagia.” Kata ayah si Penggembala Hujan saat kami semua menikmati teh di ruang keluarga. Tapi si Penggembala Hujan tidak mau dan memilih tinggal di desa, meski sebenarnya ia ingin ikut berpetualang bersamaku, entahlah, aku juga tak tahu, seperti ada sebuah isyarat dalam mata keluarga ini saat kami berbincang.

 Ini hari ketiga sejak aku memasuki desa ini, aku tidak tahu bahwa tinggal di desa ini akan begini nyaman, maka akhirnya akupun memutuskan untuk tinggal lebih lama di sini. Belum sempat aku bilang pada yang punya rumah, seluruh penduduk desa sudah berkumpul di depan rumah si Penggembala Hujan, tak ada keperluan apapun kecuali untuk bertemu denganku. Dan akupun keluar untuk menemui mereka.

“Tuan Awan, apa anda betah tinggal di desa ini?”

“Ah, iya. saya sangat bahagia tinggal di sini, rencananya saya akan menambah hari untuk bisa tinggal lebih lama..”

“Ah, bukankah tuan sudah berjanji kalau tuan hanya akan tinggal tiga hari saja di desa ini?” tatapan mereka begitu sedih, terlihat seperti ingin agar aku bisa tetap tinggal di sini lebih lama, tapi pertanyaan mereka barusan, dari intonasinya aku tahu bahwa mereka juga hendak mengusirku. Lagi-lagi aku dibuat tak paham, atmosfir seperti ini, persis seperti dengan yang kurasakan ketika aku bicara dengan keluarga si Penggembala Hujan tadi.

“Baiklah, saya paham. Nanti siang saya akan pergi dari sini.” Aku mencoba memahami dan memberikan mereka senyum termanisku.

Mereka sangat bahagia, bahkan ketika aku pergi, setiap penduduk memberiku oleh-oleh. Aku tak tahu apa yang terjadi, ini terasa seperti bahwa aku adalah malaikat yang baru saja turun dari langit dan menyebarkan kebahagiaan di desa ini.

Terakhir sebelum aku pergi, si Penggembala Hujan memelukku eret-erat, ia menangis dan memberi aku sepucuk surat.

“Kakak, terimakasih. Aku bahagia bertemu kak Awan Tenggara. Hati-hati di jalan ya..” itulah kata-kata terakhirnya yang ia ucapkan padaku. Aku mencium kepalanya, kemudian berpaling pergi.

Tanpa sadar setelah memunggungi mereka, tak terasa kedua mataku meneteskan airmata. “ini sungguh desa yang baik hati, desa yang baik hati! Apa yang orang-orang desa sebelah pikirkan sehingga mengatakan hal yang sebaliknya tentang desa ini…” aku berjalan sambil mencoba mencari jawaban dari pertanyaan hatiku sendiri, namun jawaban itu tidak bisa kutemukan. Sama sekali tak bisa.


***

Aku mendirikan tenda di sebuah bukit yang jaraknya sangat jauh dari DESA BAIK HATI itu, namun jika melihat ke arah selatan, desa itu masih bisa terlihat meskipun kecil, di belakangnya sebuah gunung yang besar berdiri kokoh, terlihat seperti penjaga kedamaian bagi penduduk desa yang asri itu.

Malam harinya, sesuatu membangunkanku secara tiba-tiba, sebuah suara ledakan yang besar! Ah, ternyata, aku menatap dengan mata kepalaku sendiri, DESA BAIK HATI itu telah hilang ditelan lahar merah yang menyala-nyala dari gunung di belakangnya. Aku tak bisa mengungkapkan kesedihanku ketika mengingat semua perlakuan penduduk desa kepadaku selama aku tinggal di sana, dari situ aku ingat, bahwa sebelum aku pergi Si Penggembala Hujan memberiku sepucuk surat, diterangi sebatang lilin diantara suara ledakan gunung yang menggelegaar itu, aku membaca suratnya;

Kak Awan Tenggara yang kusayangi,

Tiga hari bersamamu, kak. Rasanya begitu kurang. Seandainya boleh, aku ingin kakak bisa lebih lama lagi tinggal di rumah kami, bahkan selamanyapun tak apa semisal kak Awan mau.

Mungkin kakak merasa bahwa penduduk desa seperti mengusir kakak pada hari ketiga saat kunjungan kakak ke desa kami. Sebenarnya benar, bahwa kami ingin kakak pergi dari desa kami hari itu, namun itu semua kami lakukan bukan tanpa alasan. Sebulan lalu, orang paling sakti di desa kami meramalkan bahwa gunung yang selama ini menaungi desa kami akan membawa kami pergi, itulah takdir kami, dan kami siap menunggunya, kami tak boleh menolak takdir itu.

Dulu, pendatang yang datang ke desa kami selalu bermalam paling sedikit dua bulan lamanya. Namun sejak ramalan itu ada, kepala desa membuat kebijakan bahwa setiap pendatang asing tidak boleh bermalam di desa kami melebihi tiga hari. Ironisnya, setelah peraturan itu ada, malah sama sekali tak ada pendatang yang mengunjungi desa kami. Segala gosip buruk tentang desa kamipun bermunculan. Kami jadi sedih, untungnya, tiga hari sebelum ramalan itu benar-benar terjadi, kakak datang ke desa kami. Kami bahagia karena kakaklah yang mengobati rindu kami untuk menyambut orang asing dengan bahagia. Itulah alasannya kenapa juga ketika kakak pergi, seluruh penduduk desa memberi cinderamata untuk kakak. Sebenarnya itu bukan apa-apa, itu hanya ucapan terimakasih bahwa kakak telah membuat kami bahagia.

Terimakasih banyak, kak. Aku menyayangimu. Semoga kelak kita bisa berjumpa lagi di
surga.


Membaca surat itu, aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa duduk terpaku selama berjam-jam menatap lahar yang terus mengalir melamun desa itu. Aku seperti telah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupku. Entahlah, aku menjadi seperti orang gila, seperti orang gila. (*)

THE END

 *Diadopsi dari serial Anime Kino's Jorney dan Fruit Basket

Sarang Angin, 12 Oktober 2010

Cerpen : Kisah Pangeran dari Negeri Angin

Ini cerita dari sebuah negri yang disebut negri angin, konon negri ini dipimpin oleh seorang raja yang kejam dan selalu meminta pajak yang besar kepada rakyatnya. Raja ini memiliki seorang putra tunggal yang bernama Awan, putra yang kelak akan menjadi satu-satunya orang yang akan mewarisi tahtanya. Berbeda dengan Ayahnya, Pangeran Awan memiliki sifat yang begitu polos, karena sejak kecil ia hanya dibesarkan di lingkungan istana dan tidak pernah keluar jalan-jalan untuk melihat-lihat keadaan negri yang dipimpin ayahnya. Pada hari ulang tahunnya yang ke-17, Pangeran akhirnya keluar istana didampingi seluruh pengawal kerajaan, itu sudah menjadi aturan di sana bahwa seorang calon Raja boleh  keluar istana hanya setelah menginjak usia yang ke-17 tahun saja. Dan pada usia ini, Pangeran akan dinobatkan sebagai penerus kerajaan, alias menjadi seorang Raja.

Di hari itu, di sebuah sudut kota, pangeran menemui seorang pengemis, ia adalah seorang perempuan kecil yang kurus dan kumuh. Pangeran segera turun dari kudanya dan menghampiri pengemis itu.

“Ada yang bisa kubantu?” kata pangeran.

“Ah, siapa gerangan diri tuan?” jawab pengemis itu tanpa tahu bahwa lelaki dihadapannya itu adalah calon rajanya.

“Aku pangeran, anak raja pemimpin negri ini. Aku memang baru keluar istana hari ini, wajar jika kau tidak tahu.” Jawab pangeran sambil tersenyum.

“Ah, benarkah? Maafkan hamba. Benarkah pangeran sudi menolong hamba?” pengemis itu juga bicara dengan senyum yang manis dan tenang.

“Iya, semoga aku bisa membantumu.”

“Baiklah pangeran, hamba punya satu permintaan.”

“Apa itu, katakanlah.”

“Permintaan hamba tidak muluk-muluk, hamba hanya ingin agar pangeran menyingkirkan kuda pangeran dari hadapan hamba. Kuda itu menghalangi sinar matahari yang menghangatkan saya.”

Pangeran menyanggupinya. tapi justru karena permintaan yang sangat sederhana itu, hati pangeran jadi terguncang. Seorang pengemis di negrinya, ia pikir akan lebih membutuhkan pertolongannya berupa harta atau makanan, tapi dugaannya salah, karena ternyata pengemis itu lebih membutuhkan sinar matahari daripada dirinya. “kupikir aku akan menjadi orang yang paling dibutuhkan di negri ini.” Kata pangeran dalam hati. Sejak kejadian itu, pangeran lebih banyak merenung dan menyendiri.


 ***

Pada hari yang seharusnya akan menjadi hari paling bersejarah bagi pangeran karena akan diadakan upacara penobatan kepada dirinya sebagai seorang raja, pangeran malah memilih pergi dari istana, ia pergi mengembara setelah memohon-mohon kepada ibunya.

Malam hari sebelum hari itu, perasaan pangeran begitu sedih, pangeran merasa ia adalah makhluk kecil yang tidak pantas menjadi pemimpin setelah mengingat-ingat permintaan yang diajukan pengemis yang pernah ia temui di sudut kota. Karena itulah pangeran menemui ibunya tanpa sepengetahuan ayahnya agar diijinkan pergi. Setelah berdebat panjang lebar dengan ibunya, akhirnya ibu pangeranpun memberi ijin.

“Baiklah, ibu cuma pesan satu hal padamu”

“Katakan, ibu.”

“Jujurlah pada dirimu sendiri, juga kepada orang lain. Ibu telah menjahit 100 keping koin emas di mantelmu, semoga cukup untuk menjadi bekal perjalananmu. Sekali lagi ibu mohon, jujurlah pada dirimu sendiri, Nak”

Pangeran dengan bahagia menyanggupi permintaan ibunya, iapun pergi diam-diam keluar istana untuk mengembara.


 ***

Suatu malam di sebuah kota yang jauh dari istana, pangeran menemui seorang laki-laki yang terkapar karena mabuk, pangeranpun membaca kartu identitas pemabuk itu dan mengantarnya pulang ke rumahnya. Setiba di sana sang istri langsung memapah suaminya yang sedang mabuk dan memberikan sekantung uang kepada pangeran sebagai tanda terimakasih, namun pangeran menolaknya.

“Maaf, terimakasih. Saya ikhlas melakukannya.”

“Tapi ini sebagai tanda terimakasih, sudah sepatutnya kami sebagai orang kaya berbuat seperti ini.”

“Sekali lagi maaf, bukannya sombong, saya ini lebih kaya daripada anda." Pangeranpun pergi meninggalkan pasangan suami-istri itu dan melanjutkan pengembaraannya.


***

Sudah seminggu berlalu, dan pangeran telah empat hari ini menetap di kota J. pangeran betah sekali singgah di kota ini karena sangat suka mendengar ceramah seorang pemuka agama setiap hari di sebuah mimbar yang terletak di pusat kota. Pada hari ke-empat usai ceramah pemuka agama itu selesai, pangeran memberanikan diri untuk bertanya.

“Tuan, setiap pagi, sore, dan kadang malam, anda selalu setia memberi pencerahan kepada semua orang. Saya jadi penasaran, bagaimana anda menghidupi keluarga anda?”

“Nak, inilah pekerjaan saya. Inilah cita-cita saya dari kecil, dikenal banyak orang sebagai seorang pemuka agama yang hebat, lalu memasang tarif yang lebih mahal dari pemuka agama kelas kampung dalam memberikan ceramah.” Jawab pemuka agama itu.

“Ah, ternyata selama ini saya telah salah sangka kepada anda. Saya pikir karena sering menyampaikan kebenaran, anda ini adalah orang yang benar-benar benar. Melihat bahwa ternyata anda adalah orang yang cuma ingin dikelilingi orang-orang seperti seorang artis. Di mata saya kini, anda lebih terlihat sebagai seseorang yang mencari popularitas semata ketimbang sebagai seorang pemuka agama. Terimakasih atas pencerahan anda selama ini, karenanya saya jadi tahu apa itu kebenaran sejati.” Seketika itu juga pangeran pergi meninggalkan kota itu.

Setelahnya, pangeran berjalan ke hutan. di hutan ia menemui sekelompok perampok, dengan bengis dan tanpa basa-basi perampok itu menekuk lutut pangeran.

“Apa yang kau punya?!! Serahkan semua! Keluarkan!” kata para perampok-perampok itu.

“Saya punya banyak harta, sebenarnya saya akan bahagia seandainya kalian semua memintanya baik-baik kepada saya. Tolong tersenyumlah, saya akan memberikan semua yang saya miliki kepada kalian semua.” Jawab pangeran.

“Ada-ada saja! Baiklah.” Para perampok itupun tersenyum dan menunggu pangeran mengeluarkan semua harta miliknya.

“Ibu saya telah menjahit 100 keping koin emas di mantel saya sebelum saya pergi, namun sekarang tinggal 99 saja karena sudah saya pakai sekeping saat singgah di kota J. terimalah, saya memberikan dengan ikhlas, bukan dengan paksaan. Semoga semua ini bisa kalian manfaatkan agar kalian bisa hidup dengan baik dan kembali kepada kebenaran setelah ini.”

Mendengar kejujuran pangeran, bukannya langsung mengambil seluruh koin itu, para perampok malah meneteskan airmata, mereka satu per satu memeluk dan menepuk pundak pangeran, lalu membiarkan pangeran pergi tanpa mengambil sekepingpun koin emas dari mantel pangeran.


***

Sudah bertahun-tahun sejak hari itu, pangeran kini menjadi seorang pertapa. Ia bertapa di tepi air terjun di sebuah gunung yang jauh dari tempat di mana ia pernah dilahirkan. Di sana pangeran hanya memakan daun-daun yang jatuh di sekitarnya dan minum air dari air terjun itu. Pangeran memilih meninggalkan kemewahan dunia karena takut dengan dosa-dosa. Kali ini dalam pertapaannya pangeran ditemui oleh seorang malaikat, pangeran begitu kaget saat menjumpai malaikat yang berupa cahaya itu. Malaikat itu bertanya padanya;

“Hei anak muda, adakah hal yang ingin kau sampaikan pada Tuhanmu?”

“Ah, siapa anda?” kata pangeran.

“Saya malaikat.”

“Kalau begitu, sampaikan pertanyaan saya, apakah kelak saya bisa masuk surga?”

Malaikatpun menyanggupinya dan pergi, tidak lama setelah itu, malaikat itu kembali.

“Hai anak muda, pesanmu sudah ku sampaikan.”

“Benarkah, lalu seperti apa jawabanNya?

“Kau masuk neraka!”

“Apa alasannya, bukankah saya meninggalkan semua kemewahan dunia dengan sungguh-sungguh hingga saya rela menjadi pertapa seperti ini?”

“Justru karena hal itulah kau dimasukkan ke neraka, kau meninggalkan dunia, kau meninggalkan orang di sekelilingmu, kau mencari kebenaran untuk dirimu sendiri. Kau tahu? Kau ini tidak lebih adalah seorang manusia yang egois..”

“Ah, saya paham. Kalau begitu sampaikan kembali pesan saya, kalau saya nanti masuk neraka. Buatlah agar diri saya seluas neraka itu, agar semua rakyat dan manusia di bumi ini tidak bisa menghuninya. Dan cukup saya saja yang ada di sana.”

Malaikatpun pergi menyampaikan pesan pangeran. Lalu kembali lagi.

“Nak, pesanmu sudah kusampaikan. Kali ini ada jawaban lain, karena kau adalah manusia yang berjiwa besar, maka Tuhan memilih untuk memasukkanmu ke surga.”

Mendengar itu pangeran tersenyum, tidak lama setelah itu pangeranpun meninggal dunia. Tak ada ayah yang tahu, tak ada ibu yang tahu, tak ada rakyat yang tahu. Tidak pernah ada yang menyangka, seorang calon raja akan menjadi orang yang malang seperti ini, tapi karena ia pergi ke surga, maka ia juga sekaligus adalah orang yang paling beruntung di dunia.


*kisah ini diadopsi dari kisah Sidharta Gautama, Syekh Abdul Qodir Jaelani, dan kisah-kisah yang pernah kudengar yang aku telah lupa darimana sumbernya.



Sarang Angin, 17 Oktober 2010

Puisi : Ke Kotamu

dari dulu aku selalu sibuk mengali ngalikan angka
menghitung berapa panjang jarak antara kotaku ke kotamu

benarkah cukup gaji empat bulanku
kubuat untuk membeli pohon pohon bouganville jingga
yang bisa kutanam di sepanjang jalan itu?

agar ketika aku atau kau saling berkunjung ke kota kita
kau dan aku nggak perlu lagi naik elf atau bis kota

sebab katamu, (dan aku juga pernah berkata)
memandang rekah bunga bougenville membuat kita selalu ingin jalan kaki

benarkah cukup gaji empat bulanku
kubuat untuk membeli pohon pohon bouganville jingga
yang bisa kutanam di sepanjang jalan itu?

agar nanti kita bisa jalan jalan berdua
berorasi tentang cinta yang anti polusi
sambil tak lupa kusemprotkan parfum alexander hitam ke tubuhku
karena kau pernah bilang
bahwa kau jadi bisa semakin deg degan
ketika aku memakainya saat jalan denganmu


Sarang Angin, Oktober 2010

Aku Memberinya Judul : Kebun Mimpi

Saat aku duduk di bangku SMP, masih kuingat bahwa dulu aku sangat bangga ketika wali kelasku memberikan untukku sebuah jabatan sebagai seorang sekretaris di kelas, alasan yang kudengar adalah karena beliau melihat tulisanku yang rapi dalam buku pelajaranku. Wah, sekretaris. Keren sekali, pikirku. Apalagi alasannya karena sesuatu yang berhubungan dengan kelebihanku, siapa yang tak bangga.

       Seperti di tipi-tipi saja, aku jadi seorang sekretaris, widiiiih membayangkannya saja sudah membuatku serasa memiliki empat sayap dan terbang dari jembatan banjir kanal di Demak hingga obor patung liberty di New York—padahal aku belum tahu pasti tugas-tugas yang akan diemban oleh seorang sekretaris di dalam kelas.

       Usai pelantikan, aku pulang sekolah dengan hati yang berbinar-binar seperti orang yang baru saja dapat lotre sepuluh juta rupiah. Ah, lebih tepat kalau dibilang seperti orang yang memperoleh kebahagiaan mutlak—kebahagiaan seorang kakek yang baru saja mendapat cucu pertamanya.

       Dua bulan berlalu, dan efek menjadi seorang sekretaris kelas baru terasa setelah itu. Sial*n! ternyata sekretaris kelas itu adalah jabatan yang lebih rendah dari orang yang tidak mendapat jabatan apapun di kelas, aku baru sadar kalau aku ini orang bodoh yang tak tahu ap-apa. Kau tahu apa tugas seorang sekretaris di dalam kelas, kawan? Juru catat! Ya, tidak lebih dari itu.

       Setiap ganti pelajaran, apalagi ketika pelajaran PPKN yang materi tiap pertemuannya selalu harus mengkhatamkan lima halaman buku pelajaran, rasanya aku ingin muntah saja, karena lima halaman itu aku harus menulisnya dulu di depan papan tulis agar dicatat teman sekelas di buku tulis mereka sebelum masuk ke sesi penjelasan oleh guru. Tragisnya lagi aku harus menunggu teman-temanku menjawab “sudah” ketika aku bertanya pada mereka “yang ini sudah belum?” sebelum aku menghapusnya dengan penghapus untuk kemudian menulis kelanjutannya di papan tulis karena volume papan tulis itu hanya mampu menampung 1 ½ halaman dari lima halaman yang harus kutulis.

       Dan gurunya? Ia hanya duduk bersedakep, kemudian mengucapkan terimakasih padaku dan menyuruhku duduk, “Bawa saja bukunya, kau ‘kan perlu materinya juga.” Kata beliau dibarengi dengan senyum yang manis, tapi aku lebih suka menyebutnya sebagai senyuman yang menipu! Betapa tidak, ketika teman-temanku duduk diam menerima penjelasannya, aku harus menulis kembali apa yang telah kutulis di depan papan tulis tadi. Diskriminatif! Intimidasi mental! Eksploitasi waktu! atau entah apa lah namanya itu, bagiku ini sama artinya dengan pembodohan!. Hey, say it is joke!! Kataku— yang sialnya harus selalu kupendam dalam hati.

       Dan parah, jabatan itu ternyata merubahku menjadi orang yang jahat, aku sering berdoa tiap pagi pada hari di mana ada jadwal mata pelajaran yang membuatku harus menulis panjang lebar di papan tulis. Dan tak jarang doaku itu terkabulkan, guru itu tidak masuk sehingga petugas TU lah yang menggantikannya, dan ketika petugas TU yang menggantikan, aku jadi sangat bahagia karena ia hanya akan memberi materi soal untuk diselesaikan sepanjang jam pelajaran.

                                                              ***

       Hingga memasuki semester tiga, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengatakan bahwa aku sudah tak sanggup menerima semua ini kepada wali kelas setelah aku tahu ketika aku menulis di depan, guru yang mengisi pelajaran di kelas kami malah ngobrol dengan guru lain di luar kelas. (lebaaay..). ternyata aku mendapat respon yang bagus dari wali kelaslku, beliau justru menghargai keberanianku mengatakan hal itu padanya. Lalu mulai hari itu, hingga aku lulus, tak ada lagi murid di kelas kami yang disuruh untuk menulis di depan. Semua adalah tugas guru, itu adalah keputusan rapat yang ternyata langsung dibentuk beberapa hari setelah aku mengadu.

     Aku ingat benar, usai mengatakan itu, ketika jam istirahat. Di koridor kelas aku menatap jauh ke gunung sebrang yang bisa kulihat dari temptku berdiri di lantai dua itu, wali kelasku datang menghampiriku, ia mengusap punggungku pelan, sambil menatap ke arah yang sama beliau berucap; “Kau calon intelek, kau akan jadi orang hebat!” sungguh, itu kata yang sangat klise darinya, namun tiap kali mendengarnya kepalaku selalu bergetar, jantungku selalu berdebar, aku ingin sekali menangis, namun harga diriku tak mengijinkan aku melakukan hal itu. (jiaaah makin lebay :’D) dan aku pun hanya tersenyum dan menanggapinya dengan kata; “Saya ingin percaya itu. Saya ingin selalu percaya.”

       Dan kini waktupun berlalu, kira-kira sudah sepuluh tahun sejak aku melewati hari-hari itu. Dari seorang juru tulis di depan kelas, kini aku sudah menulis beberapa buku. Hey, siapa yang menyangka? Ini terlihat seolah aku telah berhasil membalas dendam kepada masa laluku. Ironis, atau mungkin juga hiperbolis, tapi memang inilah yang terjadi.

       Dari sini aku percaya, bahwa semua ini adalah sesuatu yang bukan tak sengaja dirancang Tuhan untukku.

       Maka kawan, boleh percaya boleh tidak, seburuk apapun perlakuan dari lingkunganmu yang engkau terima saat ini, jadikanlah hal itu sebagai kebun inspirasi, tanamlah bibit mimpi, siramlah dengan pupuk kesabaran, lalu panen dan putar balikkanlah takdirmu! Karena setiap kita adalah pemenang!!

Sarang Angin, 28 Nopember 2010

Cerpen : Peniup Seruling dari Hamelin

Gambar karya Freiherr Augustin von Moersperg, diunduh dari Wikipedia

*terinspirasi dari dongeng klasik asal Jerman berjudul Der Rattenfänger von Hameln (Pied Piper of Hamelin) dan Manga Akuma no Hanayome-nya Ashibe Yuho-Sensei. 


Alfred berdiri sendirian di depan pintu tenda malam itu dengan membawa segelas Champagne, ia mondar-mandir dengan gelisah lantaran memikirkan keadaan sirkus yang ia kelola dan dirikan di sudut kota Falkland sejak seminggu yang lalu. Sirkus itu selalu sepi pengunjung. Barangkali jika malam itu tak ada seorang badut yang datang menghampirinya untuk menawarkan diri sebagai anggota di sirkusnya, dia sudah meledakkan kepalanya sendiri dengan pistol yang malam itu juga ia tenteng-tenteng. Sebab sepertinya, dia sudah tak kuat lagi memikirkan masa depan sirkusnya yang sudah menunjukkan tanda-tanda kebangkrutan itu.

       Clifford, demikianlah badut yang menghampirinya itu memperkenalkan namanya, ia mengaku berasal dari kota Hamelin. Konon dengan seruling yang dibawanya, ia mampu menghipnotis tikus-tikus di kotanya dan membuat tikus-tikus itu jatuh ke sungai Weser dengan sendirinya. Namun Alfred tidak bisa begitu saja percaya dengan cerita konyol yang dibuat oleh badut itu. Alfred jelas tak bisa dibodohi karena dia juga orang asli Jerman. Ia tahu, cerita badut itu hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur anak-anak karya Brother Grimms.
        Tanpa kebohongan muluk-muluk yang dibuat Cliffordpun, Alfred tetap akan menolak permintaan badut itu untuk bekerja padanya. Pasalnya ia benar-benar sudah tak punya uang lagi. Jangankan untuk membayar orang baru, untuk membayar anggota yang saat ini ada saja ia harus hutang kepada adiknya yang memilih mengurusi perkebunan anggur warisan orangtuanya di kampung. Namun Clifford tetap tidak mau menyerah, ia bersikeras agar bisa diterima sebagai anggota di sirkus yang dikelola Alfred itu, dengan caranya, ia mencoba meyakinkan Alfred, hingga akhirnya Alfredpun menyerah dan menerimanya, setelah sebelumnya ada sedikit perdebatan sengit di antara mereka :

       “Bah! Aku tak butuh anggota seorang badut di sirkus ini, sebaiknya kau pergi dari  hadapanku sebelum pistol di tanganku ini meledakkan kepalamu!” kata Alfred jengkel.
       Clifford diam dan menyunggingkan sebersit senyum yang misterius.
       “Kau dengar tidak? Hey?!!” Bentak Alfred lagi.
       “Mungkin anda ini menderita darah tinggi, ya?” Clifford memejamkan mata, sambil tersenyum, ia berbicara kepada Alfred tanpa sedikitpun emosi.
       Alfred langsung mengarahkan moncong pistolnya tepat di depan hidung badut yang bulat dan semerah buah cerry itu.
       “Ada apa ini, tuan Alfred?!” kata Kodi dan Gesicth saat keluar tenda bersamaan sebab mendengar keributan. Mereka berdua adalah anggota sirkus itu yang masih tersisa selain binatang-binatang yang kurus.
      “Biadab ini, tolong usir dia dari hadapanku!” kata Alfred tidak bisa menahan emosi.
       Kodi dan Gesicth pun langsung menghampiri Clifford untuk mengusirnya.
       “Tunggu.” Clifford mengarahkan jari telunjuknya ke moncong pistol tuan Alfred yang saat itu belum juga diturunkan. “Adalah benar, bahwa saya mau menawarkan diri untuk menjadi seorang anggota di sirkus ini, tapi jika anda menerima saya, anda tidak perlu membayar saya. Saya janji akan bekerja dengan baik.” Clifford tersenyum lebar. ”Bagaimana?”
       “Apa kau sedang bercanda? Jangan-jangan kau ini memang orang gila di kota ini, mana ada penduduk kota biasa mau memakai pakaian badut sepertimu malam-malam begini?” kata Kodi.
       “Oh, jangan mengatai saya sebagai orang gila, itu tidak sopan namanya. Loyalitas, sayang. aku ini type orang perfeksionis. Jadi untuk melamar sebagai badut di sebuah sirkus, aku harus menjadi badut. Ha ha ha.” Clifford tertawa keras, mencabut jari telunjuknya dari moncong pistol Alfred dan menggaruk-garuk kepalanya. Dengan wajah dingin ia lalu menatap wajah Alfred. “Saya berkata serius, tuan. Saya akan bekerja di sirkus anda tanpa bayaran selama tujuh hari.”
       “Tujuh hari? Ya, setelah tujuh hari kau akan pergi dengan membawa lari semua uangku. Begitu ‘kan maksudmu?!” bentak Alfred.
       “Ah, lagi-lagi. Apalagi mengatai saya sebagai pencuri, itu lebih tidak sopan dari mengatai saya sebagai orang yang gila, tuan. Saya tidak bohong dengan berkata akan bekerja di sirkus anda ini selama tujuh hari tanpa bayaran, tapi saya juga punya satu syarat yang wajib anda penuhi.”
       “Apa?”
       “Saya tahu, sejak pertama berdiri di Falkland ini, sirkus anda selalu sepi. Jelas saja, anda hanya punya dua anggota dan beberapa binatang yang kurus-kurus, tidak ada macan, tidak ada gajah. Ya orang mana ada yang mau datang..”
       “Jangan ceramah di depanku! Katakan saja apa syaratnya!”
       “Baiklah. Jadi, tujuh hari kerja saya tanpa bayaran adalah jika sirkus ini tetap sepi, namun seandainya dalam tujuh hari tersebut saya berhasil membuat sirkus anda ramai pengunjung, maka anda harus memberikan setengah dari hasil pertunjukan kepada saya. Bagaimana, apa anda setuju?”
       Alfred menimbang-nimbang.
       “Baiklah, aku setuju.” Kata Alfred seraya menurunkan pistolnya dan menyelipkannya di pinggang.
       Kodi dan Gesicth hanya terdiam, walau dalam hati mereka berdua memendam rasa gembira karena mendapat teman baru.

       Dan sembari menunggu hari menjadi pagi untuk penampilannya yang pertama kali di sirkus itu, Clifford duduk di sebuah dahan pohon, mengeluarkan seruling yang ia selipkan di belakang celananya, lalu meniupnya. Kunang-kunang menghampirinya, beratus-ratus, beribu-ribu, berjuta-juta. Halaman sirkus itu menjadi terang, seperti ada sebuah pesta tengah diselenggarakan di sana.

***

Lebih dari perjanjian, ini adalah hari ke-24. Clifford menghampiri Alfred untuk meminta imbalan sesuai perjanjian yang telah mereka sepakati.
       “Sirkus ini sudah ramai, sudah punya gajah, sudah punya macan. Tapi tetap saja, saya ini pecinta kebebasan. Jadi, tuan, saya mau mengundurkan diri hari ini. Dulu setelah tujuh hari, saya berhasil membuat sirkus ini ramai, tapi anda menahan saya agar tinggal lebih lama lagi di sini sebab peran badut saya yang selalu dinantikan anak-anak. Dan akhirnya saya menyanggupinya karena anda berjanji akan menikahkan saya dengan putri angkat anda, Kodi. Dan Kodi juga setuju dengan perjanjian ini.“ Clifford mendesah. “Hhh, Jadi, tuan. Sesuai perjanjian yang telah kita sepakati dulu, saya mau minta setengah uang dari hasil pertunjukan sebelum saya pergi. Saya ingin hidup bebas.”
       Alfred tersenyum. Ia membuka matanya lebar-lebar, lalu mengarahkan moncong pistol ke arah Clifford dan..
       DOR!!
       Ia memuntahkan peluru dari pistol di tangannya tidak ke tubuh Clifford, namun ke pintu yang ada di samping tempat Clifford berdiri.
       “Memang benar kau telah membuat sirkus ini besar, tapi kalau kau ingin pergi, pergilah! Aku bisa mencari badut yang baru. Dan, hey, kau jangan bermimpi bahwa aku akan memberikan setengah dari uang hasil pertunjukan sirkus ini kepadamu, kutampung di sini dan kuberi makan saja kau sebaiknya sudah harus merasa sangat bersyukur!”
       “Tapi, tuan Alfred. Dulu anda ‘kan sudah berjanji mau..”
       “Hey, badut jelek! Jangan sampai peluru kedua dari pistolku ini mendarat tepat ke kepalamu.”

Clifford menyerah, ia menundukkan kepala, tanda menyesal karena telah dibohongi. Ia berjalan pelan-pelan ke ruang rias menagih janji kepada Kodi yang 17 hari lalu juga berjanji mau menikah dan membangun rumah tangga bersamanya. Sesampainya di sana, Clifford justru mendapati sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan, ia melihat Kodi sedang membuka brangkas tuan Alfred—mencuri uang dari dalam sana dan memasukkannya tergesa-gesa ke kantongnya.

       “Ah? Clifford?!!” kata Kodi kaget. Ia menghampiri Clifford, lalu menciumnya dengan mesra. “Janji jangan bilang ke ayah angkatku ya, sayang.”
       “Tidak akan. Itu tidak akan pernah terjadi. Karena tuan Alfred telah mengusirku dari sirkus ini.”
       “Ah, benarkah ayah mengusirmu? Lalu?”
       “Aku datang ke sini mau menagih janji. Kau dulu pernah bilang mau menikah denganku, jadi sebaiknya sekarang kau ikut aku..”
       “E..e.., baiklah. Tapi nanti ya, sayang. Aku mau ada pertunjukan setelah ini. Dan untuk antisipasi agar ayah tidak menemukanmu, maka kau harus mencari tempat sembunyi. Sebentar, biar kucarikan.” Kodi melirik seluruh isi ruangan, gadis itu seperti sedang merencanakan sesuatu. “Ah?! Dapat!”

      Kemudian Cliffordpun sembunyi di sebuah kotak yang ditunjuk Kodi agar tak ketahuan Alfred sembari menunggu gadis manis itu selesai beraksi di panggung sirkus untuk kemudian pergi dengannya. Ia masuk ke sana setelah sebelumnya meminum sesuatu yang telah dicampuri obat tidur oleh Kodi.
KLEK!
Kodi menggembok kotak itu dari luar dan pergi dengan wajah yang menyeringai, ia meninggalkan Clifford yang tertidur seorang diri di dalam kotak itu, sebuah kotak untuk trik sulap—kotak tusukan pedang maut.

***

Ia kembali dengan wajah yang cerah, kelihatannya ia sangat bahagia sekali karena telah berhasil menipu seseorang yang terpaksa dicintainya agar sirkus ayah angkatnya tetap jaya. Menuju ke ruang rias, digandengnya tangan Gesicth, partner sekaligus lelaki yang sebenarnya ia cintai menuju kotak tempat Clifford tertidur.
       “Dia ada di dalam sini,”
       “Siapa?”
       “Clifford, badut jelek itu..”
       “Lalu?”
       “Dia telah memergokiku ketika mencuri uang tuan Alfred dari brangkasnya untuk kencan kita nanti malam.”
       “Hah? Bahaya!”
       “Benar, nih!” Kodi memberikan beberapa pedang ke Gesicth. “Tusuk dia! Nanti kita bisa membuang mayatnya ketika di perjalanan.”
       “Benar juga, lagian berani-beraninya dia merebutmu dari sisiku.”
       JREB!
       JREB!!
       JREB!!!
Gesicth menusuk kotak itu dengan pedang tanpa ragu-ragu. Suara rintihan seorang lelaki terdengar beberapa saat dari dalam kotak itu, kemudian senyap.
       “Nah, dia sudah mati!”
       Kodi dan Gesicth tertawa. Di antara suara tawa itu, suara seruling lamat-lamat terdengar, lalu semakin keras, lalu semakin keras! Di belakang mereka, tepat di depan pintu, Clifford tengah asyik memainkan serulingnya sambil menatap mereka berdua dengan dingin.
       “Hah? Kau di sana? Jadi, yang di dalam kotak ini, yy,y.. yang merintih kesakitan tadi siapa?”
       Kodipun membuka kotak pedang maut itu. Terperanjatlah dia beserta Gesicth begitu tahu mayat yang ada di dalam kotak itu adalah Alfred—majikan mereka!
       “Ha ha ha ha ha,” Clifford tertawa puas. “Masa’ trik seperti itu saja kalian tidak tahu?! Pesulap macam apa kau ini, Gesicth!”
       Clifford kembali memainkan serulingnya. Ribuan tikus keluar mendengar merdu lagu yang ia mainkan, merayap menghampiri Kodi dan Gesicth, mereka berdua berteriak kesakitan hingga mati sebab tubuhnya digerogoti tikus-tikus itu pelan-pelan.

       Clifford pergi dengan hati yang riang, sampai di pintu keluar ia menemukan sebuah kaca yang besar, ia tertawa melihat bayangan tubuhnya sendiri, ada dua taring di antara barisan giginya, lalu ia menyelipkan serulingnya di belakang celananya. Kedua tangannya meraba sesuatu yang ada di kepalanya—sepasang tanduk hitam.
       “Ha ha ha, dasar manusia, kalian lupa kalau aku datang ke dunia ini untuk menggoda kalian agar masuk ke neraka? Bodoh!”
       Diapun berbalik dan melanjutkan langkahnya..    



Sarang Angin, 15-16 Januari 2011

Cerpen : Kisah Ponirah dan Pizza Impiannya


Begitu melihat iklan pizza di tv tetangganya, Ponirah, gadis berumur sebelas tahun itu tergiur dan langsung menempatkan "makan pizza" ke dalam daftar mimpi di buku hariannya. Tak ayal setiap hari ia mengumpulkan uang dari hasil mengupas bawang—kerja sambilan yang selalu ia lakukan usai pulang sekolah demi mewujudkan mimpinya itu. Maklum, bapaknya sudah tak ada dan ia hanya tinggal bersama ibu yang bekerja di sebuah perkebunan apel dengan gaji tak seberapa beserta tujuh orang adiknya yang masih kecil-kecil. Oleh sebab itu, untuk uang saku, Ponirah sering mencarinya sendiri dari kerja sambilannya mengupas bawang atau mencuci baju di tetangganya.

       Ia begitu sabar mengumpulkan uang lembar demi lembar di celengannya tiap hari dan tak pernah alpa menghitung-hitung harga Pizza dengan biaya transportasinya sekalian, karena Pizza hanya bisa dibeli di kota.

       Di ketika ia merasa bahwa uang yang ada di celengannya sudah cukup untuk membeli mimpi makan Pizzanya, ia memecah celengan ayamnya dan langsung pergi ke kota untuk mewujudkan mimpinya itu
.
       Setelah menempuh berjam-jam perjalanan ke kota, sampailah dia pada sebuah restoran Pizza di mall yang alamatnya ia tahu dari bertanya pada tetangganya. Ponirah tersenyum, ia melangkah masuk dengan pakaiannya yang sudah ketinggalan trend kota. Ia hanya memakai daster kembang-kembang dan sandal jepit swallow berwarna hijau yang selipannya bermotif retak-retak, bukan karena bawaan dari pabrik, tapi karena terlalu sering terkena panas dan hujan. Ia pikir itulah kostumnya yang paling indah. Waiters restoran Pizza sontak melihatnya dengan dingin saat melihat gadis kecil itu masuk restoran, tak pernah ada orang dengan gaya seudik Ponirah masuk ke sana. Apa yang mau dia lakukan di sini, mengemis? Batinnya.

       Walau setelah masuk ke restoran Pizza itu dan melihat orang-orang yang makan Pizza di dalam membuatnya sadar kalau pakaiannya sudah tidak sesuai jaman, Ponirah tetap tak ambil pusing dengan gayanya. Tanpa basa-basi gadis desa itu bertanya kepada seorang petugas kasir.

       “Mbak, berapa harga Pizza yang itu?”
       “Tiga puluh tiga rrribu.” Petugas itu menjawabnya dengan dingin. Ia pikir gadis itu hanya sekedar bertanya untuk kemudian pergi lagi.
       Ponirah tersenyum. Barangkali karena sebentar lagi mimpi kecilnya untuk makan Pizza akan terwujud.
       “Saya mau beli satu, mbak. Dibungkus saja.”
       “Yang itu?”
       “Ya.”
       Setelah menunggu beberapa saat, pesanan Ponirahpun datang, ia mulai menghitung uangnya yang bergambar kapiten patimura semua sebanyak 33 lembar. Petugas kasir memandangnya dengan sinis, baru kali ini ia dapat costumer yang membayar dengan uang seribuan semua.
       “Ini, mbak. Uangnya.”
       "Terimakasih." Petugas kasir itu tersenyum kecil—senyum yang jelas sekali dipaksakan.

       Pizza sudah di tangan Ponirah, namun gadis itu tak lekas pergi. Ia masih berdiri di dalam sana mengobok-ngobok tasnya yang kumal. Mencari ruang untuk menempatkan Pizzanya? Rasanya tidak. Tak heran petugas kasir itu semakin menatapnya dingin, berharap gadis itu segera berlalu dari hadapannya karena penampilannya yang notabene sangat merusak pemandangan mata orang-orang kota.
       Setelah beberapa saat, Ponirah mengeluarkan sebuah bungkusan plastik dari tas kumalnya itu.

       “Ini, mbak. Untuk mbak dan teman-teman.” Ponirah tersenyum sambil memberikan bungkusan itu kepada petugas kasir. “Ini sekilo apel, oleh-oleh dari kampung.”

       Ponirah berlalu dari tempat itu, ia tampak riang sekali berjalan membawa sekardus mimpi yang berhasil ia beli, mimpi yang sebentar lagi ia bagi-bagi dengan ibu dan tujuh orang adiknya. Sementara petugas kasir berdiri terpaku dengan sebungkus apel di tangannya dan menatap Ponirah yang berjalan polos dengan sangat haru. Beberapa saat ia menunduk. Barangkali, ia menyesal atas perlakuan yang ia berikan terhadap Ponirah tadi. Barangkali juga, ia malu karena dirinya tak tumbuh sebagai pribadi yang baik sebaik gadis yang terus ia perhatikan sampai hilang itu. Semoga.

Feb, 2011

Cerpen : Hujan yang Menyambut Kepulanganmu

*Cerpen ini merupakan permintaan dari kerabat dekatku di dunia maya ini. ia memberiku sebuah gambar dan menyuruhku untuk merubah gambar itu menjadi sebuah cerita pendek. bayangkan, hanya sebuah gambar!  ^^' twew
dan akhirnya, setelah sekian lama, aku berhasil juga membuatnya (tapi ketok'e wagu banget ik), barangkali aku tak pandai bikin cerpen tentang cinca ya... ha ha simak saja kalau nggak percaya. yuk maree..


Entah kenapa aku tak pernah paham, bagaimana ketika berada di dekatmu denyar nadiku bisa menjadi begitu lain. Ataukah mungkin karena ada sebuah ikatan yang kini telah berubah dari sekedar persahabatan antara aku—Amanda yang sangat centil—dengan engkau—Azward yang selalu pemalu?

       Hari itu tanggal 4 Februari. Hari kepulanganmu. Perjumpaan kita kembali setelah lima tahun sebelum itu kau pergi dari “Tanah Cerita” yang sejak kecil selalu kau dan aku kunjungi. Aku berharap ketika itu, kau tak lupa tentang apa yang pernah ada di sana. Tentang bagaimana di tempat itu dulu kita saling bertukar cerita atau sekedar berbagi suka dan duka. Kendati lima tahun engkau telah pergi meninggalkannya.
       Semisal tentang ketika di sana kita mengadu kepada Tuhan akan takdir yang kita rasa tak pernah adil seraya menatap kecapung-kecapung yang lalu-lalang di udara. Atau sekedar duduk diam menatap tingkah polah burung-burung gelatik yang berjingkat dari satu pucuk kembang tebu ke pucuk kembang tebu yang lain.
       Tentu, juga tentang warna langit sore di atas tempat itu yang sebiru safir, yang senantiasa membuat kita berdua betah berlama-lama berbaring memandangnya, sembari mencium pekat wangi garam yang menguar dari pantai utara tiap ombak membawa air-air laut debur ke batu-batu karang. Di sana, di “Tanah Cerita” itu—Markas rahasia kita berdua.

