“Kenalkan,
aku Maria.” Kata gadis kecil berambut putih itu sambil memberi Obin setangkup
buah-buah kecil mirip Blueberry, “Makanlah ini. Buah ini bisa memulihkan
tenagamu.”
Gadis
itu kembali bersikap manis setelah mereka keluar dari hutan. Obin masih tak
banyak bicara. Ia sedikit mengalami depresi mengingat dirinya sekarang tak lagi
berada di dunia manusia. Ia hanya bisa berjalan tanpa daya mengikuti kemana
langkah kaki Maria membawanya. Kini mereka sudah berada di keramaian. Tempat
yang mirip pasar. Banyak orang menjajakan benda-benda dan binatang-binatang
aneh, seperti topi yang terbuat dari kotoran sapi yang telah dikeringkan,
anak-anak bebek berkepala kucing, babi berwajah manusia, manusia berwajah babi,
dan lain-lain, di sana.
“Kurasa,
aku sudah gila.” Kata Obin, setengah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Tidak,
kau tidak gila. Semua yang kau lihat di sini adalah nyata. Manusia-manusia yang
menjajakan benda-benda dan binatang aneh itu sebenarnya adalah siluman.
Sementara binatang-binatang aneh yang mereka jajakan, seluruhnya adalah
manusia.”
“Manusia?!”
Obin kaget mendengar apa yang diutarakan Maria.
“Benar.
Pada waktu hidupnya, mereka adalah orang-orang serakah. Dulu mereka adalah
pencari pesugihan—orang-orang yang mencari kekayaan dengan bantuan siluman.”
Maria mendekati salah satu binatang berbentuk babi dan berwajah manusia, “Lihatlah
muka babi ini. Kelihatan ‘kan dari raut wajahnya, betapa serakahnya ketika ia
dulu menjadi manusia?”
“Ya,
silahkan. Kau mau membarter babi ini dengan apa. Ini babi super. Semasa menjadi
manusia, dia dulu menikah dengan siluman ular untuk memperkaya dirinya.” Kata
sang pedagang, “Kau tahu? Rasa dagingnya sungguh luar biasa. Ia bisa membuat
kekuatan sihirmu bertambah tujuh kali lipat.”
Mendengar
itu, Obin hampir saja muntah.
“Tidak.
Aku tidak tertarik. Babi mengandung banyak penyakit, apalagi yang merupakan
reinkarnasi dari manusia serakah.” Kata Maria. Dan dia pun mengajak Obin
berlalu dari tempat itu.
“Aku
benar-benar bisa gila jika berada di sini terus menerus. Aku ingin pulang ke
duniaku.”
“Tidak
semudah itu,” kata Maria. “Ada syarat yang harus kau penuhi. Atau kalau tidak,
kau bisa terkurung di dunia ini selamanya sepertiku.”
“Terkurung?”
“Benar.
Aku terkurung di sini karena dulu tidak mau melakukan apa yang harus aku
lakukan.”
“Memangnya
sejak kapan kau terkurung di sini?”
“Tiga
ratus tahun yang lalu.”
“Tiga
ratus?!!”
“Kenapa
kaget? Kau kira aku sedang berbohong?”
“Bukan
begitu. Siapapun yang melihatmu juga pasti akan mengira kalau kau baru berusia
tujuh tahun.”
“Ha
ha ha,“ Maria tertawa kecil. “Di sini jiwa manusia bisa terus tumbuh dan
berkembang, tapi tidak dengan raganya. Aku memang dulu masuk ke Dunia Tanpa
Nama ini saat masih berusia tujuh tahun. Ketika itu, aku tidak menuruti
perintah ibu untuk pulang saat maghrib dan malah asik mencari kentang-kentang
rambut di lapangan pinggir pesisir.”
“Hm,
jadi begitu. Apa ketika itu, di sana kau juga mengatakan hal-hal tabu?”
“Tidak.
Ada banyak cara untuk memasuki dunia ini.”
“Banyak
cara?”
“Benar.
Terlalu panjang jika aku harus menjelaskan semua padamu di sini.” Maria menatap
dalam mata Obin, “Ngomong-ngomong, apa kau mau berjanji tentang satu hal padaku?”
“Berjanji
apa?”
“Jangan
pernah memberitahukan namamu kepada orang lain.”
“Kenapa
memangnya?”
“Sebab
Dunia Tanpa Nama ini adalah dunia sihir.”
SLEB!
Sebuah
anak panah tiba-tiba menembus jantung Maria. Ia menatap ke langit, terlihat
sesosok manusia bersayap dan berkepala burung garuda sedang membawa busur dan
menatapnya dengan dingin.
“Ia
tahu keberadaanmu. Mustahil. Padahal aku sudah menutupi aura manusiamu dengan
auraku sejak di hutan tadi.” Kata Maria kepada Obin, sebelum ia mencabut anak
panah yang menembus jantungnya.
***
“Hufh, seberapa
jauh lagi?” Dhino menjatuhkan tubuhnya di padang semanggi. Nafasnya berat. Ia
benar-benar merasa kelelahan.
“Sekitar
dua malam perjalanan.” Kata lelaki bertopeng yang berdiri sambil berkacak
pinggang di hadapannya. “Namun jika sedikit-sedikit saja kau merebahkan tubuhmu
begitu, kita bisa sampai di sana dalam tempo lima hari perjalanan.”
“Lima
hari?!”
“Memangnya
kenapa? Apa manusia di dunia normal saat ini memang manja-manja seperti kamu?”
“Hufh,
sungguh. Aku hanya khawatir tidak bisa mengikuti ujian kalkulus di kampus dua
hari lagi.”
“Wah,
wah, wah, anak pintar.” Kata lelaki bertopeng itu sambil menggaruk-garuk
kepalanya. “Apa sebaiknya aku meninggalkanmu saja, ya. Membiarkanmu mati
dimakan siluman-siluman di Dunia Tanpa Nama ini.”
“Ah,
ah, jangan! Aku tidak mau bertemu makhluk-makhluk aneh seperti di lembah tadi.”
Kata Dhino. Ia berdiri tegak seketika itu juga. “Aku tidak yakin bisa menghadapinya
sendirian tanpamu.”
“Oke.
Jika kau tidak ingin aku pergi jauh darimu, kau harus mau menuruti kata-kataku.”
Lelaki itu mencari-cari sesuatu di dalam tasnya. “Ngomong-ngomong, apa kau suka
dengan hamster?”
“Iya.
Aku suka. Aku punya sepasang di rumah.”
“Kalau
begitu, kau mau yang digoreng apa yang dibakar?”
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar