Space Iklan

Sabtu, 09 Juni 2012

Dunia Tanpa Nama [chapter #3]



                “Kenalkan, aku Maria.” Kata gadis kecil berambut putih itu sambil memberi Obin setangkup buah-buah kecil mirip Blueberry, “Makanlah ini. Buah ini bisa memulihkan tenagamu.”
                Gadis itu kembali bersikap manis setelah mereka keluar dari hutan. Obin masih tak banyak bicara. Ia sedikit mengalami depresi mengingat dirinya sekarang tak lagi berada di dunia manusia. Ia hanya bisa berjalan tanpa daya mengikuti kemana langkah kaki Maria membawanya. Kini mereka sudah berada di keramaian. Tempat yang mirip pasar. Banyak orang menjajakan benda-benda dan binatang-binatang aneh, seperti topi yang terbuat dari kotoran sapi yang telah dikeringkan, anak-anak bebek berkepala kucing, babi berwajah manusia, manusia berwajah babi, dan lain-lain, di sana.
                “Kurasa, aku sudah gila.” Kata Obin, setengah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
                “Tidak, kau tidak gila. Semua yang kau lihat di sini adalah nyata. Manusia-manusia yang menjajakan benda-benda dan binatang aneh itu sebenarnya adalah siluman. Sementara binatang-binatang aneh yang mereka jajakan, seluruhnya adalah manusia.”
                “Manusia?!” Obin kaget mendengar apa yang diutarakan Maria.
                “Benar. Pada waktu hidupnya, mereka adalah orang-orang serakah. Dulu mereka adalah pencari pesugihan—orang-orang yang mencari kekayaan dengan bantuan siluman.” Maria mendekati salah satu binatang berbentuk babi dan berwajah manusia, “Lihatlah muka babi ini. Kelihatan ‘kan dari raut wajahnya, betapa serakahnya ketika ia dulu menjadi manusia?”
                “Ya, silahkan. Kau mau membarter babi ini dengan apa. Ini babi super. Semasa menjadi manusia, dia dulu menikah dengan siluman ular untuk memperkaya dirinya.” Kata sang pedagang, “Kau tahu? Rasa dagingnya sungguh luar biasa. Ia bisa membuat kekuatan sihirmu bertambah tujuh kali lipat.”
                Mendengar itu, Obin hampir saja muntah.
                “Tidak. Aku tidak tertarik. Babi mengandung banyak penyakit, apalagi yang merupakan reinkarnasi dari manusia serakah.” Kata Maria. Dan dia pun mengajak Obin berlalu dari tempat itu.
                “Aku benar-benar bisa gila jika berada di sini terus menerus. Aku ingin pulang ke duniaku.”
                “Tidak semudah itu,” kata Maria. “Ada syarat yang harus kau penuhi. Atau kalau tidak, kau bisa terkurung di dunia ini selamanya sepertiku.”
                “Terkurung?”
                “Benar. Aku terkurung di sini karena dulu tidak mau melakukan apa yang harus aku lakukan.”
                “Memangnya sejak kapan kau terkurung di sini?”
                “Tiga ratus tahun yang lalu.”
                “Tiga ratus?!!”
                “Kenapa kaget? Kau kira aku sedang berbohong?”
                “Bukan begitu. Siapapun yang melihatmu juga pasti akan mengira kalau kau baru berusia tujuh tahun.”
                “Ha ha ha,“ Maria tertawa kecil. “Di sini jiwa manusia bisa terus tumbuh dan berkembang, tapi tidak dengan raganya. Aku memang dulu masuk ke Dunia Tanpa Nama ini saat masih berusia tujuh tahun. Ketika itu, aku tidak menuruti perintah ibu untuk pulang saat maghrib dan malah asik mencari kentang-kentang rambut di lapangan pinggir pesisir.”
                “Hm, jadi begitu. Apa ketika itu, di sana kau juga mengatakan hal-hal tabu?”
                “Tidak. Ada banyak cara untuk memasuki dunia ini.”
                “Banyak cara?”
                “Benar. Terlalu panjang jika aku harus menjelaskan semua padamu di sini.” Maria menatap dalam mata Obin, “Ngomong-ngomong, apa kau mau berjanji tentang satu hal padaku?”
                “Berjanji apa?”
                “Jangan pernah memberitahukan namamu kepada orang lain.”
                “Kenapa memangnya?”
                “Sebab Dunia Tanpa Nama ini adalah dunia sihir.”
                SLEB!
                Sebuah anak panah tiba-tiba menembus jantung Maria. Ia menatap ke langit, terlihat sesosok manusia bersayap dan berkepala burung garuda sedang membawa busur dan menatapnya dengan dingin.
                “Ia tahu keberadaanmu. Mustahil. Padahal aku sudah menutupi aura manusiamu dengan auraku sejak di hutan tadi.” Kata Maria kepada Obin, sebelum ia mencabut anak panah yang menembus jantungnya.

***

“Hufh, seberapa jauh lagi?” Dhino menjatuhkan tubuhnya di padang semanggi. Nafasnya berat. Ia benar-benar merasa kelelahan.
                “Sekitar dua malam perjalanan.” Kata lelaki bertopeng yang berdiri sambil berkacak pinggang di hadapannya. “Namun jika sedikit-sedikit saja kau merebahkan tubuhmu begitu, kita bisa sampai di sana dalam tempo lima hari perjalanan.”
                “Lima hari?!”
                “Memangnya kenapa? Apa manusia di dunia normal saat ini memang manja-manja seperti kamu?”
                “Hufh, sungguh. Aku hanya khawatir tidak bisa mengikuti ujian kalkulus di kampus dua hari lagi.”
                “Wah, wah, wah, anak pintar.” Kata lelaki bertopeng itu sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Apa sebaiknya aku meninggalkanmu saja, ya. Membiarkanmu mati dimakan siluman-siluman di Dunia Tanpa Nama ini.”
                “Ah, ah, jangan! Aku tidak mau bertemu makhluk-makhluk aneh seperti di lembah tadi.” Kata Dhino. Ia berdiri tegak seketika itu juga. “Aku tidak yakin bisa menghadapinya sendirian tanpamu.”
                “Oke. Jika kau tidak ingin aku pergi jauh darimu, kau harus mau menuruti kata-kataku.” Lelaki itu mencari-cari sesuatu di dalam tasnya. “Ngomong-ngomong, apa kau suka dengan hamster?”
                “Iya. Aku suka. Aku punya sepasang di rumah.”
                “Kalau begitu, kau mau yang digoreng apa yang dibakar?”

(Bersambung)

Tidak ada komentar: