Space Iklan

Selasa, 19 Juni 2012

Dunia Tanpa Nama [chapter #6]

        “Apa menurutmu ramalan itu benar?” Tanya Lena.
        “Entahlah,” Greem mengangkat bahunya, “Kita lihat saja nanti.”
        “Mmm, ini jadi seperti dongeng saja.”
        “Memangnya kau tidak sadar saat ini sedang berada di mana?”
      ”Sadar, sih. Hanya saja aku masih sulit mempercayai bahwa empat puluh tahun terakhir yang kulewati ini adalah benar-benar kenyataan.”
    “Apa perlu aku menampar wajahmu, untuk membuktikan bahwa kau tidak sedang bermimpi?”
        “Akan kupenggal kepalamu jika kau berani melakukannya.”
        “Kau ini masih saja berani berkata kurang ajar seperti itu pada gurumu.”
   “Kenapa tidak? Siapa memangnya yang menarik-narikku ke dunia ini?” Lena mencengkeram kerah baju Greem. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Greem, “Kau pikir aku mau belajar sihir benar-benar bukan karena terpaksa?”
        “Apa kau mau menentang takdir?” kata Greem tenang.
        “Apa itu takdir? Hanya orang-orang bodoh saja yang masih mau mempercayainya.”
      “Aku sangsi bahwa orang sepertimu ini pernah menginjak bangku sekolah di dunia manusia sana.” Greem melepaskan cengkeraman tangan Lena di kerah bajunya dengan sedikit sihir, “Daripada berdebat seperti ini, kau lebih baik belajar sihir sebelum sesuatu yang telah diramalkan terjadi. Berdoa saja semoga Maria bisa sampai ke negri ini membawa bocah itu tepat pada waktunya.”
**
Kali ini giliran makhluk yang lebih aneh muncul. Ia memiliki enam tangan yang lebih panjang dari tinggi tubuhnya. Matanya empat dan hitam seluruhnya. Memiliki satu tanduk di atas kepala dan mulut yang berada tepat di tengah-tengah perutnya. Jaglove menciptakannya dari isi perut serangga dan serpihan-serpihan tubuh monster tanah liat yang hancur karena mantra yang diucapkan Obin.
“Aku berani berjanji.” Kata Jaglove, “Seandainya monster yang kuciptakan kali ini mampu kalian hancurkan dengan mantra sihir, maka aku akan pergi tanpa membawa kepalamu.”
“Kau berani berkata seperti itu seolah-olah kaulah yang menguasai pertempuran ini.” Kata Maria.
“Oh. Pertempuran?” Jaglove menempelkan jari telunjuknya ke kening. Seperti gaya seseorang yang sedang mengingat-ingat sesuatu. “Aku bahkan tidak pernah menganggapnya demikian. Ini permainan, Maria. Permainan kecil saja, kau tahu.”
“Kau tetap saja sombong.”
“Dan kau berubah menjadi lebih percaya diri sekarang, ya, Maria. Padahal lima puluh tahun yang lalu, sejak terakhir kali kita bertemu, kau masih terlihat seperti anak ingusan.” Wajah Jaglove berubah menyeringai, “Padahal seandainya ketika itu Gaga tidak datang menolongmu, aku sudah mendapatkan kepalamu. Kau tahu, Maria? Kepala penyihir yang murni berasal dari dunia manusia sepertimu itu padahal sangat mahal harganya.”
Maria diam sejenak.
“Padahal apa lagi?” katanya kemudian.
“Aku tidak pernah membayangkan akan bisa bertemu orang-orang yang hebat seperti kalian dalam hidupku. Ini keren.” Obin angkat bicara, “Tapi juga merepotkan.”
“Hampir saja aku melupakan keberadaanmu, anak muda. Padahal mantramulah yang telah menghancurkan makhluk-makhluk sihir ciptaanku. Meskipun Maria telah berusaha menutupi auramu dengan auranya, tapi aku tetap tahu kalau kau ini berasal dari ras mausia juga.” Jaglove berkacak pinggang. “Ini menarik. Aku akan membiarkan dulu kau hidup di dunia ini untuk belajar sihir, seperti kebanyakan manusia yang pernah datang ke mari. Kemudian aku akan datang kembali padamu untuk memenggal kepalamu ketika kau telah benar-benar bisa menguasai sihir. Kau tahu kenapa, nak? Seperti yang sudah kubilang tadi, kepala penyihir yang berasal dari ras manusia itu mahal sekali harganya.”
“Oh. Begitu?” kata Obin.
“Menarik. Benar-benar menarik. Jarang-jarang aku bertemu manusia yang santai dan pemberani sepertimu.” Jaglove menatap wajah Maria, “Benar, ‘kan, Maria?”
“Menghadap kemari, Badut!” Obin berteriak, “Aku juga akan memberitahumu sesuatu!”
“Memberitahu apa?” Jaglove menanggapi.
“Kau itu makhluk paling lucu yang pernah kutemui.”
Mendengar itu, Jaglove langsung meniupkan ‘nyawa’ pada makhluk ciptaannya. “Baiklah, sebaiknya segera kita mulai saja permainan ini.” Katanya.
**
DBUM!
Sebuah batu besar jatuh dari tempat seharusnya ia berada. Makhluk-makhluk kecil di sekitarnya berlarian ketakutan.
“Ini luar biasa,” lelaki bertopeng itu menggaruk-garuk kepalanya, “Aku tidak tahu harus berkata apa.”
Dhino menatap tangan kanannya yang masih menyisakan sedikit asap dari sihir yang baru saja dikeluarkannya untuk memindahkan sebuah batu dari atas tebing.
Amazing..,” katanya, “Ini keren sekali.”
“Kupikir kau merasa dirimu yang sekarang ini sudah hampir mirip dengan tokoh super hero favoritmu ketika kecil. Benar begitu, bocah?”, lelaki bertopeng itu menggunakan ibu jari dan jari telunjuknya untuk mengelus-elus dagunya sendiri, “Kuakui, kau memang luar biasa.”
Yeah, kuharap aku bisa tetap seperti ini ketika aku sudah bangun dari mimpi nanti.”
“Harus kubilang berapakali lagi padamu bahwa yang sedang kau alami ini bukan mimpi, bocah.”
“Ah, sudahlah. Aku tetap tak mau mempercayainya.” Dhino bersidekap, “Sekarang sihir apa lagi yang bisa kau ajarkan padaku? Aku ingin belajar lebih banyak lagi. Mumpung ibuku yang galak belum membangunkanku dengan seember air.”
“Kata-katamu…, itu yang ingin kudengarkan. Kuharap anak yang dibawa Maria nanti tidak lebih hebat darimu.”
Lelaki bertopeng itu kini kembali mengobok-obok isi tasnya.
**
Jaglove hanya tertawa-tawa di atas batu ketika melihat makhluk aneh ciptaannya membuat kewalahan Maria dan Obin.
Rasanya Obin tidak bisa mempercayainya, Maria yang dari sejak pertama kali mereka bertemu terlihat hebat itu kini bisa dibuat tak berkutik oleh hanya makhluk yang diciptakan dengan sihir. Ia kini jadi merasa menyesal dan membenarkan kata Maria bahwa keberadaannya di sana hanya menjadi beban bagi Maria.
“Tak perlu menyesal. Sudah terlambat.” Kata Maria.
“Lagi-lagi kau membaca pikiranku.”
DUAG!
DUAG!
Gerakan makhluk sihir itu benar-benar tidak terbaca. Ia gesit serupa kilat. Obin dan Maria kini terpental jauh karena pukulannya yang tiba-tiba. Kepala boneka yang selalu dibawa Maria juga sekarang jadi terlepas dari tangan gadis kecil berambut putih itu.
“Memalukan,” kata Maria. “Ini terlalu cepat.”
Langit di atas kepala boneka yang terlepas dari tangan Maria itu jadi tiba-tiba terbelah. Sebuah cahaya berwarna kuning memancar tegak lurus menembus langit yang terbelah itu dari kepala boneka.
“Cahaya apa gerangan yang keluar dari kepala boneka itu?” kata Obin penasaran, sebelum ia tak sadarkan diri karena efek dari pukulan makhluk sihir bertangan enam barusan.
“Oh?” Jaglove kini beranjak dari tempat  ia berada.

(Bersambung)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ceritanya seruw. Kog ga diterusin chapter 7 nya???