**

       Ketika itu hujan turun dengan sangat deras sebelum kereta yang kau tumpangi berhenti di stasiun yang di dalamnya ada aku sedang menjemputmu.
       Aku memilih berdiri di ujung peron untuk menanti kedatanganmu dengan sepasang mata yang cemas dan membiarkan hujan tempias di wajahku, sebab aku tak mau melewatkan dan demikian ingin membingkai dalam ingatan setiap detik pertemuan pertamaku denganmu setelah lima tahun berpisah.
       Sesekali orang-orang meneriakiku agar aku duduk pada bangku kosong di samping mereka lantaran khawatir melihat pakaianku yang membasah perlahan. Namun aku hanya membalas mereka dengan sebuah senyuman. Sekali saja. Dan mereka akan langsung diam. Barangkali dari senyumanku itu mereka telah langsung dapat membaca cerita, kalau orang yang sedang kutunggu kedatangannya itu adalah orang yang sangat kucinta. Ah, tapi ketika itu aku masih belum mampu membenarkannya.
       Lalu aku, ketika akhirnya menyimak keretamu datang melambat dari kejauhan dengan lampu-lampunya yang nyala menembus rinai-rinai, jantungku seketika degab merancu. Aku mendengar suara-suara yang sangat keras muncul dari dalam dadaku. Lebih keras daripada suara hujan yang berkertapan di atas langit-langit peron, bahkan juga lebih tak beraturan daripada derak gerbong kereta yang membawamu pulang itu. Yang akhirnya satu persatu melintas jelas di depanku, dengan kaca-kaca pintu yang seolah berkata, “Tebak, dari mana akan keluar orang yang kau tunggu?”
       Aku mencarimu dari satu pintu ke pintu yang lain, tapi tak kutemukan engkau. Mungkin karena kau tak benar-benar pulang seperti apa yang telah dikatakan keluargamu padaku, atau mungkin kau lebih dulu turun sebelum aku sampai pada pintu di mana engkau telah keluar berjalan.
       TEP!
       Dan akhirnya, tepukan yang hangat dan lembut itu mendarat juga di pundakku— tepukan tanganmu yang tetap sama seperti dulu. Seketika kerinduanku akan sentuhmu lunas. Apalagi saat aku tahu kalau kau tak pernah lupa dengan wajahku walaupun telah lima tahun kita tak pernah saling bertemu.
       Ketika itu aku begitu lama menatap ke kedalaman matamu, tapi kau hanya tersenyum. Hingga akhirnya aku menjadi sadar kalau saat itu kau sudah tak lagi sama dengan Azward yang kukenal dulu. Entah kenapa, rasanya ketika itu aku jadi ingin sekali menundukkan kepala usai melihat caramu membalas tatapan mataku, seperti bagaimana dulu aku kau paksa untuk diam dan khidmat menyimak kesahajaan kata juga kerendah hatianmu. Dan saat itu, sekali lagi aku memutar cerita yang pernah kita lalui dalam kepalaku—mencoba menemukan kembali alasan kenapa aku ingin sekali berada di sampingmu.
       Aku kembali ingat bagaimana dulu engkau tetap menerimaku sebagai sahabat kendati agama kita tak sama. Engkau kerap meyakinkanku bahwa perbedaan tak pernah menjadi sesuatu yang akan mampu memisahkan kita. Sehingga kau tak pernah ragu untuk mendengar bunyi lonceng gereja tempat aku bersembahyang karena kau suka. Dan demikian juga dengan aku, aku juga akhirnya tak pernah ragu mengakui kekagumanku akan kumandang adzan yang merdu dari puncak menara masjid tempat ibadahmu.
       “Tuhan itu satu, hanya saja kita—kau dan aku—menyembahnya dengan cara yang berbeda.” Begitulah dulu engkau selalu berkata padaku jika hatiku gundah memikirkan jurang yang sekali waktu—mungkin—bisa memisahkan kita. Itulah juga yang akhirnya menjadi alasan kenapa aku selalu merasa nyaman jika berada di dekatmu.
       Kau juga kerap mengatakan padaku kalau kebenaran hanya akan bisa muncul dari kebijaksanaan. Dan kesahajaanmu itulah yang membuatku merasa sangat kehilangan dirimu ketika engkau berlalu.

       Lima tahun, kota besar yang mendidikmu, dan kesepianku karena kehilanganmu ternyata telah mengubah banyak hal dalam diri kita. Kau dan aku seperti telah bertukar mata, bahkan mungkin hati. Aku menjadi engkau yang pemalu yang hanya akan mengatakan hal-hal penting saja kalau bicara, dan engkau menjadi aku yang sanguinis dan tak pernah kehabisan kata-kata untuk terus bercerita..
       Lebih dari itu, ternyata ketika itu aku melihat ada jarak yang terasa begitu berbeda saat kita berdiri dan berjalan pulang di bawah payung yang sama, kendati saat masih kanak-kanak dulu kita berdua begitu sering melakukannya. Mungkin saja karena masing-masing kita telah dewasa. Atau mungkin, jangan-jangan aku tak menyadari kalau saat itu kepadamu aku telah jatuh cinta.
       Ingin sekali aku bertanya padamu satu hal saat itu, tapi ternyata kaulah yang lebih dulu mengatakan padaku sesuatu. Sesuatu yang ternyata begitu purna melindap segala rindu yang seharian itu membuncah dalam dadaku. Rindu itu hilang, lenyap bukan oleh karena aku sudah melihat keseluruhan dirimu. Namun oleh kabar yang bibirmu ujar.
       Kau akan menikah pada bulan ke lima, begitulah katamu padaku sebelum aku sempat menanyakan apakah di kota engkau sudah punya seorang kekasih. Dan itulah alasan yang membuatku merasa kenapa ketika itu aku tak lagi pantas untuk merindukanmu.
       Maka akhirnya aku memilih menghentikan langkahku saat kau bicara panjang lebar tentang calon pengantinmu. Kau begitu senang menceritakan kesempurnaannya, sampai tak sadar kalau aku telah kuyup berdiri di belakangmu.
       “Kau bodoh, apa yang kau lakukan di sana?” Itulah yang kau kata sambil tertawa hari itu ketika kau sadar kalau aku sudah tak lagi sepayung denganmu..
       “Sudah lama tidak main hujan-hujanan, kau mau ikut?” Dan aku tak pernah lupa seperti itulah aku menimpali tanyamu, dengan tanya lain yang hanya kau jawab dengan sedikit senyuman dan gelengan kepala di bawah payung yang tak juga kau katupkan.
       Dan sebenarnya, jika aku berani memberitahumu. Hari itu, aku berhenti bukan karena aku ingin seperti apa yang aku katakan, namun tak lain karena aku tak ingin kau melihat Amanda yang dulu selalu kau kenal sebagai gadis tegar menangis di depanmu. Aku selalu percaya, bahwa hujan selalu dapat menyembunyikan air mata. Sebab itulah hari itu aku lebih memilih berdiri di bawah hujan agar kau tak bisa melihat air mataku.

       Dan saat ini, dua tahun setelah hari itu. Aku bercerita tentangmu dan tentang itu semua kepada angin dan tetumbuhan perdu sambil menengadahkan wajah ke langit, di “Tanah Cerita” yang kini kian senyap sebab tak lagi ada engkau yang barang sejenak duduk diam seperti dulu. Aku sendirian. Begitu dingin, seperti hujan yang ketika itu menyambut kepulanganmu. (*)



Bekasi, Februari 2011