“Aku tidak bercanda,” kata gadis
kecil itu. Dilihat dari penampilannya, ia seperti masih berusia sekitar tujuh
tahun. Rambutnya panjang memutih, bermata abu-abu, dan juga mengenakan gaun
putih. Ia berjalan tanpa alas kaki, dan membawa kepala boneka yang ia dekap
dengan kedua tangannya di dada. “Ini dunia lain.”
Obin masih tak percaya dengan apa
yang dilihatnya, apalagi dengan yang didengarnya. Kendati demikian, ia sedikitpun
tidak merasa takut. Ia hanya bisa diam, karena tubuhnya merasakan lemas yang sangat.
Suatu kekuatan entah seolah baru saja menyerap seluruh energi yang ada dalam
tubuhnya.
“Cara untuk memasuki dunia ini
mudah saja..” Gadis itu kembali, memetik setangkai bunga berwarna kuning yang
tumbuh tepat di depan kedua kaki mungilnya, kemudian kembali mengalihkan
tatapan matanya ke Obin, “Kau hanya perlu berkata hal-hal yang tabu di dunia
sana.”
“Dunia sana?”
“Iya, duniamu.”
“Jangan kau bilang aku sudah
mati, ya.”
“Memang, kau memang belum mati.”
“Lantas, kenapa aku bisa berada
di dunia orang mati?”
“Perlu kau tahu, ini bukan dunia
orang mati.” Gadis kecil itu menyelipkan bunga kuning di tangannya ke
telinganya, “Ini dunia tak bernama.”
Obin memejamkan mata. Berharap
ada yang membangunkannya dengan menyiram mukanya dengan segayung air seperti
biasa. Ia masih menganggap ini semua adalah mimpi.
“Bukan, kau bukan sedang
bermimpi.” Gadis itu bicara, seolah ia bisa membaca apa yang ada di pikiran
Obin. “Kau harus berterima kasih padaku.”
“Hah, berterimakasih? Atas apa?”
“Sebab aku telah menyelamatkan
jiwamu.”
“Maksudmu?”
“Suatu hari kau juga akan
mengerti sendiri.”
Obin melihat ke sekeliling. Ia akhirnya
jadi mempercayai kata-kata gadis itu—meskipun dengan terpaksa—setelah menemui
dirinya kini sedang berada di dalam hutan dengan pohon-pohon aneh yang
tingginya lebih dari seratus meter. “Benar. Ini memang dunia lain. Kemana
perginya padang rumput tempat aku mencari jamur tadi? Ah?!”
Obin jadi ingat dengan
sahabatnya, Dhino. Ia melihat ke sekeliling, tapi tidak bisa menemukan
sahabatnya yang cepat panik itu.
“Temanmu? Aku tak tahu
keberadaannya. Sulit sekali menangkap dua orang sekaligus. Tapi, yang pasti dia
juga ada di dunia yang sama denganmu ini.”
Tiba-tiba terdengar suara riuh
burung yang berkoak. Obin menatap jauh ke langit biru, gerombolan burung-burung
hitam raksasa yang memiliki ekor serupa ekor kanguru terbang bergerombol di
langit, mereka terlihat seperti sedang menghindari maut. Kemudian terdengar
suara seperti lonceng dan desisan yang asing bagi Obin. Gadis kecil berambut
putih itu berjalan tepat di depan Obin dan menyuruhnya untuk tenang.
“Ular lonceng,” katanya sambil
menyentuhkan telapak tangan kanannya ke tanah, sementara yang satunya masih
memegang kepala boneka. “Ia mencium aroma manusia.”
“Berbahayakah?”
“Ia tidak hanya akan memakan
jiwamu, tapi juga ragamu. Kau akan dicabik-cabik dan ditelannya hingga tidak
tersisa.”
Mendengar jawaban itu, Obin hanya
bisa diam membatu. Barangkali inilah kali pertama ia mengerti apa itu rasa
takut yang sebenarnya.
Dan ular itu kini sudah tampak di
depan mereka. Tubuh gadis kecil di depan obin tiba-tiba memancarkan cahaya
berwarna biru lembut. Ular raksasa di depannya tertawa lebar. Obin jadi ngeri
melihat pemandangan itu. Ular itu memiliki bentuk aneh, ia punya dua tanduk dan
satu cula, Warna kulitnya perak. Di ujung ekornya terdapat lonceng yang jika
digoyangkan akan mengeluarkan bunyi yang sama dengan lonceng-lonceng di menara
gereja.
“Siapa kau, gadis kecil?
Berani-beraninya kau melindungi manusia keparat ini.” Kata ular itu. Gadis itu
hanya terdiam bisu. Tubuhnya tetap dipenuhi cahaya biru.
“Pergi atau mati.” Kata gadis
itu, “Kau hanya boleh memberikan jawabanmu dalam waktu tidak lebih dari lima
detik.”
“Ha ha ha,” ular itu hanya
tertawa lebar mendengarnya.
Sama sekali tanpa bayangan,
tangan kanan gadis kecil itu sudah tiba-tiba berada di atas kepala ular lonceng
yang sudah remuk berkeping-keping. Darah mengalir kemana-mana, namun setetespun
tidak bisa mengenai gaun gadis itu. “Kau melanggar peraturan yang kuberikan.”
Katanya.
Obin hanya menelan ludah.
Pemandangan yang ia saksikan barusan benar-benar mirip dengan adegan di
film-film anime yang pernah
ditontonnya. Susah sekali dicerna dengan akal sehat.
“Sekarang kau mengerti, ‘kan?”
Gadis itu melirik Obin. Cahaya biru yang melingkupi tubuhnya memudar
pelan-pelan. “Kau tidak akan bisa kembali lagi ke duniamu jika kau jauh
dariku.”
“Aku tidak paham dengan semua
yang terjadi ini.”
“Kenapa?
Takut?
Bukannya kamu pemberani?”
Pandangan gadis kecil itu
kemudian kosong. Ia berputar arah. Kepala boneka yang ia bawa terjatuh di
tanah. Tapi gadis itu masih memegang sebagian dari rambut boneka itu yang
panjang. Ia lantas berjalan pelan-pelan menyusuri lantai hutan yang dipenuhi
lumut-lumut hijau—dengan menyeret kepala boneka di tangannya tanpa sedikitpun
ekspresi.
“Ikut aku, katanya.” Gadis itu
menengok ke arah Obin, “Itu jika kau tidak mau tinggal selamanya, atau mati di
sini.”
Obin jadi benar-benar merasa
ngeri. Gadis yang sebelumnya bersikap anggun itu, kini benar-benar berubah
mirip seperti seorang anak iblis.
Di ufuk barat, matahari terlihat
sedikit demi sedikit tenggelam. Namun ia tidak berwarna merah, melainkan biru.
Kabut merayap. Kunang-kunang terbang meriap, menebar sinar yang kedip-kedip.
Dan dari timur, bulan datang pelan-pelan dengan sinarnya yang ungu.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar