Space Iklan

Jumat, 08 Juni 2012

Dunia Tanpa Nama [chapter #2]




“Aku tidak bercanda,” kata gadis kecil itu. Dilihat dari penampilannya, ia seperti masih berusia sekitar tujuh tahun. Rambutnya panjang memutih, bermata abu-abu, dan juga mengenakan gaun putih. Ia berjalan tanpa alas kaki, dan membawa kepala boneka yang ia dekap dengan kedua tangannya di dada. “Ini dunia lain.”
Obin masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya, apalagi dengan yang didengarnya. Kendati demikian, ia sedikitpun tidak merasa takut. Ia hanya bisa diam, karena tubuhnya merasakan lemas yang sangat. Suatu kekuatan entah seolah baru saja menyerap seluruh energi yang ada dalam tubuhnya.
“Cara untuk memasuki dunia ini mudah saja..” Gadis itu kembali, memetik setangkai bunga berwarna kuning yang tumbuh tepat di depan kedua kaki mungilnya, kemudian kembali mengalihkan tatapan matanya ke Obin, “Kau hanya perlu berkata hal-hal yang tabu di dunia sana.”
“Dunia sana?”
“Iya, duniamu.”
“Jangan kau bilang aku sudah mati, ya.”
“Memang, kau memang belum mati.”
“Lantas, kenapa aku bisa berada di dunia orang mati?”
“Perlu kau tahu, ini bukan dunia orang mati.” Gadis kecil itu menyelipkan bunga kuning di tangannya ke telinganya, “Ini dunia tak bernama.”
Obin memejamkan mata. Berharap ada yang membangunkannya dengan menyiram mukanya dengan segayung air seperti biasa. Ia masih menganggap ini semua adalah mimpi.
“Bukan, kau bukan sedang bermimpi.” Gadis itu bicara, seolah ia bisa membaca apa yang ada di pikiran Obin. “Kau harus berterima kasih padaku.”
“Hah, berterimakasih? Atas apa?”
“Sebab aku telah menyelamatkan jiwamu.”
“Maksudmu?”
“Suatu hari kau juga akan mengerti sendiri.”
Obin melihat ke sekeliling. Ia akhirnya jadi mempercayai kata-kata gadis itu—meskipun dengan terpaksa—setelah menemui dirinya kini sedang berada di dalam hutan dengan pohon-pohon aneh yang tingginya lebih dari seratus meter. “Benar. Ini memang dunia lain. Kemana perginya padang rumput tempat aku mencari jamur tadi? Ah?!”
Obin jadi ingat dengan sahabatnya, Dhino. Ia melihat ke sekeliling, tapi tidak bisa menemukan sahabatnya yang cepat panik itu.
“Temanmu? Aku tak tahu keberadaannya. Sulit sekali menangkap dua orang sekaligus. Tapi, yang pasti dia juga ada di dunia yang sama denganmu ini.”
Tiba-tiba terdengar suara riuh burung yang berkoak. Obin menatap jauh ke langit biru, gerombolan burung-burung hitam raksasa yang memiliki ekor serupa ekor kanguru terbang bergerombol di langit, mereka terlihat seperti sedang menghindari maut. Kemudian terdengar suara seperti lonceng dan desisan yang asing bagi Obin. Gadis kecil berambut putih itu berjalan tepat di depan Obin dan menyuruhnya untuk tenang.
“Ular lonceng,” katanya sambil menyentuhkan telapak tangan kanannya ke tanah, sementara yang satunya masih memegang kepala boneka. “Ia mencium aroma manusia.”
“Berbahayakah?”
“Ia tidak hanya akan memakan jiwamu, tapi juga ragamu. Kau akan dicabik-cabik dan ditelannya hingga tidak tersisa.”
Mendengar jawaban itu, Obin hanya bisa diam membatu. Barangkali inilah kali pertama ia mengerti apa itu rasa takut yang sebenarnya.
Dan ular itu kini sudah tampak di depan mereka. Tubuh gadis kecil di depan obin tiba-tiba memancarkan cahaya berwarna biru lembut. Ular raksasa di depannya tertawa lebar. Obin jadi ngeri melihat pemandangan itu. Ular itu memiliki bentuk aneh, ia punya dua tanduk dan satu cula, Warna kulitnya perak. Di ujung ekornya terdapat lonceng yang jika digoyangkan akan mengeluarkan bunyi yang sama dengan lonceng-lonceng di menara gereja.
“Siapa kau, gadis kecil? Berani-beraninya kau melindungi manusia keparat ini.” Kata ular itu. Gadis itu hanya terdiam bisu. Tubuhnya tetap dipenuhi cahaya biru.
“Pergi atau mati.” Kata gadis itu, “Kau hanya boleh memberikan jawabanmu dalam waktu tidak lebih dari lima detik.”
“Ha ha ha,” ular itu hanya tertawa lebar mendengarnya.
Sama sekali tanpa bayangan, tangan kanan gadis kecil itu sudah tiba-tiba berada di atas kepala ular lonceng yang sudah remuk berkeping-keping. Darah mengalir kemana-mana, namun setetespun tidak bisa mengenai gaun gadis itu. “Kau melanggar peraturan yang kuberikan.” Katanya.
Obin hanya menelan ludah. Pemandangan yang ia saksikan barusan benar-benar mirip dengan adegan di film-film anime yang pernah ditontonnya. Susah sekali dicerna dengan akal sehat.
“Sekarang kau mengerti, ‘kan?” Gadis itu melirik Obin. Cahaya biru yang melingkupi tubuhnya memudar pelan-pelan. “Kau tidak akan bisa kembali lagi ke duniamu jika kau jauh dariku.”
“Aku tidak paham dengan semua yang terjadi ini.”
“Kenapa?
Takut?
Bukannya kamu pemberani?”

Pandangan gadis kecil itu kemudian kosong. Ia berputar arah. Kepala boneka yang ia bawa terjatuh di tanah. Tapi gadis itu masih memegang sebagian dari rambut boneka itu yang panjang. Ia lantas berjalan pelan-pelan menyusuri lantai hutan yang dipenuhi lumut-lumut hijau—dengan menyeret kepala boneka di tangannya tanpa sedikitpun ekspresi.
“Ikut aku, katanya.” Gadis itu menengok ke arah Obin, “Itu jika kau tidak mau tinggal selamanya, atau mati di sini.”
Obin jadi benar-benar merasa ngeri. Gadis yang sebelumnya bersikap anggun itu, kini benar-benar berubah mirip seperti seorang anak iblis.
Di ufuk barat, matahari terlihat sedikit demi sedikit tenggelam. Namun ia tidak berwarna merah, melainkan biru. Kabut merayap. Kunang-kunang terbang meriap, menebar sinar yang kedip-kedip. Dan dari timur, bulan datang pelan-pelan dengan sinarnya yang ungu.

(Bersambung)

Tidak ada komentar: