“Apa menurutmu ramalan itu benar?” Tanya Lena.
“Entahlah,” Greem mengangkat bahunya, “Kita lihat saja nanti.”
“Mmm, ini jadi seperti dongeng saja.”
“Memangnya kau tidak sadar saat ini sedang berada di mana?”
”Sadar,
sih. Hanya saja aku masih sulit mempercayai bahwa empat puluh tahun
terakhir yang kulewati ini adalah benar-benar kenyataan.”
“Apa perlu aku menampar wajahmu, untuk membuktikan bahwa kau tidak sedang bermimpi?”
“Akan kupenggal kepalamu jika kau berani melakukannya.”
“Kau ini masih saja berani berkata kurang ajar seperti itu pada gurumu.”
“Kenapa
tidak? Siapa memangnya yang menarik-narikku ke dunia ini?” Lena
mencengkeram kerah baju Greem. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Greem,
“Kau pikir aku mau belajar sihir benar-benar bukan karena terpaksa?”
“Apa kau mau menentang takdir?” kata Greem tenang.
“Apa itu takdir? Hanya orang-orang bodoh saja yang masih mau mempercayainya.”
“Aku
sangsi bahwa orang sepertimu ini pernah menginjak bangku sekolah di
dunia manusia sana.” Greem melepaskan cengkeraman tangan Lena di kerah
bajunya dengan sedikit sihir, “Daripada berdebat seperti ini, kau lebih
baik belajar sihir sebelum sesuatu yang telah diramalkan terjadi. Berdoa
saja semoga Maria bisa sampai ke negri ini membawa bocah itu tepat pada
waktunya.”
**
Kali ini giliran
makhluk yang lebih aneh muncul. Ia memiliki enam tangan yang lebih
panjang dari tinggi tubuhnya. Matanya empat dan hitam seluruhnya.
Memiliki satu tanduk di atas kepala dan mulut yang berada tepat di
tengah-tengah perutnya. Jaglove menciptakannya dari isi perut serangga
dan serpihan-serpihan tubuh monster tanah liat yang hancur karena mantra
yang diucapkan Obin.
“Aku
berani berjanji.” Kata Jaglove, “Seandainya monster yang kuciptakan kali
ini mampu kalian hancurkan dengan mantra sihir, maka aku akan pergi
tanpa membawa kepalamu.”
“Kau berani berkata seperti itu seolah-olah kaulah yang menguasai pertempuran ini.” Kata Maria.
“Oh.
Pertempuran?” Jaglove menempelkan jari telunjuknya ke kening. Seperti
gaya seseorang yang sedang mengingat-ingat sesuatu. “Aku bahkan tidak
pernah menganggapnya demikian. Ini permainan, Maria. Permainan kecil
saja, kau tahu.”
“Kau tetap saja sombong.”
“Dan
kau berubah menjadi lebih percaya diri sekarang, ya, Maria. Padahal lima
puluh tahun yang lalu, sejak terakhir kali kita bertemu, kau masih
terlihat seperti anak ingusan.” Wajah Jaglove berubah menyeringai,
“Padahal seandainya ketika itu Gaga tidak datang menolongmu, aku sudah
mendapatkan kepalamu. Kau tahu, Maria? Kepala penyihir yang murni
berasal dari dunia manusia sepertimu itu padahal sangat mahal harganya.”
Maria diam sejenak.
“Padahal apa lagi?” katanya kemudian.
“Aku
tidak pernah membayangkan akan bisa bertemu orang-orang yang hebat
seperti kalian dalam hidupku. Ini keren.” Obin angkat bicara, “Tapi juga
merepotkan.”
“Hampir
saja aku melupakan keberadaanmu, anak muda. Padahal mantramulah yang
telah menghancurkan makhluk-makhluk sihir ciptaanku. Meskipun Maria
telah berusaha menutupi auramu dengan auranya, tapi aku tetap tahu kalau
kau ini berasal dari ras mausia juga.” Jaglove berkacak pinggang. “Ini
menarik. Aku akan membiarkan dulu kau hidup di dunia ini untuk belajar
sihir, seperti kebanyakan manusia yang pernah datang ke mari. Kemudian
aku akan datang kembali padamu untuk memenggal kepalamu ketika kau telah
benar-benar bisa menguasai sihir. Kau tahu kenapa, nak? Seperti yang
sudah kubilang tadi, kepala penyihir yang berasal dari ras manusia itu
mahal sekali harganya.”
“Oh. Begitu?” kata Obin.
“Menarik.
Benar-benar menarik. Jarang-jarang aku bertemu manusia yang santai dan
pemberani sepertimu.” Jaglove menatap wajah Maria, “Benar, ‘kan, Maria?”
“Menghadap kemari, Badut!” Obin berteriak, “Aku juga akan memberitahumu sesuatu!”
“Memberitahu apa?” Jaglove menanggapi.
“Kau itu makhluk paling lucu yang pernah kutemui.”
Mendengar
itu, Jaglove langsung meniupkan ‘nyawa’ pada makhluk ciptaannya.
“Baiklah, sebaiknya segera kita mulai saja permainan ini.” Katanya.
**
DBUM!
Sebuah batu besar jatuh dari tempat seharusnya ia berada. Makhluk-makhluk kecil di sekitarnya berlarian ketakutan.
“Ini luar biasa,” lelaki bertopeng itu menggaruk-garuk kepalanya, “Aku tidak tahu harus berkata apa.”
Dhino
menatap tangan kanannya yang masih menyisakan sedikit asap dari sihir
yang baru saja dikeluarkannya untuk memindahkan sebuah batu dari atas
tebing.
“Amazing..,” katanya, “Ini keren sekali.”
“Kupikir
kau merasa dirimu yang sekarang ini sudah hampir mirip dengan tokoh
super hero favoritmu ketika kecil. Benar begitu, bocah?”, lelaki
bertopeng itu menggunakan ibu jari dan jari telunjuknya untuk
mengelus-elus dagunya sendiri, “Kuakui, kau memang luar biasa.”
“Yeah, kuharap aku bisa tetap seperti ini ketika aku sudah bangun dari mimpi nanti.”
“Harus kubilang berapakali lagi padamu bahwa yang sedang kau alami ini bukan mimpi, bocah.”
“Ah,
sudahlah. Aku tetap tak mau mempercayainya.” Dhino bersidekap,
“Sekarang sihir apa lagi yang bisa kau ajarkan padaku? Aku ingin belajar
lebih banyak lagi. Mumpung ibuku yang galak belum membangunkanku dengan
seember air.”
“Kata-katamu…, itu yang ingin kudengarkan. Kuharap anak yang dibawa Maria nanti tidak lebih hebat darimu.”
Lelaki bertopeng itu kini kembali mengobok-obok isi tasnya.
**
Jaglove hanya tertawa-tawa di atas batu ketika melihat makhluk aneh ciptaannya membuat kewalahan Maria dan Obin.
Rasanya
Obin tidak bisa mempercayainya, Maria yang dari sejak pertama kali
mereka bertemu terlihat hebat itu kini bisa dibuat tak berkutik oleh
hanya makhluk yang diciptakan dengan sihir. Ia kini jadi merasa menyesal
dan membenarkan kata Maria bahwa keberadaannya di sana hanya menjadi
beban bagi Maria.
“Tak perlu menyesal. Sudah terlambat.” Kata Maria.
“Lagi-lagi kau membaca pikiranku.”
DUAG!
DUAG!
DUAG!
Gerakan
makhluk sihir itu benar-benar tidak terbaca. Ia gesit serupa kilat.
Obin dan Maria kini terpental jauh karena pukulannya yang tiba-tiba.
Kepala boneka yang selalu dibawa Maria juga sekarang jadi terlepas dari
tangan gadis kecil berambut putih itu.
“Memalukan,” kata Maria. “Ini terlalu cepat.”
Langit
di atas kepala boneka yang terlepas dari tangan Maria itu jadi tiba-tiba
terbelah. Sebuah cahaya berwarna kuning memancar tegak lurus menembus
langit yang terbelah itu dari kepala boneka.
“Cahaya
apa gerangan yang keluar dari kepala boneka itu?” kata Obin penasaran,
sebelum ia tak sadarkan diri karena efek dari pukulan makhluk sihir
bertangan enam barusan.
“Oh?” Jaglove kini beranjak dari tempat ia berada.
(Bersambung)
1 komentar:
ceritanya seruw. Kog ga diterusin chapter 7 nya???
Posting Komentar