"Nikmatnya Tersesat”, begitulah
awalnya saya mau memberi judul buat tulisan ini. Tapi karena kedengaran kurang “nravel”,
ya saya ganti saja judulnya menjadi apa adanya begini :D
Berkunjung ke Desa Kinahrejo di
lereng Merapi—yang kini terkenal sebagai desa wisata bertajuk “Lava Tour”—sebenarnya
tidak masuk list perjalanan saya. Namun saya sendiri juga tidak paham,
bagaimana pagi itu saya bisa tiba-tiba menempuh petualangan ini.
Diawali dari tersesat di daerah
Kalasan ketika saya mau mengunjungi Jogja pusat, saya jadi mampir ke Candi
Kalasan dan ngobrol-ngobrol dengan satpam penjaganya. Dari obrolan itu beliau
menyarankan kepada saya untuk mengunjungi desa wisata yang kini sudah mulai
ramai dikunjungi ini. Walhasil jadilah saya pergi kesana karena godaan dari
yang dibicarakannya.
Menuju ke sana, saya melewati
jalur alternatif yang bisa tembus ke Magelang dan Sleman. Setelah bertanya ke
beberapa penduduk, saya akhirnya mendapat arah yang benar menuju desa tanah
kelahiran sang legenda Mbah Maridjan ini. Karena motor saya motor jadul, saya
menempuh perjalanan itu dengan perasaan was-was sepanjang perjalanan lantaran
jalannya yang terus menanjak. Udara yang dingin—dan kabut yang sesekali
melintas—bisa sedikit menghilangkan perasaan stress saya karena perasaan
was-was itu. Dan yang saya khawatirkan akhirnya terjadi. Lantaran mesin motor
saya yang terlalu panas, motor saya akhirnya mogok. Namun untung saja si jadul
itu mogok tepat 50 meter sebelum tempat parkir wisata. Maka, saya menuntunnya
dan mengistirahatkannya di areal parkir itu. Dan saya abaikan dulu ia :D
Tidak sabar melihat apa yang ada
di sana, saya mulai meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Awalnya hanya ada
warung-warung yang menjajakan buah-buah salak, rangkaian kembang-kembang edelweiss,
pokoknya semua makanan atau souvenir yang identik dengan Merapi. Setelah itu,
baru saya bisa melihat rumah-rumah yang hancur dan hangus di beberapa bagian,
pasir di mana-mana, yang membuat saya tidak sanggup membayangkan bagaimana
rasanya berada di sana ketika desa itu menjadi begini.
Desa Kinahrejo begitu penuh
kabut, tidak heran, konon ini adalah desa yang paling dekat letaknya dengan
puncak Merapi, jika kabut itu hilang, maka akan terlihat pohon-pohon yang
hangus di sebrang lembah yang masih berdiri kokoh, seolah adalah tugu abadi
yang senantiasa memberitahu kita betapa dahsyatnya amukan gunung Merapi.
Berjalan hingga ke pelosok-pelosok,
saya menemukan banyak pohon buah yang mulai ditanam di sana, dari kelengkeng,
mangga, termasuk juga stroberi. Untuk mencapai ujung dari desa wisata ini,
yakni bekas rumah Mbah Maridjan almarhum, pengunjung bisa menyewa motor trail
yang bisa disewa dengan tarif Rp.50.000/jam, bisa juga dengan ngojek yang
tarifnya dibandrol Rp.20.000 sekali antar (Bisa telon, atau satu motor tiga
orang), atau biar sehat bisa mengikuti cara saya, yaitu jalan kaki :D jaraknya cuma
kurang lebih 3km saja kok (Baca : hanya mengira-ngira)
Rumah Mbah Maridjan (alm.) yang sudah
rata dengan tanah kini diberi pagar bambu. Di dalamnya ada mobil bekas evakuasi
yang saat ini tinggal kerangkanya saja karena sapuan awan panas Merapi, satu
unit motor dengan keadaan yang sama, dan satu termos yang bodynya juga meleleh ^_^’
(twew!). Di sana ada juga menara pandang yang berdiri kokoh tepat di warung
adiknya si mbah. Jika mau berjalan sedikit menurun, kita bisa melihat sungai
Opak yang kini cuma berisi pasir atau lahar dingin dari material letusan gunung
Merapi. Perjalanan ini menjadi pengalaman yang mengesankan, dan jelas
menyenangkan seandainya saya tidak pernah memikirkan keadaan motor saya—yang kelihatannya
harus turun mesin—di parkiran selanjutnya. :p
1 komentar:
bagus
Posting Komentar